Kepala HAM PBB: Rohingya Terus Melarikan Diri dari Myanmar
A
A
A
JENEWA - Muslim Rohingya terus melarikan diri dari negara bagian Rakhine, Myanmar. Banyak dari mereka memberikan kesaksian tentang aksi kekerasan, penganiayaan, pembunuhan dan pembakaran rumah.
Hal itu dikatakan oleh Kepala Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Zeid Ra'ad al-Hussein kepada Dewan HAM PBB di Jenewa.
Menurut Zeid sepanjang tahun ini sebanyak 11.432 Rohingya telah tiba di Bangladesh, di mana lebih dari 700 ribu orang telah melarikan diri sejak militer Myanmar melakukan penindasan sejak bulan Agustus 2017 di negara bagian Rakhine, Myanmar utara.
“Tidak ada retorika yang dapat menutupi fakta-fakta ini. Orang-orang masih melarikan diri dari penganiayaan di Rakhine - dan bahkan bersedia mengambil risiko mati di laut untuk melarikan diri,” kata Zeid seperti dikutip dari Reuters, Kamis (5/7/2018).
Ia juga mengatakan banyak pengungsi Rohingya juga melaporkan ditekan oleh otoritas Myanmar untuk menerima kartu verifikasi nasional yang mengatakan mereka perlu mengajukan permohonan kewarganegaraan.
"Masalah kewarganegaraan merupakan inti dari diskusi tentang status mereka," Zeid mengatakan.
"Kartu-kartu itu menandai Rohingya sebagai non-warga negara, sesuai dengan karakterisasi pemerintah mereka sebagai orang asing di tanah air mereka sendiri,” imbuhnya.
Pihak berwenang di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha menyangkal melakukan pelanggaran hak asasi manusia skala besar. Pihak berwenang mengatakan tindakan keras di Rakhine adalah tanggapan yang diperlukan untuk kekerasan oleh kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang menyerang pos keamanan Myanmar.
Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Myanmar, Kyaw Moe Tun, mengatakan prioritas utama bagi pemerintahannya adalah untuk menemukan solusi berkelanjutan di Rakhine. Itu telah disetujui dengan Bangladesh pada Januari 2018 bahwa repatriasi pengungsi akan selesai dalam waktu dua tahun, tanpa menggunakan kata Rohingya.
Dia mengatakan bahwa laporan Zeid mengandung informasi yang terdistorsi atau dibesar-besarkan.
"Akar penyebab tragedi itu adalah terorisme dan terorisme tidak bisa dimaafkan dalam keadaan apa pun," kata Kyaw.
Hal itu dikatakan oleh Kepala Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Zeid Ra'ad al-Hussein kepada Dewan HAM PBB di Jenewa.
Menurut Zeid sepanjang tahun ini sebanyak 11.432 Rohingya telah tiba di Bangladesh, di mana lebih dari 700 ribu orang telah melarikan diri sejak militer Myanmar melakukan penindasan sejak bulan Agustus 2017 di negara bagian Rakhine, Myanmar utara.
“Tidak ada retorika yang dapat menutupi fakta-fakta ini. Orang-orang masih melarikan diri dari penganiayaan di Rakhine - dan bahkan bersedia mengambil risiko mati di laut untuk melarikan diri,” kata Zeid seperti dikutip dari Reuters, Kamis (5/7/2018).
Ia juga mengatakan banyak pengungsi Rohingya juga melaporkan ditekan oleh otoritas Myanmar untuk menerima kartu verifikasi nasional yang mengatakan mereka perlu mengajukan permohonan kewarganegaraan.
"Masalah kewarganegaraan merupakan inti dari diskusi tentang status mereka," Zeid mengatakan.
"Kartu-kartu itu menandai Rohingya sebagai non-warga negara, sesuai dengan karakterisasi pemerintah mereka sebagai orang asing di tanah air mereka sendiri,” imbuhnya.
Pihak berwenang di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha menyangkal melakukan pelanggaran hak asasi manusia skala besar. Pihak berwenang mengatakan tindakan keras di Rakhine adalah tanggapan yang diperlukan untuk kekerasan oleh kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang menyerang pos keamanan Myanmar.
Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Myanmar, Kyaw Moe Tun, mengatakan prioritas utama bagi pemerintahannya adalah untuk menemukan solusi berkelanjutan di Rakhine. Itu telah disetujui dengan Bangladesh pada Januari 2018 bahwa repatriasi pengungsi akan selesai dalam waktu dua tahun, tanpa menggunakan kata Rohingya.
Dia mengatakan bahwa laporan Zeid mengandung informasi yang terdistorsi atau dibesar-besarkan.
"Akar penyebab tragedi itu adalah terorisme dan terorisme tidak bisa dimaafkan dalam keadaan apa pun," kata Kyaw.
(ian)