Selidiki Perang Narkoba Filipina, Duterte Ancam Cabut dari ICC
A
A
A
MANILA - Presiden Filipina Rodrigo Duterte berencana untuk menarik negaranya dari Pengadilan Pidana Internasional (ICC). Ancaman itu dikeluarkan Duterte setelah ICC berniat untuk melakukan penyelidikan terhadap perang melawan narkoba yang dicanangkannya.
"Jelas bahwa ICC digunakan sebagai alat politik melawan Filipina," kata Duterte. Ia juga mengutuk serangan "tak berdasar" oleh PBB.
ICC pada bulan Februari mulai memeriksa dugaan kejahatan yang dilakukan selama tindakan represif anti-narkoba yang kontroversial. Jaksa penuntut ICC, Fatou Bensouda mengatakan, pengadilan akan melihat laporan pembunuhan di luar hukum.
Duterte mengatakan bahwa ia akan segera meninggalkan ICC. Namun pihak ICC mengatakan bahwa proses tersebut akan memakan waktu setahun setelah pemberitahuan resmi menarik diri.
Sebuah pernyataan dari pemerintah Filipina mengatakan penyelidikan ICC melanggar proses hukum. Duterte juga mengutuk serangan tanpa dasar, belum pernah terjadi sebelumnya dan keterlaluan terhadapnya dan pemerintahannya oleh PBB.
"Tindakan yang diduga dilakukan oleh saya bukanlah genosida atau kejahatan perang. Kematian yang terjadi dalam proses operasi polisi yang sah tidak memiliki niat untuk membunuh," kata Duterte seperti dikutip dari BBC, Kamis (15/3/2018).
Pernyataan tersebut bertentangan dengan beberapa komentar sebelumnya dari Duterte tentang perang obat terlarang, termasuk kesediaannya untuk "membunuh" pecandu dan penjual narkoba.
Telah terjadi tekanan internasional terhadap Duterte tentang perang negaranya terhadap narkoba, yang telah menyebabkan kematian ribuan orang.
Polisi mengklaim telah membunuh sekitar 4.000 tersangka narkoba, sementara kelompok hak asasi manusia menyatakan angka tersebut bisa jauh lebih tinggi.
Bensouda pertama kali mengatakan bahwa ia sangat prihatin dengan laporan pembunuhan di luar proses hukum pada bulan Oktober 2016, kurang dari empat bulan setelah Duterte mengambil alih jabatan untuk menindak para pengedar narkoba.
Dan bulan lalu, saat ICC mengumumkan penyelidikan awal, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mempertanyakan catatan hak asasi manusia Filipina dan meminta negara tersebut untuk menerima seorang pelapor khusus PBB.
Harry Roque, juru bicara Presiden Duterte, mengatakan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut, dengan menyebut ICC sebagai "pengadilan pilihan terakhir".
"Pengadilan hanya bisa campur tangan saat otoritas nasional tidak dapat atau tidak mau bertindak. Ia tidak memiliki kekuatan kepolisian sendiri, dan harus bergantung pada penguasa lokal untuk menangkap dan membawa tersangka kepada mereka," katanya.
Sementara teori penarikan tidak akan menghentikan penyelidikan pengadilan atas dugaan kejahatan yang dilakukan Filipina sebagai anggota, namun proses pembuktian akan sangat sulit mengingat pihak berwenang sukar diajak bekerja sama.
Saat ini ada 123 negara tercatat sebagai anggota ICC, termasuk Filipina. AS belum meratifikasi perjanjian tersebut, sementara negara-negara seperti China, India dan Turki tidak pernah menandatanganinya.
Pada hari Senin, media lokal melaporkan bahwa Senat Filipina telah mengajukan sebuah resolusi yang mengatakan bahwa penarikan mundur negara dari perjanjian internasional hanya akan sah dengan persetujuan Senat.
Konstitusi negara tersebut menyatakan bahwa penerapan sebuah perjanjian internasional tidak dapat dibatalkan tanpa dukungan baik dari presiden maupun Senat.
"Jelas bahwa ICC digunakan sebagai alat politik melawan Filipina," kata Duterte. Ia juga mengutuk serangan "tak berdasar" oleh PBB.
ICC pada bulan Februari mulai memeriksa dugaan kejahatan yang dilakukan selama tindakan represif anti-narkoba yang kontroversial. Jaksa penuntut ICC, Fatou Bensouda mengatakan, pengadilan akan melihat laporan pembunuhan di luar hukum.
Duterte mengatakan bahwa ia akan segera meninggalkan ICC. Namun pihak ICC mengatakan bahwa proses tersebut akan memakan waktu setahun setelah pemberitahuan resmi menarik diri.
Sebuah pernyataan dari pemerintah Filipina mengatakan penyelidikan ICC melanggar proses hukum. Duterte juga mengutuk serangan tanpa dasar, belum pernah terjadi sebelumnya dan keterlaluan terhadapnya dan pemerintahannya oleh PBB.
"Tindakan yang diduga dilakukan oleh saya bukanlah genosida atau kejahatan perang. Kematian yang terjadi dalam proses operasi polisi yang sah tidak memiliki niat untuk membunuh," kata Duterte seperti dikutip dari BBC, Kamis (15/3/2018).
Pernyataan tersebut bertentangan dengan beberapa komentar sebelumnya dari Duterte tentang perang obat terlarang, termasuk kesediaannya untuk "membunuh" pecandu dan penjual narkoba.
Telah terjadi tekanan internasional terhadap Duterte tentang perang negaranya terhadap narkoba, yang telah menyebabkan kematian ribuan orang.
Polisi mengklaim telah membunuh sekitar 4.000 tersangka narkoba, sementara kelompok hak asasi manusia menyatakan angka tersebut bisa jauh lebih tinggi.
Bensouda pertama kali mengatakan bahwa ia sangat prihatin dengan laporan pembunuhan di luar proses hukum pada bulan Oktober 2016, kurang dari empat bulan setelah Duterte mengambil alih jabatan untuk menindak para pengedar narkoba.
Dan bulan lalu, saat ICC mengumumkan penyelidikan awal, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mempertanyakan catatan hak asasi manusia Filipina dan meminta negara tersebut untuk menerima seorang pelapor khusus PBB.
Harry Roque, juru bicara Presiden Duterte, mengatakan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut, dengan menyebut ICC sebagai "pengadilan pilihan terakhir".
"Pengadilan hanya bisa campur tangan saat otoritas nasional tidak dapat atau tidak mau bertindak. Ia tidak memiliki kekuatan kepolisian sendiri, dan harus bergantung pada penguasa lokal untuk menangkap dan membawa tersangka kepada mereka," katanya.
Sementara teori penarikan tidak akan menghentikan penyelidikan pengadilan atas dugaan kejahatan yang dilakukan Filipina sebagai anggota, namun proses pembuktian akan sangat sulit mengingat pihak berwenang sukar diajak bekerja sama.
Saat ini ada 123 negara tercatat sebagai anggota ICC, termasuk Filipina. AS belum meratifikasi perjanjian tersebut, sementara negara-negara seperti China, India dan Turki tidak pernah menandatanganinya.
Pada hari Senin, media lokal melaporkan bahwa Senat Filipina telah mengajukan sebuah resolusi yang mengatakan bahwa penarikan mundur negara dari perjanjian internasional hanya akan sah dengan persetujuan Senat.
Konstitusi negara tersebut menyatakan bahwa penerapan sebuah perjanjian internasional tidak dapat dibatalkan tanpa dukungan baik dari presiden maupun Senat.
(ian)