Kelompok Bersenjata Tembaki Demonstran Anti Presiden Nikaragua
A
A
A
MANAGUA - Setidaknya enam pemrotes ditembak dan terluka dalam aksi menentang Presiden Nikaragua Daniel Ortega, ketika ribua orang turun ke jalan di seluruh negara itu. Saat aksi dimulai di Ibu Kota, Managua, sekelompok orang bersenjata menembaki barikade demonstran di Universitas Otonomi Nasional Nikaragua (UNAN)."Seorang siswa terluka," salah satu rekannya mengatakan kepada AFP, Minggu (1/7/2018).
Di wilayah lain, Leon, seorang ibu menyaksikan putranya yang berusia 24 tahun penuh dengan delapan peluru di barikade yang didirikan oleh pengunjuk rasa.
Paramedis merawat yang terluka. Tidak jelas siapa yang menembaki mereka di Managua ketika mereka mendekati sebuah properti milik Cohen Corporation yang telah diduduki oleh penghuni liar.
Lebih dari 220 orang telah tewas dalam dua setengah bulan protes anti-Ortega dan aksi represi oleh pasukan pemerintah. Aksi pada hari Sabtu waktu setempat disebut the Flowers March untuk menghormati anak-anak yang tewas dalam kerusuhan.
"Saya di sini karena saya ingin melihat Nikaragua saya bebas, itu menyakitkan bahwa anak-anak seperti saya telah meninggal, tetapi kami harus terus berjuang untuk menumbangkan diktator ini," ujar seorang siswa berusia 15 tahun yang mengenakan topeng ski.
Di satu tangan, dia melambaikan bendera Nikaragua, dan di tangan yang lain, dia memegang tabung mortir.
Di kota-kota lain, seperti Leon di utara, dan Masaya di selatan, demonstrasi juga diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat untuk Keadilan dan Demokrasi.
Di antara kematian anak-anak yang mengejutkan negara itu adalah bayi berusia lima bulan, dibakar di rumahnya, dan seorang anak berusia setahun ditembak di kepala di jalan Managua. Anggota keluarga menyalahkan kedua kematian tersebut pada pasukan pemerintah.
Para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri Ortega, mantan gerilya sayap kiri berusia 72 tahun yang berkuasa dengan pemberontakan populer, mengalahkan diktator Anastasio Somoza pada tahun 1979. Ortega kembali memerintah dalam pemungutan suara 2007.
Para demonstran menuduh Ortega - bersama istrinya Wakil Presiden Rosario Murillo - mempraktekan nepotisem, kediktatoran dan penindasan yang brutal.
Aksi demonstrasi yang didukung oleh serikat bisnis yang kuat ini sempat ditangguhkan selama seminggu yang lalu karena aksi kekerasan polisi anti huru-hara dan paramiliter di beberapa daerah di negara itu.
Namun Aliansi Masyarakat Sipil mendorong kembali demonstrasi untuk memanfaatkan kunjungan dari para ahli Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Komisi Inter-Amerika tentang Hak Asasi Manusia (IACHR).
"Hak untuk berdemonstrasi adalah elemen fundamental dari kebebasan berekspresi, hak untuk berkumpul dan partisipasi demokratis," tulis IACHR di Twitter.
Kedua pejabat PBB datang ke negara itu dalam menghadapi penindasan yang memburuk, dan telah bertemu dengan para delegasi dari pemerintah dan Aliansi Masyarakat Sipil, serta dengan korban kekerasan.
Dua kelompok hak asasi manusia lokal memiliki daftar korban yang berbeda: satu kelompok melaporkan 285 kematian dan yang lainnya lebih dari 220.
"Mereka ingin membungkam kami dengan peluru, kami mengecam pembantaian terhadap orang-orang Nikaragua bahwa pemerintah tengah melakukan genosida," kata Carmen Martinez, seorang pengacara.
Dengan mediasi Gereja Katolik, pemerintah dan Aliansi Masyarakat Sipil melanjutkan pembicaraan pada hari Senin.
Tapi mereka terhenti karena Ortega, yang ketiga kalinya berturut-turut terpilih menjadi presiden dan baru berakhir pada Januari 2022, menolak untuk mempertimbangkan proposal mempercepat pemilu dari 2021 menjadi Maret 2019.
