Sebelum Khashoggi, Saudi Berencana Habisi Musuh-musuh di Luar Negeri
A
A
A
NEW YORK - Lebih dari satu tahun sebelum jurnalis Jamal Khashoggi dibunuh secara brutal, para pejabat intelijen Arab Saudi yang dekat dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman membahas rencana untuk membunuh para musuh Riyadh di luar negeri. Dalam pembahasan itu muncul opsi untuk menggunakan perusahaan swasta.
Musuh-musuh yang ingin dihabisi di luar negeri adalah yang terkait dengan Iran. Laporan tentang rencana operasi di negara orang itu diungkap The New York Times dengan mengutip tiga sumber yang mengetahui pembicaraan para pejabat intelijen Saudi tersebut.
Jamal Khashoggi, wartawan Saudi pengkritik rezim kerajaan, dibunuh oleh skuat algojo Riyadh di Konsulat Saudi di Istanbul, Turki pada 2 Oktober 2018. Wartawan yang sudah setahun tinggal di pengasingan di Amerika Serikat tersebut mendatangi konsulat untuk memperoleh dokumen perceraian dengan mantan istrinya karena ingin menikahi tunangannya.
Menurut The New York Times, sebelum mengakui bahwa Khashoggi tewas dalam serangan terencana, para pejabat Saudi mengklaim kolumnis Washington Post tersebut tewas dalam "operasi nakal yang diperintahkan oleh Mayor Jenderal Ahmed al-Assiri.
Para pejabat Turki dan beberapa anggota parlemen AS menuduh Putra Mahkota Mohammed bin Salman (AS) dalam sosok yang memerintahkan operasi itu. Namun, Riyadh telah menyangkal.
Assiri, yang dipecat setelah pembunuhan Khashoggi, hadir dalam pertemuan para pejabat intelijen pada Maret 2017 di Riyadh. Para pengusaha yang ikut hadir dalam pertemuan itu mengusulkan rencana beranggaran USD2 miliar untuk menggunakan operasi intelijen swasta guna mencoba membunuh para musuh dan menyabotase ekonomi Iran.
Selama diskusi, para pembantu utama Assiri bertanya tentang pembunuhan Qassim Suleimani, pemimpin Pasukan Quds dari Korps Garda Revolusi Iran dan musuh yang diakui resmi oleh Arab Saudi.
Para pebisnis, yang memiliki latar belakang intelijen, memandang rencana mereka tak hanya sebagai sumber pendapatan yang berharga, tetapi juga cara merusak sebuah negara yang dianggap sebagai ancaman serius bagi Saudi.
Masih menurut laporan The New York Times, yang dikutip Senin (12/11/2018), pengusaha Lebanon-Amerika George Nader, yang ikut mengatur rencana itu telah bertemu sebelumnya dengan Pangeran Mohammed, dan telah memasang rencana terhadap Iran yang disodorkan untuk tim Presiden Donald Trump.
Joel Zamel, seorang Israel yang memiliki hubungan mendalam dengan intelijen dan badan keamanan negara mayoritas Yahudi itu, juga mengambil bagian dalam pertemuan tersebut. Surat kabar AS itu melaporkan bahwa perusahaan yang dimiliki Zamel, Psy-Group, mendekati tim kampanye Trump pada tahun 2016 dengan rencana manipulasi media sosial.
Rencana mereka dimulai pada awal 2016, ketika mereka mulai membahas kampanye perang ekonomi melawan Iran yang mirip dengan yang dilakukan oleh Israel dan AS untuk memaksa Teheran mengakhiri program nuklirnya.
Nader dan Zamel, yang keduanya saksi dalam penyelidikan Penasihat Khusus Robert Mueller terkait kasus dugaan campur tangan Rusia dalam pemilu 2016, telah ditanyai oleh jaksa tentang diskusi mereka dengan pejabat AS dan Saudi tentang "proposal Iran".
Seorang juru bicara pemerintah Saudi menolak berkomentar kepada The New York Times terkait laporan rencana operasi di luar negeri.
Selama pertemuan tahun lalu, para pejabat Saudi bertanya kepada para pengusaha yang hadir apakah mereka juga "conducted kinetics" atau semacam operasi mematikan. Pertanyaan itu diajukan karena mereka tertarik untuk membunuh pejabat senior Iran.
