Korban Bom Mobil di Akademi Polisi Kolombia Meningkat Jadi 21
A
A
A
BOGOTA - Pihak kepolisian Kolombia mengatakan 21 orang tewas dan 68 lainnya luka-luka setelah sebuah bom mobil meledak di sebuah akademi kepolisian di Bogota. Serangan ini memicu kekhawatiran negara itu akan kembali ke masa lalu yang penuh dengan kekerasan.
Dalam serangan yang terjadi pada Kamis kemarin itu, sebuah mobil menerobos pos pemeriksaan halaman Akademi Polisi Jenderal Santander sebelum meledak dan menghancurkan jendela apartemen di dekatnya. Pemerintah Kolombia menggambarkan serangan tersebut sebagai aksi terorisme.
Tidak ada klaim tanggung jawab atas serangan itu, yang paling mematikan sejak pemerintah mencapai kesepakatan damai dengan kelompok pemberontak Marxis FARC pada 2016.
Presiden Ivan Duque menyebut ledakan itu sebagai "aksi teroris gila" terhadap taruna yang tidak bersenjata. Ia pun memerintahkan polisi serta militer untuk menemukan pelaku dan membawa mereka ke pengadilan.
"Kami tidak akan beristirahat sampai kami menangkap dan mengadili para teroris yang terlibat," kata Duque Kamis malam.
"Saya memberi tahu para penjahat bahwa penolakan sosial menunggu mereka, penolakan semua warga Kolombia dan masyarakat internasional," imbuhnya seperti dikutip dari VOA, Jumat (18/1/2019).
Radio lokal Caracol mengatakan bahwa seorang tersangka telah ditangkap. Para penyelidik mengidentifikasi pengemudi mobil itu sebagai Jose Aldemar Rojas Rodriguez, yang termasuk di antara yang tewas, kata Jaksa Agung Kolombia Nestor Humberto Martinez.
"Mobil itu, sebuah SUV patroli Nissan abu-abu, membawa 80 kilogram (pentol) bahan berdaya ledak tinggi, yang telah digunakan di masa lalu oleh gerilyawan Kolombia," kata Martinez.
Bom mobil sering terjadi di Kolombia selama perang saudara antara pemerintah dan berbagai kelompok pemberontak kiri, serta dalam kekerasan yang melibatkan kartel narkoba Medellin yang dipimpin oleh mendiang penguasa narkoba Pablo Escobar dalam beberapa dekade.
Perang terburuk, yang menewaskan sekitar 260 ribu dan menyebabkan jutaan orang terlantar, berakhir ketika pemerintah mencapai kesepakatan damai dengan Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) pada tahun 2016.
Serangan besar terakhir adalah pada Januari 2018 ketika kelompok pemberontak terbesar yang masih aktif, Tentara Pembebasan Nasional (ELN), meledakkan sebuah bom di kota pelabuhan utara Barranquilla, menewaskan lima petugas polisi dan melukai puluhan lainnya.
ELN, yang terdiri dari sekitar 2.000 pejuang dan dianggap sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat, telah melakukan pembicaraan dengan pemerintah sejak Februari 2017 untuk mengakhiri konflik.
Duque, yang menjabat pada Agustus, mengatakan kondisi untuk perundingan perdamaian termasuk ELN yang menangguhkan permusuhan dan melepaskan semua sandera.
Dalam serangan yang terjadi pada Kamis kemarin itu, sebuah mobil menerobos pos pemeriksaan halaman Akademi Polisi Jenderal Santander sebelum meledak dan menghancurkan jendela apartemen di dekatnya. Pemerintah Kolombia menggambarkan serangan tersebut sebagai aksi terorisme.
Tidak ada klaim tanggung jawab atas serangan itu, yang paling mematikan sejak pemerintah mencapai kesepakatan damai dengan kelompok pemberontak Marxis FARC pada 2016.
Presiden Ivan Duque menyebut ledakan itu sebagai "aksi teroris gila" terhadap taruna yang tidak bersenjata. Ia pun memerintahkan polisi serta militer untuk menemukan pelaku dan membawa mereka ke pengadilan.
"Kami tidak akan beristirahat sampai kami menangkap dan mengadili para teroris yang terlibat," kata Duque Kamis malam.
"Saya memberi tahu para penjahat bahwa penolakan sosial menunggu mereka, penolakan semua warga Kolombia dan masyarakat internasional," imbuhnya seperti dikutip dari VOA, Jumat (18/1/2019).
Radio lokal Caracol mengatakan bahwa seorang tersangka telah ditangkap. Para penyelidik mengidentifikasi pengemudi mobil itu sebagai Jose Aldemar Rojas Rodriguez, yang termasuk di antara yang tewas, kata Jaksa Agung Kolombia Nestor Humberto Martinez.
"Mobil itu, sebuah SUV patroli Nissan abu-abu, membawa 80 kilogram (pentol) bahan berdaya ledak tinggi, yang telah digunakan di masa lalu oleh gerilyawan Kolombia," kata Martinez.
Bom mobil sering terjadi di Kolombia selama perang saudara antara pemerintah dan berbagai kelompok pemberontak kiri, serta dalam kekerasan yang melibatkan kartel narkoba Medellin yang dipimpin oleh mendiang penguasa narkoba Pablo Escobar dalam beberapa dekade.
Perang terburuk, yang menewaskan sekitar 260 ribu dan menyebabkan jutaan orang terlantar, berakhir ketika pemerintah mencapai kesepakatan damai dengan Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) pada tahun 2016.
Serangan besar terakhir adalah pada Januari 2018 ketika kelompok pemberontak terbesar yang masih aktif, Tentara Pembebasan Nasional (ELN), meledakkan sebuah bom di kota pelabuhan utara Barranquilla, menewaskan lima petugas polisi dan melukai puluhan lainnya.
ELN, yang terdiri dari sekitar 2.000 pejuang dan dianggap sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat, telah melakukan pembicaraan dengan pemerintah sejak Februari 2017 untuk mengakhiri konflik.
Duque, yang menjabat pada Agustus, mengatakan kondisi untuk perundingan perdamaian termasuk ELN yang menangguhkan permusuhan dan melepaskan semua sandera.
(ian)