Sementara itu sebuah pernyataan kedutaan Amerika Serikat (AS) mendesak warganya untuk tetap di tempat sampai pemberitahuan lebih lanjut di tengah-tengah demonstrasi yang kadang-kadang berujung pada aksi kekerasan.
Di wilayah lain, Leon, seorang ibu menyaksikan putranya yang berusia 24 tahun penuh dengan delapan peluru di barikade yang didirikan oleh pengunjuk rasa.
Paramedis merawat yang terluka. Tidak jelas siapa yang menembaki mereka di Managua ketika mereka mendekati sebuah properti milik Cohen Corporation yang telah diduduki oleh penghuni liar.
Lebih dari 220 orang telah tewas dalam dua setengah bulan protes anti-Ortega dan aksi represi oleh pasukan pemerintah. Aksi pada hari Sabtu waktu setempat disebut the Flowers March untuk menghormati anak-anak yang tewas dalam kerusuhan.
"Saya di sini karena saya ingin melihat Nikaragua saya bebas, itu menyakitkan bahwa anak-anak seperti saya telah meninggal, tetapi kami harus terus berjuang untuk menumbangkan diktator ini," ujar seorang siswa berusia 15 tahun yang mengenakan topeng ski.
Di satu tangan, dia melambaikan bendera Nikaragua, dan di tangan yang lain, dia memegang tabung mortir.
Di kota-kota lain, seperti Leon di utara, dan Masaya di selatan, demonstrasi juga diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat untuk Keadilan dan Demokrasi.
Di antara kematian anak-anak yang mengejutkan negara itu adalah bayi berusia lima bulan, dibakar di rumahnya, dan seorang anak berusia setahun ditembak di kepala di jalan Managua. Anggota keluarga menyalahkan kedua kematian tersebut pada pasukan pemerintah.
Para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri Ortega, mantan gerilya sayap kiri berusia 72 tahun yang berkuasa dengan pemberontakan populer, mengalahkan diktator Anastasio Somoza pada tahun 1979. Ortega kembali memerintah dalam pemungutan suara 2007.
Para demonstran menuduh Ortega - bersama istrinya Wakil Presiden Rosario Murillo - mempraktekan nepotisem, kediktatoran dan penindasan yang brutal.
Aksi demonstrasi yang didukung oleh serikat bisnis yang kuat ini sempat ditangguhkan selama seminggu yang lalu karena aksi kekerasan polisi anti huru-hara dan paramiliter di beberapa daerah di negara itu.
Namun Aliansi Masyarakat Sipil mendorong kembali demonstrasi untuk memanfaatkan kunjungan dari para ahli Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Komisi Inter-Amerika tentang Hak Asasi Manusia (IACHR).
"Hak untuk berdemonstrasi adalah elemen fundamental dari kebebasan berekspresi, hak untuk berkumpul dan partisipasi demokratis," tulis IACHR di Twitter.
Kedua pejabat PBB datang ke negara itu dalam menghadapi penindasan yang memburuk, dan telah bertemu dengan para delegasi dari pemerintah dan Aliansi Masyarakat Sipil, serta dengan korban kekerasan.
Dua kelompok hak asasi manusia lokal memiliki daftar korban yang berbeda: satu kelompok melaporkan 285 kematian dan yang lainnya lebih dari 220.
"Mereka ingin membungkam kami dengan peluru, kami mengecam pembantaian terhadap orang-orang Nikaragua bahwa pemerintah tengah melakukan genosida," kata Carmen Martinez, seorang pengacara.
Dengan mediasi Gereja Katolik, pemerintah dan Aliansi Masyarakat Sipil melanjutkan pembicaraan pada hari Senin.
Tapi mereka terhenti karena Ortega, yang ketiga kalinya berturut-turut terpilih menjadi presiden dan baru berakhir pada Januari 2022, menolak untuk mempertimbangkan proposal mempercepat pemilu dari 2021 menjadi Maret 2019.
Sementara itu sebuah pernyataan kedutaan Amerika Serikat (AS) mendesak warganya untuk tetap di tempat sampai pemberitahuan lebih lanjut di tengah-tengah demonstrasi yang kadang-kadang berujung pada aksi kekerasan.
(ian)