Para pengusaha mengatakan mereka perlu berkonsultasi dengan pengacara mereka, yang menolak rencana tersebut. Para pengusaha itu mengatakan kepada para pejabat Saudi bahwa mereka tidak akan mengambil bagian dalam pembunuhan.
Musuh-musuh yang ingin dihabisi di luar negeri adalah yang terkait dengan Iran. Laporan tentang rencana operasi di negara orang itu diungkap The New York Times dengan mengutip tiga sumber yang mengetahui pembicaraan para pejabat intelijen Saudi tersebut.
Jamal Khashoggi, wartawan Saudi pengkritik rezim kerajaan, dibunuh oleh skuat algojo Riyadh di Konsulat Saudi di Istanbul, Turki pada 2 Oktober 2018. Wartawan yang sudah setahun tinggal di pengasingan di Amerika Serikat tersebut mendatangi konsulat untuk memperoleh dokumen perceraian dengan mantan istrinya karena ingin menikahi tunangannya.
Menurut The New York Times, sebelum mengakui bahwa Khashoggi tewas dalam serangan terencana, para pejabat Saudi mengklaim kolumnis Washington Post tersebut tewas dalam "operasi nakal yang diperintahkan oleh Mayor Jenderal Ahmed al-Assiri.
Para pejabat Turki dan beberapa anggota parlemen AS menuduh Putra Mahkota Mohammed bin Salman (AS) dalam sosok yang memerintahkan operasi itu. Namun, Riyadh telah menyangkal.
Assiri, yang dipecat setelah pembunuhan Khashoggi, hadir dalam pertemuan para pejabat intelijen pada Maret 2017 di Riyadh. Para pengusaha yang ikut hadir dalam pertemuan itu mengusulkan rencana beranggaran USD2 miliar untuk menggunakan operasi intelijen swasta guna mencoba membunuh para musuh dan menyabotase ekonomi Iran.
Selama diskusi, para pembantu utama Assiri bertanya tentang pembunuhan Qassim Suleimani, pemimpin Pasukan Quds dari Korps Garda Revolusi Iran dan musuh yang diakui resmi oleh Arab Saudi.
Para pebisnis, yang memiliki latar belakang intelijen, memandang rencana mereka tak hanya sebagai sumber pendapatan yang berharga, tetapi juga cara merusak sebuah negara yang dianggap sebagai ancaman serius bagi Saudi.
Masih menurut laporan The New York Times, yang dikutip Senin (12/11/2018), pengusaha Lebanon-Amerika George Nader, yang ikut mengatur rencana itu telah bertemu sebelumnya dengan Pangeran Mohammed, dan telah memasang rencana terhadap Iran yang disodorkan untuk tim Presiden Donald Trump.
Joel Zamel, seorang Israel yang memiliki hubungan mendalam dengan intelijen dan badan keamanan negara mayoritas Yahudi itu, juga mengambil bagian dalam pertemuan tersebut. Surat kabar AS itu melaporkan bahwa perusahaan yang dimiliki Zamel, Psy-Group, mendekati tim kampanye Trump pada tahun 2016 dengan rencana manipulasi media sosial.
Rencana mereka dimulai pada awal 2016, ketika mereka mulai membahas kampanye perang ekonomi melawan Iran yang mirip dengan yang dilakukan oleh Israel dan AS untuk memaksa Teheran mengakhiri program nuklirnya.
Nader dan Zamel, yang keduanya saksi dalam penyelidikan Penasihat Khusus Robert Mueller terkait kasus dugaan campur tangan Rusia dalam pemilu 2016, telah ditanyai oleh jaksa tentang diskusi mereka dengan pejabat AS dan Saudi tentang "proposal Iran".
Seorang juru bicara pemerintah Saudi menolak berkomentar kepada The New York Times terkait laporan rencana operasi di luar negeri.
Selama pertemuan tahun lalu, para pejabat Saudi bertanya kepada para pengusaha yang hadir apakah mereka juga "conducted kinetics" atau semacam operasi mematikan. Pertanyaan itu diajukan karena mereka tertarik untuk membunuh pejabat senior Iran.
Para pengusaha mengatakan mereka perlu berkonsultasi dengan pengacara mereka, yang menolak rencana tersebut. Para pengusaha itu mengatakan kepada para pejabat Saudi bahwa mereka tidak akan mengambil bagian dalam pembunuhan.
(mas)