Lebih dari 200 Tentara Anak Dibebaskan di Sudan Selatan
A
A
A
JUBA - Lebih dari 200 tentara anak telah dibebaskan di Sudan Selatan. Demikian pernyataan yang dikeluarkan badan PBB untuk anak-anak, UNICEF.
Seratus dua belas anak laki-laki dan 95 perempuan, beberapa di antara mereka berusia 14 tahun, dibebaskan dalam upacara khusus 'Laying Down of Arms Ceremony' yang diselenggarakan oleh UNICEF di kota Yambio, di barat daya negara itu.
Badan PBB itu mengatakan pihaknya berharap untuk bisa membebaskan sekitar 1.000 lagi tentara anak dalam beberapa bulan mendatang. Sepanjang tahun ini, UNICEF telah membebaskan lebih dari 500 tentara anak-anak.
Ribuan anak-anak dipaksa bergabung dengan militer dan kelompok bersenjata lainnya di Sudan Selatan sejak negara kaya minyak itu dilanda perang saudara pada tahun 2013.
Sekitar 19.000 anak-anak bertugas di jajaran angkatan bersenjata dan kelompok di negara itu, menurut angka yang dikeluarkan oleh UNICEF.
Salah satu anak laki-laki, George (17), dibebaskan pada upacara sebelumnya pada Februari mengatakan kepada UNICEF ia diculik oleh kelompok bersenjata pada tahun 2015.
Menurut UNICEF, kelompok itu memaksa George mencuri, memperkosa wanita dan gadis. Terkadang ia diperintahkan untuk membunuh, kata badan PBB itu.
"Saya tidak ingin melakukan hal-hal ini, tetapi jika tidak saya lakukan, saya mereka akan membunuh saya," akunya kepada UNICEF seperti dikutip dari CNN, Rabu (18/4/2018).
"Anak-anak tidak diperbolehkan untuk membawa pistol atau senjata," kata Perwakilan UNICEF di Sudan Selatan Mahimbo Mdoe.
Mdoe mengatakan mereka yang dibebaskan akan bersatu kembali dengan keluarga mereka, diberikan dukungan psikososial bersama dengan kesempatan untuk pergi ke sekolah.
Ia menambahkan menyerahkan senjata adalah perjalanan pertama dalam proses pemulihan, tetapi menjalani kehidupan normal bahkan lebih sulit bagi anak-anak.
"Reintegrasi adalah bagian paling sulit dari proses pembebasan," ujar Mdoe.
"Banyak yang senang ketika anak-anak ini dibebaskan, tetapi mereka melupakannya ketika mereka bersatu kembali dengan keluarga mereka. Inilah saat di mana mereka menjadi rentan dan mereka dapat kembali," jelasnya.
Sudan Selatan, negara termuda di dunia, telah terlibat dalam konflik sipil yang kejam untuk hampir seluruh kemunculannya.
Selama beberapa tahun, tentara yang setia kepada Presiden Salva Kiir bentrok dengan pasukan yang setia kepada wakil presiden, Riek Machar, yang menggusur jutaan warga sipil dan menewaskan puluhan ribu orang. Kedua kelompok sebagian besar terbagi berdasarkan garis etnis.
Badan PBB menyerukan semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk "mengakhiri perekrutan anak-anak" sebagai tentara dan menjunjung tinggi hak-hak mereka sesuai dengan hukum internasional.
"Anak-anak itu direkrut oleh Gerakan Pembebasan Nasional Sudan Selatan (SSNLP) dan Tentara Oposisi Pembebasan Rakyat Sudan (SLPA)," kata UNICEF.
Pasukan bersenjata dan kelompok-kelompok oposisi di negara Afrika timur itu terus merekrut tentara anak-anak meskipun banyak komitmen untuk berhenti, Human Rights Watch mengatakan dalam sebuah laporan baru-baru ini.
"Beberapa anak diculik dan dipaksa melakukan 'kejahatan kejam'," kata laporan itu.
