Cabut Perjanjian Nuklir Iran, Trump Minta Dukungan Minyak Saudi
A
A
A
WASHINGTON - Sehari sebelum Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, salah satu pejabat seniornya menelepon Arab Saudi untuk meminta eksportir minyak terbesar dunia itu untuk membantu menjaga harga tetap stabil jika keputusan itu mengganggu pasokan minyak.
Tiga sumber yang mengatahui hal ini mengatakan, seorang pejabat senior AS telah menelepon Pangeran Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman sebelum pengumuman Trump untuk memastikan Washington dapat mengandalkan Riyadh, pemimpin OPEC secara de facto.
Salah satu sumber mengatakan telepon itu terjadi pada 7 Mei. Dua lainnya tidak menyebutkan tanggal untuk telepon itu.
"Washington khawatir bahwa sanksi akan mengekang pengiriman dari Iran dan mendorong harga minyak naik," kata sumber seperti dikutip dari Reuters, Kamis (7/6/2018).
Terbukti, beberapa jam setelah Trump menyatakan AS keluar dari perjanjian nuklir Iran, Arab Saudi mengumumkan dukunganya. Saudi juga mengatakan siap untuk meningkatkan output untuk mengimbangi kekurangan pasokan.
Keputusan ini mengejutkan sejumlah negara anggota OPEC. Sumber OPEC yang akrab dengan pemikiran Saudi mengatakan bahwa Riyadh dan Washington telah membahas kebijakan minyak mereka sebelum pengumuman AS soal Iran.
"Anda perlu bekerja dengan mitra Anda dalam menangani setiap efek potensial pada pasokan," kata sumber OPEC itu.
Pergeseran tiba-tiba dalam posisi publik Riyadh datang sebagai kejutan bagi sekutu Teluknya, yang mengoordinasikan kebijakan OPEC secara dekat.
"Beberapa negara Teluk kesal karena tidak ada konsultasi sebelumnya dengan mereka," kata satu sumber terpisah. Mereka merasa Riyadh mendapat tekanan dari Washington dan mereka tidak diajak berkonsultasi sebelum komentar publik oleh Menteri Energi Saudi, Khalid al-Falih.
Falih saat melakukan perjalanan ke forum ekonomi Rusia di St Petersburg bulan lalu mengatakan kerajaan Saudi siap untuk secara bertahap mengurangi pengeluaran output minyak untuk menenangkan kekhawatiran konsumen.
Pergeseran itu juga membuat jengkel beberapa produsen di luar Teluk.
"Beberapa orang merasa mereka tidak diajak berkonsultasi dengan baik sebelum komentar di St. Petersburg," kata sumber OPEC yang kedua.
Sejak sanksi internasional yang asli dicabut pada Januari 2016, Iran telah berjuang untuk meningkatkan produksi minyak di atas 4 juta barel per hari. Ini karena kurangnya proyek baru.
Iran akan mendapat keuntungan lebih sedikit dari Arab Saudi dari peningkatan pasokan jika tidak dapat meningkatkan output, serta menerima harga yang lebih rendah untuk produksi yang ada.
Sumber OPEC ketiga mengatakan akan menentang piagam OPEC untuk meningkatkan produksi hanya karena Washington memintanya. "Untuk beberapa anggota OPEC, ini terlalu banyak," kata sumber itu.
Juru bicara Gedung Putih menolak mengomentari terkait hal ini.
Seorang pejabat senior Arab Saudi pun tidak mengkonfirmasi telepon tersebut tetapi mengatakan: "Kami dibuat sadar akan keputusan mengenai JCPOA (Rencana Aksi Komprehensif Bersama) sebelum pengumuman. Kami selalu melakukan percakapan dengan AS tentang stabilitas pasar minyak."
Tiga sumber yang mengatahui hal ini mengatakan, seorang pejabat senior AS telah menelepon Pangeran Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman sebelum pengumuman Trump untuk memastikan Washington dapat mengandalkan Riyadh, pemimpin OPEC secara de facto.
Salah satu sumber mengatakan telepon itu terjadi pada 7 Mei. Dua lainnya tidak menyebutkan tanggal untuk telepon itu.
"Washington khawatir bahwa sanksi akan mengekang pengiriman dari Iran dan mendorong harga minyak naik," kata sumber seperti dikutip dari Reuters, Kamis (7/6/2018).
Terbukti, beberapa jam setelah Trump menyatakan AS keluar dari perjanjian nuklir Iran, Arab Saudi mengumumkan dukunganya. Saudi juga mengatakan siap untuk meningkatkan output untuk mengimbangi kekurangan pasokan.
Keputusan ini mengejutkan sejumlah negara anggota OPEC. Sumber OPEC yang akrab dengan pemikiran Saudi mengatakan bahwa Riyadh dan Washington telah membahas kebijakan minyak mereka sebelum pengumuman AS soal Iran.
"Anda perlu bekerja dengan mitra Anda dalam menangani setiap efek potensial pada pasokan," kata sumber OPEC itu.
Pergeseran tiba-tiba dalam posisi publik Riyadh datang sebagai kejutan bagi sekutu Teluknya, yang mengoordinasikan kebijakan OPEC secara dekat.
"Beberapa negara Teluk kesal karena tidak ada konsultasi sebelumnya dengan mereka," kata satu sumber terpisah. Mereka merasa Riyadh mendapat tekanan dari Washington dan mereka tidak diajak berkonsultasi sebelum komentar publik oleh Menteri Energi Saudi, Khalid al-Falih.
Falih saat melakukan perjalanan ke forum ekonomi Rusia di St Petersburg bulan lalu mengatakan kerajaan Saudi siap untuk secara bertahap mengurangi pengeluaran output minyak untuk menenangkan kekhawatiran konsumen.
Pergeseran itu juga membuat jengkel beberapa produsen di luar Teluk.
"Beberapa orang merasa mereka tidak diajak berkonsultasi dengan baik sebelum komentar di St. Petersburg," kata sumber OPEC yang kedua.
Sejak sanksi internasional yang asli dicabut pada Januari 2016, Iran telah berjuang untuk meningkatkan produksi minyak di atas 4 juta barel per hari. Ini karena kurangnya proyek baru.
Iran akan mendapat keuntungan lebih sedikit dari Arab Saudi dari peningkatan pasokan jika tidak dapat meningkatkan output, serta menerima harga yang lebih rendah untuk produksi yang ada.
Sumber OPEC ketiga mengatakan akan menentang piagam OPEC untuk meningkatkan produksi hanya karena Washington memintanya. "Untuk beberapa anggota OPEC, ini terlalu banyak," kata sumber itu.
Juru bicara Gedung Putih menolak mengomentari terkait hal ini.
Seorang pejabat senior Arab Saudi pun tidak mengkonfirmasi telepon tersebut tetapi mengatakan: "Kami dibuat sadar akan keputusan mengenai JCPOA (Rencana Aksi Komprehensif Bersama) sebelum pengumuman. Kami selalu melakukan percakapan dengan AS tentang stabilitas pasar minyak."
(ian)