5 Tahun Tragedi MH370, Teori Kebakaran Kokpit dan 12 Menit Jelang Maut
Sabtu, 02 Maret 2019 - 15:14 WIB

5 Tahun Tragedi MH370, Teori Kebakaran Kokpit dan 12 Menit Jelang Maut
A
A
A
KUALA LUMPUR - Tanggal 8 Maret 2019 mendatang akan menjadi momen lima tahun tragedi hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH370 dengan 239 penumpangnya. Menjelang momen lima tahun itu muncul teori baru bahwa ada kebakaran di kokpit yang membuat penumpang hanya memiliki waktu 12 menit menuju kematian.
Pesawat itu lepas landas dari Kuala Lumpur pada 8 Maret 2014. Pesawat sedang menuju Beijing dan ketika dalam perjalanan tragedi misterius itu terjadi, di mana pesawat menghilang tanpa jejak. Ada beberapa warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi penumpang pesawat yang hilang tersebut.
Jurnalis Ean Higgins yang selama bertahun-tahun melakukan investigasi atas tragedi hilangnya MH370 menjelaskan teori kebakaran di kokpit sebagai penyebab tragedi. Teori itu dia jelaskan dalam bukunya, The Hunt for MH370, yang diulas news.com.au, Sabtu (2/3/2019).
Menurutnya, kecelakaan mengerikan kemungkinan terjadi 40 menit dalam penerbangan, yakni setelah mencapai ketinggian jelajah. Penulis mengatakan teori itu diajukan kepadanya oleh detektif penerbangan amatir, Mick Gilbert, meskipun tidak ada bukti yang bisa mengonfirmasi bahwa teori itu benar-benar terjadi.
Dalam skenario teoritis, ia mengatakan pemanas kaca depan pilot kemungkinan terbakar, yang kemudian membakar beberapa sirkuit termasuk transponder radar sekunder dan sistem komunikasi ACARS.
Kapten pilot Zaharie Ahmad Shah, yang pernah dilatih mengatasi keadaan darurat, diyakini dapat menggunakan masker oksigen dan memutus aliran listrik untuk mencegah hubungan arus pendek.
Dalam prosesnya, meskipun detektif tidak mengetahuinya, pilot itu diyakini mematikan unit data satelit yang membuat pesawat "jabat tangan" elektronik dengan satelit.
Higgins selanjutnya mengklaim bahwa sebagai co-pilot MH370, Fariq Abdul Hamid diduga mengambil alih kendali pesawat ketika Kapten Zaharie Ahmad Shah berkonsentrasi melawan kobaran api dengan alat pemadam kebakaran. Kedua awak itu, lanjut Higgins, kemudian menunggu sampai krisis bisa ditangani sebelum akhirnya membuat panggilan darurat via radio.
Pilot pesawat komersial memang dilatih berkomunikasi dengan radio sebagai prioritas ketiga dalam keadaan darurat di sebuah penerbangan. Pilot juga dilatih menerbangkan pesawat dan mengatur arah ke bandara terdekat yang sesuai jika mengalami keadaan darurat.
Dengan bekal latihan yang dikenal dengan istilah "aviate, navigate, communicate" kapten pilot bisa mengarahkan laju pesawat kembali ke Malaysia.
Higgins melanjutkan teori yang dia tulis bahwa terdapat kemungkinan kapten pilot menarik salah satu masker oksigen dan dikeluarkan dari soketnya. Skenario buruk yang mungkin terjadi saat itu adalah botol oksigen pilot mengisi kokpit dengan gas yang mudah terbakar, yang kemudian meledak.
Zaharie, lanjut teori itu, tidak ada di kursinya, yang berarti dia akan bisa keluar dari kokpit hidup-hidup, tetapi tetap terbakar parah. Sedangkan Fariq, yang masih terjebak di dalam kokpit diyakini tewas terbakar.
Higgins kemudian menulis bahwa teori kebakaran seperti itu dapat melemahkan bagian bawah kaca depan pesawat yang mengarah ke dekompresi yang cepat. Kondisi ini bisa memicu masker oksigen turun, setelah itu penumpang akan memiliki udara dalam tempo 12 menit.
Dalam skenario liar ini, Zaharie akan menjangkau ke salah satu botol oksigen portabel dan masker yang tersedia untuk para kru sebelum mengalami hipoksia.
Dengan bantuan pramugari, Zaharie bisa kembali ke kokpit untuk menemukan semua peralatan komunikasi. Kemudian, ketika pesawat terbang di atas Penang, dia kemungkinan memutuskan untuk berbelok ke barat laut, jauh dari area-area yang dibangun.
Dengan oksigen portabel pramugari bisa berjalan, dan para penumpang kemungkinan sudah meninggal atau koma ketika udara mereka habis. Pada saat itulah, Zaharie memiliki keputusan yang mengerikan untuk dibuat.
Dia bisa mencoba pendaratan darurat, berpotensi menyelamatkan dirinya sendiri dan pramugari, tetapi ini berarti membahayakan ratusan orang di darat. Sebagai gantinya, dia diduga mengarahkan pesawat ke Samudra Hindia Selatan.
Teori Higgins mungkin terdengar jauh mengada-ada, tetapi ia berurusan dengan pertanyaan mengapa unit data satelit yang dimatikan kemudian dinyalakan kembali. Hal itu bisa terjadi ketika pilot kembali ke kokpit.
