Mahasiswa AS Tewas Usai Kerja Paksa, Korut Divonis Bayar Rp7,2 Triliun
A
A
A
WASHINGTON - Seorang hakim federal memerintah Korea Utara (Korut) untuk membayar lebih dari Rp7,2 triliun atas kematian seorang siswa Amerika Serikat (AS) Otto Warmbier. Orang tua Warmbier mengajukan gugatan terhadap Korut ke pengadilan setelah putranya meninggal tidak lama setelah dibebaskan oleh negara itu.
Baca Juga: Pria AS Tewas usai Kerja Paksa di Korut, Orang Tua Gugat Rp15 Triliun
Hakim Distrik A. Beryl Howell di Washington memutuskan bahwa Korut harus membayar ganti rugi kepada Fred dan Cindy Warmbier, orang tua dari mahasiswa Universitas Virginia.
Warmbier adalah seorang mahasiswa University of Virginia yang mengunjungi Korut bersama kelompok wisata ketika dia ditangkap dan dijatuhi hukuman 15 tahun kerja paksa pada Maret 2016 dengan tuduhan mencuri poster propaganda. Ia meninggal pada Juni 2017, tak lama setelah ia kembali ke AS dalam keadaan koma dan menunjukkan tanda-tanda penyiksaan saat dalam tahanan.
Vonis ini sebagian besar merupakan kemenangan simbolis untuk saat ini, karena tidak ada mekanisme untuk memaksa Korut membayar.
Fred dan Cindy Warmbier mengatakan mereka bersyukur bahwa pengadilan memutuskan pemerintah Kim Jong-un secara hukum dan moral bertanggung jawab atas kematian putra mereka.
"Kami menempatkan diri kami dan keluarga kami melalui cobaan gugatan dan pengadilan umum karena kami berjanji kepada Otto bahwa kami tidak akan pernah beristirahat sampai kami memiliki keadilan untuknya," kata mereka dalam pernyataan bersama.
"Pendapat bijaksana hari ini oleh Hakim Ketua Howell adalah langkah penting dalam perjalanan kami," sambung pernyataan itu seperti dikutip dari laman Time, Selasa (25/12/2018).
Gugatan itu, yang diajukan pada bulan April, menggambarkan dengan sangat mengerikan tentang siksaan fisik yang dialami Warmbier dalam tahanan Korut.
"Ketika orang tuanya naik pesawat untuk menemuinya setibanya di AS, mereka terkejut melihat kondisinya," menurut dokumen pengadilan.
Pria berusia 22 tahun itu buta dan tuli, lengannya melengkung dan hancur dan dia menyentak dengan keras dan melolong, benar-benar tidak responsif terhadap upaya keluarganya untuk menghiburnya. Giginya tidak sejajara dan lurus, dan kakinya memiliki luka parut yang tidak bisa dijelaskan. Seorang ahli mengatakan di surat-surat pengadilan bahwa luka-luka itu menunjukkan bahwa dia telah disiksa dengan disetrum.
Seorang ahli saraf kemudian menyimpulkan bahwa mahasiswa tersebut mengalami kerusakan otak, kemungkinan karena kehilangan aliran darah ke otak selama 5-20 menit.
Gugatan itu juga mengatakan Warmbier, yang berasal dari pinggiran Cincinnati, Ohio, ditekan untuk membuat pengakuan di televisi dan kemudian dihukum karena subversi setelah sidang satu jam. Dia dilarang berkomunikasi dengan keluarganya. Pada awal Juni 2017, orang tua Warmbier diberi tahu bahwa dia dalam keadaan koma dan telah berada dalam kondisi itu selama satu tahun.
Baca Juga: Pria AS Tewas usai Kerja Paksa di Korut, Orang Tua Gugat Rp15 Triliun
Hakim Distrik A. Beryl Howell di Washington memutuskan bahwa Korut harus membayar ganti rugi kepada Fred dan Cindy Warmbier, orang tua dari mahasiswa Universitas Virginia.
Warmbier adalah seorang mahasiswa University of Virginia yang mengunjungi Korut bersama kelompok wisata ketika dia ditangkap dan dijatuhi hukuman 15 tahun kerja paksa pada Maret 2016 dengan tuduhan mencuri poster propaganda. Ia meninggal pada Juni 2017, tak lama setelah ia kembali ke AS dalam keadaan koma dan menunjukkan tanda-tanda penyiksaan saat dalam tahanan.
Vonis ini sebagian besar merupakan kemenangan simbolis untuk saat ini, karena tidak ada mekanisme untuk memaksa Korut membayar.
Fred dan Cindy Warmbier mengatakan mereka bersyukur bahwa pengadilan memutuskan pemerintah Kim Jong-un secara hukum dan moral bertanggung jawab atas kematian putra mereka.
"Kami menempatkan diri kami dan keluarga kami melalui cobaan gugatan dan pengadilan umum karena kami berjanji kepada Otto bahwa kami tidak akan pernah beristirahat sampai kami memiliki keadilan untuknya," kata mereka dalam pernyataan bersama.
"Pendapat bijaksana hari ini oleh Hakim Ketua Howell adalah langkah penting dalam perjalanan kami," sambung pernyataan itu seperti dikutip dari laman Time, Selasa (25/12/2018).
Gugatan itu, yang diajukan pada bulan April, menggambarkan dengan sangat mengerikan tentang siksaan fisik yang dialami Warmbier dalam tahanan Korut.
"Ketika orang tuanya naik pesawat untuk menemuinya setibanya di AS, mereka terkejut melihat kondisinya," menurut dokumen pengadilan.
Pria berusia 22 tahun itu buta dan tuli, lengannya melengkung dan hancur dan dia menyentak dengan keras dan melolong, benar-benar tidak responsif terhadap upaya keluarganya untuk menghiburnya. Giginya tidak sejajara dan lurus, dan kakinya memiliki luka parut yang tidak bisa dijelaskan. Seorang ahli mengatakan di surat-surat pengadilan bahwa luka-luka itu menunjukkan bahwa dia telah disiksa dengan disetrum.
Seorang ahli saraf kemudian menyimpulkan bahwa mahasiswa tersebut mengalami kerusakan otak, kemungkinan karena kehilangan aliran darah ke otak selama 5-20 menit.
Gugatan itu juga mengatakan Warmbier, yang berasal dari pinggiran Cincinnati, Ohio, ditekan untuk membuat pengakuan di televisi dan kemudian dihukum karena subversi setelah sidang satu jam. Dia dilarang berkomunikasi dengan keluarganya. Pada awal Juni 2017, orang tua Warmbier diberi tahu bahwa dia dalam keadaan koma dan telah berada dalam kondisi itu selama satu tahun.
(ian)