Menurut PBB, lebih dari satu juta anak telah meninggalkan Sudan Selatan ke negara-negara tetangga karena konflik yang meningkat.
Seratus dua belas anak laki-laki dan 95 perempuan, beberapa di antara mereka berusia 14 tahun, dibebaskan dalam upacara khusus 'Laying Down of Arms Ceremony' yang diselenggarakan oleh UNICEF di kota Yambio, di barat daya negara itu.
Badan PBB itu mengatakan pihaknya berharap untuk bisa membebaskan sekitar 1.000 lagi tentara anak dalam beberapa bulan mendatang. Sepanjang tahun ini, UNICEF telah membebaskan lebih dari 500 tentara anak-anak.
Ribuan anak-anak dipaksa bergabung dengan militer dan kelompok bersenjata lainnya di Sudan Selatan sejak negara kaya minyak itu dilanda perang saudara pada tahun 2013.
Sekitar 19.000 anak-anak bertugas di jajaran angkatan bersenjata dan kelompok di negara itu, menurut angka yang dikeluarkan oleh UNICEF.
Salah satu anak laki-laki, George (17), dibebaskan pada upacara sebelumnya pada Februari mengatakan kepada UNICEF ia diculik oleh kelompok bersenjata pada tahun 2015.
Menurut UNICEF, kelompok itu memaksa George mencuri, memperkosa wanita dan gadis. Terkadang ia diperintahkan untuk membunuh, kata badan PBB itu.
"Saya tidak ingin melakukan hal-hal ini, tetapi jika tidak saya lakukan, saya mereka akan membunuh saya," akunya kepada UNICEF seperti dikutip dari CNN, Rabu (18/4/2018).
"Anak-anak tidak diperbolehkan untuk membawa pistol atau senjata," kata Perwakilan UNICEF di Sudan Selatan Mahimbo Mdoe.
Mdoe mengatakan mereka yang dibebaskan akan bersatu kembali dengan keluarga mereka, diberikan dukungan psikososial bersama dengan kesempatan untuk pergi ke sekolah.
Ia menambahkan menyerahkan senjata adalah perjalanan pertama dalam proses pemulihan, tetapi menjalani kehidupan normal bahkan lebih sulit bagi anak-anak.
"Reintegrasi adalah bagian paling sulit dari proses pembebasan," ujar Mdoe.
"Banyak yang senang ketika anak-anak ini dibebaskan, tetapi mereka melupakannya ketika mereka bersatu kembali dengan keluarga mereka. Inilah saat di mana mereka menjadi rentan dan mereka dapat kembali," jelasnya.
Sudan Selatan, negara termuda di dunia, telah terlibat dalam konflik sipil yang kejam untuk hampir seluruh kemunculannya.
Selama beberapa tahun, tentara yang setia kepada Presiden Salva Kiir bentrok dengan pasukan yang setia kepada wakil presiden, Riek Machar, yang menggusur jutaan warga sipil dan menewaskan puluhan ribu orang. Kedua kelompok sebagian besar terbagi berdasarkan garis etnis.
Badan PBB menyerukan semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk "mengakhiri perekrutan anak-anak" sebagai tentara dan menjunjung tinggi hak-hak mereka sesuai dengan hukum internasional.
"Anak-anak itu direkrut oleh Gerakan Pembebasan Nasional Sudan Selatan (SSNLP) dan Tentara Oposisi Pembebasan Rakyat Sudan (SLPA)," kata UNICEF.
Pasukan bersenjata dan kelompok-kelompok oposisi di negara Afrika timur itu terus merekrut tentara anak-anak meskipun banyak komitmen untuk berhenti, Human Rights Watch mengatakan dalam sebuah laporan baru-baru ini.
"Beberapa anak diculik dan dipaksa melakukan 'kejahatan kejam'," kata laporan itu.
Menurut PBB, lebih dari satu juta anak telah meninggalkan Sudan Selatan ke negara-negara tetangga karena konflik yang meningkat.
(ian)