Sebagai perbandingan, Gilbert menunjuk ke insiden lain sebagai bukti bahwa teori baru ini memiliki kredibilitas, yakni dalam kasus Penerbangan EgyptAir 667. Pada penerbangan EgyptAir, para kru sedang menunggu penumpang yang bereaksi lambat ketika ada kesalahan listrik yang diduga menyebabkan kebakaran kecil.
Pesawat itu lepas landas dari Kuala Lumpur pada 8 Maret 2014. Pesawat sedang menuju Beijing dan ketika dalam perjalanan tragedi misterius itu terjadi, di mana pesawat menghilang tanpa jejak. Ada beberapa warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi penumpang pesawat yang hilang tersebut.
Jurnalis Ean Higgins yang selama bertahun-tahun melakukan investigasi atas tragedi hilangnya MH370 menjelaskan teori kebakaran di kokpit sebagai penyebab tragedi. Teori itu dia jelaskan dalam bukunya, The Hunt for MH370, yang diulas news.com.au, Sabtu (2/3/2019).
Menurutnya, kecelakaan mengerikan kemungkinan terjadi 40 menit dalam penerbangan, yakni setelah mencapai ketinggian jelajah. Penulis mengatakan teori itu diajukan kepadanya oleh detektif penerbangan amatir, Mick Gilbert, meskipun tidak ada bukti yang bisa mengonfirmasi bahwa teori itu benar-benar terjadi.
Dalam skenario teoritis, ia mengatakan pemanas kaca depan pilot kemungkinan terbakar, yang kemudian membakar beberapa sirkuit termasuk transponder radar sekunder dan sistem komunikasi ACARS.
Kapten pilot Zaharie Ahmad Shah, yang pernah dilatih mengatasi keadaan darurat, diyakini dapat menggunakan masker oksigen dan memutus aliran listrik untuk mencegah hubungan arus pendek.
Dalam prosesnya, meskipun detektif tidak mengetahuinya, pilot itu diyakini mematikan unit data satelit yang membuat pesawat "jabat tangan" elektronik dengan satelit.
Higgins selanjutnya mengklaim bahwa sebagai co-pilot MH370, Fariq Abdul Hamid diduga mengambil alih kendali pesawat ketika Kapten Zaharie Ahmad Shah berkonsentrasi melawan kobaran api dengan alat pemadam kebakaran. Kedua awak itu, lanjut Higgins, kemudian menunggu sampai krisis bisa ditangani sebelum akhirnya membuat panggilan darurat via radio.
Pilot pesawat komersial memang dilatih berkomunikasi dengan radio sebagai prioritas ketiga dalam keadaan darurat di sebuah penerbangan. Pilot juga dilatih menerbangkan pesawat dan mengatur arah ke bandara terdekat yang sesuai jika mengalami keadaan darurat.
Dengan bekal latihan yang dikenal dengan istilah "aviate, navigate, communicate" kapten pilot bisa mengarahkan laju pesawat kembali ke Malaysia.
Higgins melanjutkan teori yang dia tulis bahwa terdapat kemungkinan kapten pilot menarik salah satu masker oksigen dan dikeluarkan dari soketnya. Skenario buruk yang mungkin terjadi saat itu adalah botol oksigen pilot mengisi kokpit dengan gas yang mudah terbakar, yang kemudian meledak.
Zaharie, lanjut teori itu, tidak ada di kursinya, yang berarti dia akan bisa keluar dari kokpit hidup-hidup, tetapi tetap terbakar parah. Sedangkan Fariq, yang masih terjebak di dalam kokpit diyakini tewas terbakar.
Higgins kemudian menulis bahwa teori kebakaran seperti itu dapat melemahkan bagian bawah kaca depan pesawat yang mengarah ke dekompresi yang cepat. Kondisi ini bisa memicu masker oksigen turun, setelah itu penumpang akan memiliki udara dalam tempo 12 menit.
Dalam skenario liar ini, Zaharie akan menjangkau ke salah satu botol oksigen portabel dan masker yang tersedia untuk para kru sebelum mengalami hipoksia.
Dengan bantuan pramugari, Zaharie bisa kembali ke kokpit untuk menemukan semua peralatan komunikasi. Kemudian, ketika pesawat terbang di atas Penang, dia kemungkinan memutuskan untuk berbelok ke barat laut, jauh dari area-area yang dibangun.
Dengan oksigen portabel pramugari bisa berjalan, dan para penumpang kemungkinan sudah meninggal atau koma ketika udara mereka habis. Pada saat itulah, Zaharie memiliki keputusan yang mengerikan untuk dibuat.
Dia bisa mencoba pendaratan darurat, berpotensi menyelamatkan dirinya sendiri dan pramugari, tetapi ini berarti membahayakan ratusan orang di darat. Sebagai gantinya, dia diduga mengarahkan pesawat ke Samudra Hindia Selatan.
Teori Higgins mungkin terdengar jauh mengada-ada, tetapi ia berurusan dengan pertanyaan mengapa unit data satelit yang dimatikan kemudian dinyalakan kembali. Hal itu bisa terjadi ketika pilot kembali ke kokpit.
Sebagai perbandingan, Gilbert menunjuk ke insiden lain sebagai bukti bahwa teori baru ini memiliki kredibilitas, yakni dalam kasus Penerbangan EgyptAir 667. Pada penerbangan EgyptAir, para kru sedang menunggu penumpang yang bereaksi lambat ketika ada kesalahan listrik yang diduga menyebabkan kebakaran kecil.
(mas)