ASEAN Desak Penyelidikan di Rakhine
A
A
A
Para menteri luar negeri (menlu) negara-negara Asia Tenggara mendesak Myanmar memberi mandat penuh pada komisi penyelidikan pihak yang bertanggungjawab atas kekerasan di Rakhine.
Para menlu itu bertemu secara informal di sela Sidang Umum Per serikatan Bangsa-Bang sa (PBB) pekan lalu. Menlu Singapura Vivian Balakrishnan menyatakan pada parlemen bahwa dalam pertemuan itu para menlu mengungkapkan kekhawatiran tentang kekerasan di Ra khine.
“Ini bencana kemanusiaan buatan manusia,” kata Ba la kris h nan dikutip kan tor berita Reuters. Tahun lalu, lebih dari 700.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bang ladesh akibat operasi militer di Rakhine.
Laporan terbaru PBB menuduh militer Myan mar melakukan pembunuhan dan pemerkosaan massal dengan niat genosida di Rakhine. PBB juga menyeru agar pang lima militer dan lima jenderal diadili sesuai hukum internasional.
Myanmar menyangkal berbagai tuduhan itu. “Kami ungkapkan kekhawatiran kami dengan dugaan aksiaksi kekerasan. Ini sesuatu yang seharusnya tidak terjadi jaman dan hari ini,” kata Balakrishnan merujuk pada pertemuan para menlu 10 negara anggota Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), termasuk Myanmar.
Balakrishnan menambahkan, “Para menlu mendesak Pemerintah Myanmar bahwa komisi penyelidikan independen harus diberi mandat penuh untuk investigasi dan menahan semua yang bertanggung jawab pe nuh untuk diadili.”
Singapura menjadi Ketua ASEAN tahun ini dan para pemimpin regional akan bertemu bulan depan di Singapura. Juru Bicara Pemerintah Myan mar Zaw Htay tidak menjawab telepon untuk dimintai komen tar.
Bulan lalu, dia menyatakan tidak akan lagi bicara ke media melalui telepon, tapi hanya lewat konferensi dua pekan sekali. Pada Juli lalu, Myanmar membentuk komisi penyelidikan untuk menginvestigasi berbagai tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Ra khine, termasuk melibatkan dua warga lokal dan dua anggota internasional dari Jepang dan Filipina.
ASEAN dibentuk lebih dari setengah abad lalu dan menghadapi berbagai tantangan di kawasan. Lembaga itu hanya bekerja melalui konsensus dan enggan terlibat masalah internal dalam negara anggota.
Pernyataan terbaru ASEAN tentang Rakhine fokus pada pentingnya repatriasi pengungsi Rohingya ke Myanmar dan rekonsiliasi antar masyarakat. Namun, di tengah kecaman internasional, Myanmar tampaknya mengambil sikap penolakan semakin ke ras terhadap upaya penyelidikan interna ional di Rakhine.
Balakrishnan menjelaskan, jika masalah Rohingya dibiarkan, situasi di Rakhine bisa memicu penyebaran terorisme yang mengancam Asia Tenggara dan wilayah lain. “Mereka (Pemerintah Myanmar) perlu mengambil langkah tepat untuk para korban yang rentan, tanpa perlindungan dan tidak bersalah,” ujar dia.
Dalam wawancara terbaru, Per dana Menteri (PM) Malaysia Ma hathir Mohamad mengkritik Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dalam menangani krisis Ro hingya. “Kami tidak benar-be nar mendukung dia lagi,” kata Mahathir.
Sebelumnya hasil investigasi pemerintah Amerika Serikat (AS) menemukan militer Myanmar melakukan kampanye yang direncanakan dengan baik dan terkoordinasi untuk melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kekejaman lain pada mi noritas Muslim Rohingya.
Laporan Departemen Luar Negeri (Deplu) AS itu dirilis pada Senin (24/9) sehingga bisa di gunakan untuk membenarkan sanksi AS selanjutnya atau langkah hukuman pada otoritas Myanmar. Meski demikian, laporan itu tidak menggambarkan operasi militer itu se bagai genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Isu ini pun menjadi pusat perdebatan internal yang memicu tertundanya pengumuman laporan selama hampir sebulan. Hasil investigasi ini berdasarkan lebih dari seribu wawancara pada pria dan wanita Rohingya di kamp pengungsian di Bangladesh.
Saat ini hampir 700.000 Rohingya telah melarikan diri dari operasi militer Myan mar tahun lalu di Rakhine. “Survei mengungkap kekerasan terbaru di utara Rakhine meluas, skala besar, ekstrem, dan mengarah pada teror pada populasi serta mengusir keluar penduduk Rohingya,” kata laporan setebal 20 halaman yang di terima kantor berita Reuters. “Cakupan dan skala operasi mi liter mengindikasikan mereka di rencanakan dengan baik dan ter koordinasi,” ungkap laporan itu.
Para korban selamat menggambarkan rincian kejadian me ngerikan yang mereka saksikan, termasuk saat para tentara membunuh para bayi dan anak kecil, penembakan pria tak bersenjata, dan para korban dikubur hidup-hidup atau di lemparkan masuk ke kuburan massal.
