Bentrokan Baru Pecah di Myanmar, Ribuan Orang Mengungsi
A
A
A
NAYPYIDAW - Ribuan orang terlantar di tengah bentrokan baru antara tentara Myanmar dengan kelompok pemberontak di timur laut negara itu. Seorang milisi mengatakan itu adalah bentrokan terburuk yang penah dialami wilayah itu dalam lima dekade.
Gejolak pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak etnis di provinsi Kachin utara Myanmar telah mendorong ribuan orang melarikan diri, seorang pejabat PBB telah memperingatkan.
Kepala Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, Mark Cutts mengatakan, lebih dari 4.000 orang telah diusir dari rumah mereka dalam tiga minggu terakhir. Sebagai tambahan, 15.000 orang telah pergi sejak awal tahun.
"Kami telah menerima laporan dari organisasi setempat yang mengatakan bahwa masih banyak warga sipil yang tetap terperangkap di daerah-daerah yang terkena dampak konflik," katanya.
"Perhatian terbesar kami adalah untuk keselamatan warga sipil - termasuk wanita hamil, orang tua, anak-anak kecil dan orang-orang cacat. Kami harus memastikan bahwa orang-orang ini dilindungi," imbuhnya seperti dikutip dari Deutsche Welle, Sabtu (28/4/2018).
Gencatan senjata selama 17 tahun antara Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) dan pasukan pemerintah runtuh pada tahun 2011. Ada banyak bentrokan terjadi sejak saat itu, tetapi pada awal April kelompok masyarakat sipil setempat melaporkan eskalasi konflik.
Juru bicara KIA, Col Naw Bu, mengatakan bahwa militer Myanmar telah mengerahkan bala bantuan, termasuk 2.000 pasukan infanteri, pesawat tempur, dan helikopter.
"Tentara mengirim lebih banyak pasukan dari bagian bawah Myanmar dan itulah mengapa pertempuran akan semakin sengit," katanya, seraya menambahkan bahwa bentrokan itu adalah konflik terburuk sejak tentara Kachin mulai memerangi pemerintah pada awal 1960-an.
Kedutaan Besar AS di Yangon mengatakan sangat prihatin dengan pertempuran itu. Dalam sebuah pernyataan yang diposting di Twitter, Kedubes AS mendesak pemerintah dan militer untuk melindungi penduduk sipil dan memungkinkan bantuan kemanusiaan ke kota-kota yang terkena dampak.
Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengatakan berdamai dengan etnis minoritas di negara itu adalah prioritas utamanya ketika ia menjabat pada tahun 2016, tetapi perkembangannya berjalan lambat.
Beberapa kelompok etnis bersenjata menuntut otonomi dan kekuasaan di negara mayoritas Buddha itu, di mana posisi politik dan militer sebagian besar diduduki oleh warga Myanmar.
Selain kerusuhan di Kachin, negara itu juga telah menyaksikan kekerasan di provinsi Rakhine barat, di mana hampir 700 ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri.
Gejolak pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak etnis di provinsi Kachin utara Myanmar telah mendorong ribuan orang melarikan diri, seorang pejabat PBB telah memperingatkan.
Kepala Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, Mark Cutts mengatakan, lebih dari 4.000 orang telah diusir dari rumah mereka dalam tiga minggu terakhir. Sebagai tambahan, 15.000 orang telah pergi sejak awal tahun.
"Kami telah menerima laporan dari organisasi setempat yang mengatakan bahwa masih banyak warga sipil yang tetap terperangkap di daerah-daerah yang terkena dampak konflik," katanya.
"Perhatian terbesar kami adalah untuk keselamatan warga sipil - termasuk wanita hamil, orang tua, anak-anak kecil dan orang-orang cacat. Kami harus memastikan bahwa orang-orang ini dilindungi," imbuhnya seperti dikutip dari Deutsche Welle, Sabtu (28/4/2018).
Gencatan senjata selama 17 tahun antara Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) dan pasukan pemerintah runtuh pada tahun 2011. Ada banyak bentrokan terjadi sejak saat itu, tetapi pada awal April kelompok masyarakat sipil setempat melaporkan eskalasi konflik.
Juru bicara KIA, Col Naw Bu, mengatakan bahwa militer Myanmar telah mengerahkan bala bantuan, termasuk 2.000 pasukan infanteri, pesawat tempur, dan helikopter.
"Tentara mengirim lebih banyak pasukan dari bagian bawah Myanmar dan itulah mengapa pertempuran akan semakin sengit," katanya, seraya menambahkan bahwa bentrokan itu adalah konflik terburuk sejak tentara Kachin mulai memerangi pemerintah pada awal 1960-an.
Kedutaan Besar AS di Yangon mengatakan sangat prihatin dengan pertempuran itu. Dalam sebuah pernyataan yang diposting di Twitter, Kedubes AS mendesak pemerintah dan militer untuk melindungi penduduk sipil dan memungkinkan bantuan kemanusiaan ke kota-kota yang terkena dampak.
Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengatakan berdamai dengan etnis minoritas di negara itu adalah prioritas utamanya ketika ia menjabat pada tahun 2016, tetapi perkembangannya berjalan lambat.
Beberapa kelompok etnis bersenjata menuntut otonomi dan kekuasaan di negara mayoritas Buddha itu, di mana posisi politik dan militer sebagian besar diduduki oleh warga Myanmar.
Selain kerusuhan di Kachin, negara itu juga telah menyaksikan kekerasan di provinsi Rakhine barat, di mana hampir 700 ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri.
(ian)