Ribuan Jamaah Jalan Kaki, Rela Salat di Terminal Syib Amir
A
A
A
Jarum jam menunjukkan angka 09.30 waktu Arab Saudi saat saya dan enam jurnalis yang tergabung dalam Media Center Haji (MCH) 2018 berangkat dari Kantor Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Daerah Kerja (Daker) Mekkah di kawasan Syisyah.
Berhubung bus Shalawat sudah tidak beroperasi, kami bertujuh diantar menggunakan mobil operasional Daker Mekkah. Kang Ayi, sopir MCH, mengarahkan mobilnya ke Masjidilharam. Namun, jalur biasa yang kami lewati sudah ditutup polisi Arab Saudi.
Tak habis akal, pria asli Cianjur yang telah 14 tahun di Arab Saudi ini pun membanting setirnya ke jalan lain. Laksana di Jakarta, kami pun diajak menyusuri “jalanjalan tikus” yang tak biasa kami lewati apabila hendak ke Masjidilharam.
Sebelum tiba di tempat tujuan, mobil yang kami tumpangi distop oleh lima orang asing yang juga ingin ke Masjidilharam. Mereka berkebangsaan Irak. Di sepanjang jalan yang kami lalui, tampak ribuan atau mungkin ratusan ribu jamaah berjalan ke satu tujuan.
Para jamaah dari berbagai negara tersebut menuju Masjidilharam. Tujuan mereka satu, menunaikan ibadah salat Jumat. Tak hanya pria, jamaah perempuan pun larut dalam lautan manusia menuju Masjidilharam.
Mendekati Masjidilharam, mobil yang kami tumpangi lajunya kian pelan. Kami pun memutuskan untuk turun dari mobil dan dilanjutkan jalan kaki menuju Masjidilharam. Butuh waktu sekitar 30 menit sampai di Terminal Syib Amir, salah satu terminal bus yang ada di sekitar Masjidilharam.
Kendati tak ada bus Shalawat yang beroperasi, namun jamaah tetap antusias mendatangi Masjidilharam. Tempat yang disucikan Allah SWT ini seakan menjadi magnet bagi jutaan jamaah dari berbagai negara untuk melaksanakan salat Jumat terakhir menjelang pelaksanaan Wukuf pada 9 Zulhijah mendatang.
Sengatan sang surya seakan tak dirasakan. Peluh pun tak terasa menetes. Baju berasa basah. Kami pun terus merangsek lautan di antara lautan manusia. Namun, upaya kami bisa salat Jumat di dalam Masjidilharam kandas.
Kami dan tentunya ribuan jamaah lain dihadang oleh barikade Askar (tentara Kerajaan Arab Saudi). Askar tersebut membuat barikade di bawah jembatan layang yang membentang antara Terminal Syib Amir dan Masjidilharam.
Ketika itu, kami mengira bahwa barikade itu hanya sementara, karena mungkin jamaah yang telanjur masuk Masjidilharam bisa didorong masuk ke dalam barisan shaf. Namun, ternyata dugaannya itu meleset. Barikade Askar tersebut berlanjut sampai azan berkumandang.
Kami agak beruntung karena berada di lautan manusia tersebut hanya sekitar 30 menit. Kami memutuskan mundur dari lokasi tersebut karena mengantisipasi hal-hal yang tidak kami inginkan.
Maklum saja, mayoritas jamaah yang ada di sekeliling kami adalah orang kulit hitam, bangsa Arab, dan sebagian Turki. Jelas postur mereka lebih besar dibandingkan kami. Kami pun mundur. Tujuan kami ke pos petugas haji Sektor Khusus yang berlokasi di sudut Terminal Syib Amir.
Pos menempati dua kontainer berpendingin udara. Namun kami terpaksa urungkan bisa salat Jumat di tempat itu, lantaran di dalam kontainer tersebut telah berjubel jamaah yang mayoritas perempuan.
Tak habis akal, kami pun mencari tempat lain yang bisa dijadikan tempat untuk salat Jumat. Akhirnya kami putuskan untuk menyeberang jalan menuju salah satu hotel yang ada di kawasan tersebut.
Di teras hotel tersebut, kami memutuskan untuk melaksanakan salat Jumat. Di tempat tersebut, kami berjumpa dengan jamaah Indonesia dari Kabupaten Bandung.