Mereka juga menjelaskan banyaknya pelecehan seksual oleh militer Myanmar pada wanita Rohingya yang sering kali terjadi di depan publik.
Para menlu itu bertemu secara informal di sela Sidang Umum Per serikatan Bangsa-Bang sa (PBB) pekan lalu. Menlu Singapura Vivian Balakrishnan menyatakan pada parlemen bahwa dalam pertemuan itu para menlu mengungkapkan kekhawatiran tentang kekerasan di Ra khine.
“Ini bencana kemanusiaan buatan manusia,” kata Ba la kris h nan dikutip kan tor berita Reuters. Tahun lalu, lebih dari 700.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bang ladesh akibat operasi militer di Rakhine.
Laporan terbaru PBB menuduh militer Myan mar melakukan pembunuhan dan pemerkosaan massal dengan niat genosida di Rakhine. PBB juga menyeru agar pang lima militer dan lima jenderal diadili sesuai hukum internasional.
Myanmar menyangkal berbagai tuduhan itu. “Kami ungkapkan kekhawatiran kami dengan dugaan aksiaksi kekerasan. Ini sesuatu yang seharusnya tidak terjadi jaman dan hari ini,” kata Balakrishnan merujuk pada pertemuan para menlu 10 negara anggota Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), termasuk Myanmar.
Balakrishnan menambahkan, “Para menlu mendesak Pemerintah Myanmar bahwa komisi penyelidikan independen harus diberi mandat penuh untuk investigasi dan menahan semua yang bertanggung jawab pe nuh untuk diadili.”
Singapura menjadi Ketua ASEAN tahun ini dan para pemimpin regional akan bertemu bulan depan di Singapura. Juru Bicara Pemerintah Myan mar Zaw Htay tidak menjawab telepon untuk dimintai komen tar.
Bulan lalu, dia menyatakan tidak akan lagi bicara ke media melalui telepon, tapi hanya lewat konferensi dua pekan sekali. Pada Juli lalu, Myanmar membentuk komisi penyelidikan untuk menginvestigasi berbagai tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Ra khine, termasuk melibatkan dua warga lokal dan dua anggota internasional dari Jepang dan Filipina.
ASEAN dibentuk lebih dari setengah abad lalu dan menghadapi berbagai tantangan di kawasan. Lembaga itu hanya bekerja melalui konsensus dan enggan terlibat masalah internal dalam negara anggota.
Pernyataan terbaru ASEAN tentang Rakhine fokus pada pentingnya repatriasi pengungsi Rohingya ke Myanmar dan rekonsiliasi antar masyarakat. Namun, di tengah kecaman internasional, Myanmar tampaknya mengambil sikap penolakan semakin ke ras terhadap upaya penyelidikan interna ional di Rakhine.
Balakrishnan menjelaskan, jika masalah Rohingya dibiarkan, situasi di Rakhine bisa memicu penyebaran terorisme yang mengancam Asia Tenggara dan wilayah lain. “Mereka (Pemerintah Myanmar) perlu mengambil langkah tepat untuk para korban yang rentan, tanpa perlindungan dan tidak bersalah,” ujar dia.
Dalam wawancara terbaru, Per dana Menteri (PM) Malaysia Ma hathir Mohamad mengkritik Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dalam menangani krisis Ro hingya. “Kami tidak benar-be nar mendukung dia lagi,” kata Mahathir.
Sebelumnya hasil investigasi pemerintah Amerika Serikat (AS) menemukan militer Myanmar melakukan kampanye yang direncanakan dengan baik dan terkoordinasi untuk melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kekejaman lain pada mi noritas Muslim Rohingya.
Laporan Departemen Luar Negeri (Deplu) AS itu dirilis pada Senin (24/9) sehingga bisa di gunakan untuk membenarkan sanksi AS selanjutnya atau langkah hukuman pada otoritas Myanmar. Meski demikian, laporan itu tidak menggambarkan operasi militer itu se bagai genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Isu ini pun menjadi pusat perdebatan internal yang memicu tertundanya pengumuman laporan selama hampir sebulan. Hasil investigasi ini berdasarkan lebih dari seribu wawancara pada pria dan wanita Rohingya di kamp pengungsian di Bangladesh.
Saat ini hampir 700.000 Rohingya telah melarikan diri dari operasi militer Myan mar tahun lalu di Rakhine. “Survei mengungkap kekerasan terbaru di utara Rakhine meluas, skala besar, ekstrem, dan mengarah pada teror pada populasi serta mengusir keluar penduduk Rohingya,” kata laporan setebal 20 halaman yang di terima kantor berita Reuters. “Cakupan dan skala operasi mi liter mengindikasikan mereka di rencanakan dengan baik dan ter koordinasi,” ungkap laporan itu.
Para korban selamat menggambarkan rincian kejadian me ngerikan yang mereka saksikan, termasuk saat para tentara membunuh para bayi dan anak kecil, penembakan pria tak bersenjata, dan para korban dikubur hidup-hidup atau di lemparkan masuk ke kuburan massal.
Mereka juga menjelaskan banyaknya pelecehan seksual oleh militer Myanmar pada wanita Rohingya yang sering kali terjadi di depan publik.
(don)