Venezuela Tuding AS Berusaha Rekayasa Kudeta
A
A
A
CARACAS - Wakil Presiden Venezuela menuduh Amerika Serikat (AS) secara terbuka menyerukan kudeta menjelang aksi protes massa yang diumumkan oleh oposisi pada Rabu waktu setempat.
"Yankee pulang! Kami tidak akan membiarkan mereka ikut campur dalam urusan tanah air," kata Delcy Rodriguez dalam pidato yang disiarkan televisi seperti dikutip dari AFP, Rabu (23/1/2019).
Komentar ini muncul sebagai reaksi terhadap Wakil Presiden Amerika Mike Pence, yang sebelumnya memposting video di Twitter di mana ia mencap Presiden Venezuela Nicolas Maduro seorang diktator tanpa klaim yang sah atas kekuasaan.
"Ketika orang-orang baik Venezuela membuat suaramu didengar besok, atas nama orang-orang Amerika, kami berkata: estamos con ustedes. Kami bersama Anda," tweet Pence.
Menteri Komunikasi Venezuela Jorge Rodriguez menuduh Pence telah memerintahkan "teroris" untuk melakukan tindakan kekerasan selama protes hari Rabu waktu setempat.
Pertikaian itu terjadi 24 jam setelah sekelompok tentara bangkit melawan Maduro di sebuah pos komando di utara Caracas dan merilis video di media sosial yang menyerukan agar masyarakat keluar dan mendukung mereka.
Mereka menyerah setelah pos komando dikelilingi oleh unit polisi dan militer, dengan 27 orang ditangkap.
Gerakan anti-Maduro telah mendapatkan daya tarik sejak mantan sopir bus itu dilantik untuk masa jabatan kedua sebagai presiden pada 10 Januari.
Maduro memenangkan pemilu kontroversial pada bulan Mei yang diboikot oleh oposisi dan dianggap sebagai penipuan oleh Uni Eropa, Amerika Serikat dan Organisasi Negara-negara Amerika.
Pihak oposisi menuduh Maduro menjalankan rezim otoriter dan bertindak inkonstitusional.
Pada tahun 2016 ia kehilangan kendali atas Majelis Nasional, memungkinkan oposisi untuk menantang kepemimpinannya, tetapi Mahkamah Agung yang didominasi loyalisnya melucuti kekuasaan legislatif pada tahun 2017.
Majelis Nasional telah tidak berdaya sejak itu tetapi Guaido, yang menjadi presiden lembaga itu awal bulan ini, telah bangkit menghadapi tantangan mengambil cengkeraman besi Maduro pada kekuasaan.
Aksi protes pada Rabu 23 Januari nanti sangat penting karena menandai 61 tahun sejak jatuhnya kediktatoran Marcos Perez Jimenez.
Rezim Caracas menanggapi hal itu dengan mengumumkan demonstrasi sendiri dalam mendukung Maduro.
Ini akan menjadi gerakan jalanan besar pertama sejak 125 orang tewas dalam kerusuhan sipil antara April dan Juli 2017.
Venezuela menderita krisis ekonomi terburuk dalam sejarah modernnya dengan meningkatnya kemiskinan dan negara itu dilanda empat tahun resesi.
Kebutuhan dasar seperti makanan dan obat-obatan tidak banyak tersedia, sementara inflasi yang meningkat - diperkirakan mencapai 10 juta persen yang mengejutkan tahun ini - telah melumpuhkan mata uang negara tersebut.
Krisis ini dipicu oleh jatuhnya harga minyak global pada 2014, komoditas yang hampir seluruhnya diandalkan Venezuela. Produksi minyak mentahnya telah turun hampir sepertiga dari levelnya satu dekade lalu.
"Yankee pulang! Kami tidak akan membiarkan mereka ikut campur dalam urusan tanah air," kata Delcy Rodriguez dalam pidato yang disiarkan televisi seperti dikutip dari AFP, Rabu (23/1/2019).
Komentar ini muncul sebagai reaksi terhadap Wakil Presiden Amerika Mike Pence, yang sebelumnya memposting video di Twitter di mana ia mencap Presiden Venezuela Nicolas Maduro seorang diktator tanpa klaim yang sah atas kekuasaan.
"Ketika orang-orang baik Venezuela membuat suaramu didengar besok, atas nama orang-orang Amerika, kami berkata: estamos con ustedes. Kami bersama Anda," tweet Pence.
Menteri Komunikasi Venezuela Jorge Rodriguez menuduh Pence telah memerintahkan "teroris" untuk melakukan tindakan kekerasan selama protes hari Rabu waktu setempat.
Pertikaian itu terjadi 24 jam setelah sekelompok tentara bangkit melawan Maduro di sebuah pos komando di utara Caracas dan merilis video di media sosial yang menyerukan agar masyarakat keluar dan mendukung mereka.
Mereka menyerah setelah pos komando dikelilingi oleh unit polisi dan militer, dengan 27 orang ditangkap.
Gerakan anti-Maduro telah mendapatkan daya tarik sejak mantan sopir bus itu dilantik untuk masa jabatan kedua sebagai presiden pada 10 Januari.
Maduro memenangkan pemilu kontroversial pada bulan Mei yang diboikot oleh oposisi dan dianggap sebagai penipuan oleh Uni Eropa, Amerika Serikat dan Organisasi Negara-negara Amerika.
Pihak oposisi menuduh Maduro menjalankan rezim otoriter dan bertindak inkonstitusional.
Pada tahun 2016 ia kehilangan kendali atas Majelis Nasional, memungkinkan oposisi untuk menantang kepemimpinannya, tetapi Mahkamah Agung yang didominasi loyalisnya melucuti kekuasaan legislatif pada tahun 2017.
Majelis Nasional telah tidak berdaya sejak itu tetapi Guaido, yang menjadi presiden lembaga itu awal bulan ini, telah bangkit menghadapi tantangan mengambil cengkeraman besi Maduro pada kekuasaan.
Aksi protes pada Rabu 23 Januari nanti sangat penting karena menandai 61 tahun sejak jatuhnya kediktatoran Marcos Perez Jimenez.
Rezim Caracas menanggapi hal itu dengan mengumumkan demonstrasi sendiri dalam mendukung Maduro.
Ini akan menjadi gerakan jalanan besar pertama sejak 125 orang tewas dalam kerusuhan sipil antara April dan Juli 2017.
Venezuela menderita krisis ekonomi terburuk dalam sejarah modernnya dengan meningkatnya kemiskinan dan negara itu dilanda empat tahun resesi.
Kebutuhan dasar seperti makanan dan obat-obatan tidak banyak tersedia, sementara inflasi yang meningkat - diperkirakan mencapai 10 juta persen yang mengejutkan tahun ini - telah melumpuhkan mata uang negara tersebut.
Krisis ini dipicu oleh jatuhnya harga minyak global pada 2014, komoditas yang hampir seluruhnya diandalkan Venezuela. Produksi minyak mentahnya telah turun hampir sepertiga dari levelnya satu dekade lalu.
(ian)