Membangun Pribadi Saleh dari Haji

Kamis, 09 Agustus 2018 - 16:28 WIB
Membangun Pribadi Saleh dari Haji
Membangun Pribadi Saleh dari Haji
A A A
MEKKAH - Jamaah haji Indonesia yang berjumlah 221.000 orang dari berbagai wilayah di Tanah Air dipandang sebagai agen penebar nilai-nilai positif untuk skala individu maupun sosial.

Karena itu, ukuran kemabruran berhaji tak lepas dari seberapa jauh konsistensi perilaku seseorang untuk menebar kemaslahatan di masyarakat. “Salah satu cirinya secara kasatmata adalah seseorang itu menebar kesalehan sosial di masyarakat ketika jamaah tersebut berada di tengah-tengah masyarakat.

Itu bisa dilihat setelah berhaji,” kata Kepala Seksi Bimbingan Ibadah Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Daerah Kerja (Daker) Mekkah Ansori Sanusi di Mekkah, kemarin. Menurutnya, kemabruran bisa dilihat dari aktivitas seseorang setelah melaksanakan ibadah haji.

Setidaknya indikator pertama meningkatnya pelaksanaan ibadah secara personal. “Yang semula ibadahnya bolong, tidak lagi. Berupaya semaksimal mungkin untuk selalu salat berjamaah di masjid. Yang biasanya menggunjing, tidak menggunjing. Hubungan kita kepada Allah menjadi lebih intim,” katanya.

Kedua, meningkatnya kualitas hubungan sosial atau horizontal. Salah satu yang dilarang ibadah haji adalah rafats, fusuq, jidal. Haji mabrur, begitu setelah selesai menunaikan ibadah haji, maka dia memiliki kemampuan menjauhi yang dilarang dalam haji sehingga akan terwujud kohesi sosial.

Kemudian hubungan sosial akan menjadi positif. Ketiga, melahirkan empati kepada orang lain. “Memiliki solidaritas sosial,” katanya. Dari sisi istilah, haji mabrur adalah haji yang diterima Allah, kemudian berdampak pada kebaikan diri, serta bermanfaat bagi orang lain.

Oleh karenanya, alhajjul mabrur sebagai impian dari orang yang melaksanakan jamaah haji itu melalui tahapan. Mabrur tidak datang tiba-tiba. “Tetapi harus diusahakan mulai dari sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan ibadah haji,” katanya.

Terkait dengan persiapan, ketika kita ingin mencapai haji mabrur tentu harus melakukan aktivitas yang mendukung pencapaian haji mabrur. Persiapan itu antara lain, pertama, memahami ajaran agama Islam dengan baik, termasuk manasik hajinya. Karena amalan ibadah yang tidak disertai dengan ilmu, maka ia dapat sia-sia.

Kedua, harus dipastikan rezekinya halal. Jangan sampai berangkat ibadah haji menggunakan uang hasil curian. Ini tidak diterima. Tidak boleh menggunakan uang curian untuk kepentingan ibadah.

Ketiga, meningkatkan amal ibadah. Kita harus menyiapkan diri dengan meningkatkan dan menyempurnakan amal ibadah. Pada saat pelaksanaan ibadah haji, kita memastikan terlaksananya syarat, rukun, dan wajib haji.

Sunah-sunah haji juga harus dipahami. Termasuk hal yang terlarang untuk di jauhi. Pelaksanaan amal perbuatan yang sah secara syari belum tentu diterima. Sesuatu itu sah atau tidak dapat diukur dengan ketentuan fiqh haji. Persoalan apakah diterima atau tidak, itu otoritas Allah SWT.

“Nah, haji mabrur terkait dengan keterterimaan ibadah kita oleh Allah,” katanya. Dari beberapa ciri tersebut bisa disimpulkan bahwa predikat mabrur yang diraih seorang yang telah menjalankan ibadah haji sebenarnya tidak hanya memberikan dampak terhadap kehidupan orang tersebut, melainkan berdampak besar pada sisi sosial di lingkungan orang yang berangkat haji tersebut.

Setiap haji mabrur tentu makbul, tetapi tidak semua haji makbul itu mabrur. Makbul berarti seluruh rukun syaratnya, bahkan sunahnya terpenuhi. Sedangkan mabrur berarti efek yang diperoleh dari haji makbul terasa oleh diri sendiri dan orang di sekitarnya.

Pelaksanaan ibadah haji sejatinya juga memperluas cakrawala bagi para jamaah. Berinteraksi dengan sekitar tiga juta jamaah dari sekitar 200 negara dengan mazhab beragam niscaya adalah berkah bagi para jamaah. “Paling tidak horizon berpikir semakin luas, mencoba memahami cara pandang orang lain, dan tidak merasa diri paling benar.

Ini sangat relevan dengan situasi berbangsa kita saat ini,” ujar Konsul Jenderal RI di Jeddah Mohamad Hery Saripudin. Guru Besar Ilmu Tafsir dan Quran Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya, Aswadi menegaskan, haji bisa dimaknai sebagai transformasi sosial untuk menguatkan pemahaman bahwa perbedaan itu merupakan kekayaan.

“Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan dimaknai sebagai rahmat agar saling memahami kodrat masing-masing sesuai konteksnya,” kata Aswadi yang merupakan salah satu konsultan ibadah Daker Mekkah ini.

Hery dan Aswadi pun memandang bahwa penyelenggaraan ibadah haji yang melibatkan banyak orang dalam satu tempat dan dalam waktu relatif bersamaan mensyaratkan keteraturan, ketertiban, dan kedisiplinan. Momentum haji dinilai amat strategis untuk membentuk perilaku toleran secara individual maupun kemasyarakatan. “Tidak patuh pada sistem, sangat berisiko bagi kelancaran ibadah dan keamanan bagi jamaah itu sendiri,” katanya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6868 seconds (0.1#10.140)