“Tak kuat kami salat di sana,” kata Furqonuddin sembari menunjuk Terminal Syib Amir yang dijadikan tempat jamaah dari berbagai negara untuk mengikuti salat Jumat.
Berhubung bus Shalawat sudah tidak beroperasi, kami bertujuh diantar menggunakan mobil operasional Daker Mekkah. Kang Ayi, sopir MCH, mengarahkan mobilnya ke Masjidilharam. Namun, jalur biasa yang kami lewati sudah ditutup polisi Arab Saudi.
Tak habis akal, pria asli Cianjur yang telah 14 tahun di Arab Saudi ini pun membanting setirnya ke jalan lain. Laksana di Jakarta, kami pun diajak menyusuri “jalanjalan tikus” yang tak biasa kami lewati apabila hendak ke Masjidilharam.
Sebelum tiba di tempat tujuan, mobil yang kami tumpangi distop oleh lima orang asing yang juga ingin ke Masjidilharam. Mereka berkebangsaan Irak. Di sepanjang jalan yang kami lalui, tampak ribuan atau mungkin ratusan ribu jamaah berjalan ke satu tujuan.
Para jamaah dari berbagai negara tersebut menuju Masjidilharam. Tujuan mereka satu, menunaikan ibadah salat Jumat. Tak hanya pria, jamaah perempuan pun larut dalam lautan manusia menuju Masjidilharam.
Mendekati Masjidilharam, mobil yang kami tumpangi lajunya kian pelan. Kami pun memutuskan untuk turun dari mobil dan dilanjutkan jalan kaki menuju Masjidilharam. Butuh waktu sekitar 30 menit sampai di Terminal Syib Amir, salah satu terminal bus yang ada di sekitar Masjidilharam.
Kendati tak ada bus Shalawat yang beroperasi, namun jamaah tetap antusias mendatangi Masjidilharam. Tempat yang disucikan Allah SWT ini seakan menjadi magnet bagi jutaan jamaah dari berbagai negara untuk melaksanakan salat Jumat terakhir menjelang pelaksanaan Wukuf pada 9 Zulhijah mendatang.
Sengatan sang surya seakan tak dirasakan. Peluh pun tak terasa menetes. Baju berasa basah. Kami pun terus merangsek lautan di antara lautan manusia. Namun, upaya kami bisa salat Jumat di dalam Masjidilharam kandas.
Kami dan tentunya ribuan jamaah lain dihadang oleh barikade Askar (tentara Kerajaan Arab Saudi). Askar tersebut membuat barikade di bawah jembatan layang yang membentang antara Terminal Syib Amir dan Masjidilharam.
Ketika itu, kami mengira bahwa barikade itu hanya sementara, karena mungkin jamaah yang telanjur masuk Masjidilharam bisa didorong masuk ke dalam barisan shaf. Namun, ternyata dugaannya itu meleset. Barikade Askar tersebut berlanjut sampai azan berkumandang.
Kami agak beruntung karena berada di lautan manusia tersebut hanya sekitar 30 menit. Kami memutuskan mundur dari lokasi tersebut karena mengantisipasi hal-hal yang tidak kami inginkan.
Maklum saja, mayoritas jamaah yang ada di sekeliling kami adalah orang kulit hitam, bangsa Arab, dan sebagian Turki. Jelas postur mereka lebih besar dibandingkan kami. Kami pun mundur. Tujuan kami ke pos petugas haji Sektor Khusus yang berlokasi di sudut Terminal Syib Amir.
Pos menempati dua kontainer berpendingin udara. Namun kami terpaksa urungkan bisa salat Jumat di tempat itu, lantaran di dalam kontainer tersebut telah berjubel jamaah yang mayoritas perempuan.
Tak habis akal, kami pun mencari tempat lain yang bisa dijadikan tempat untuk salat Jumat. Akhirnya kami putuskan untuk menyeberang jalan menuju salah satu hotel yang ada di kawasan tersebut.
Di teras hotel tersebut, kami memutuskan untuk melaksanakan salat Jumat. Di tempat tersebut, kami berjumpa dengan jamaah Indonesia dari Kabupaten Bandung.
“Tak kuat kami salat di sana,” kata Furqonuddin sembari menunjuk Terminal Syib Amir yang dijadikan tempat jamaah dari berbagai negara untuk mengikuti salat Jumat.
(don)