Afiliasi Al-Qaeda Klaim Serangan Kedutaan Prancis di Burkina Faso
A
A
A
OUAGADOUGOU - Kelompok afiliasi al-Qaeda yang berbasis di Mali mengaku bertanggung jawab atas serangan di markas tentara dan kedutaan Prancis di Burkina Faso. Serangan tersebut menyebabkan 16 orang tewas, termasuk delapan orang bersenjata.
Delapan puluh lainnya mengalami cedera dalam serangan terkoordinasi di Ibu Kota Ouagadougou, yang menyusul dua serangan besar lainnya di sana dalam dua tahun terakhir.
Kelompok Jama'ah Nusrat ul-Islam wa al-Muslimin (JNIM), sering menggunakan Alakhbar dan kantor berita Mauritania lainnya untuk mengklaim atas serangan terhadap sasaran sipil dan militer di wilayah Sahel Afrika Barat.
Alakhbar, mengutip sebuah pesan dari kelompok tersebut, melaporkan bahwa serangan itu dilakukan sebagai tanggapan atas pembunuhan salah satu pemimpin JNIM, Mohamed Hacen al-Ancari, dalam sebuah serangan baru-baru ini oleh pasukan Prancis seperti dikutip dari Reuters, Minggu (4/3/2018).
Otoritas Burkinabe mengatakan empat orang bersenjata tewas di markas tentara, di mana penyerang juga meledakkan sebuah bom mobil, dan empat lainnya tewas di kedutaan tersebut. Dua penyerang juga ditangkap pada hari Jumat.
Keamanan diperkuat pada hari Sabtu di sejumlah lokasi strategis yang ada di Ouagadougou saat Perdana Menteri Paul Kaba Thieba, yang diapit oleh menteri dari pemerintahannya, mengunjungi markas tentara dan kedutaan Prancis.
Dalam pidato di televisi pada hari Sabtu, Presiden Roch Kabore mendesak publik untuk berkolaborasi lebih dekat dengan angkatan bersenjata.
"Di saat-saat sulit ini, saya ingin menegaskan kembali ke Afrika dan seluruh dunia bahwa iman saya yang tak tergoyahkan dalam kapasitas orang-orang Burkinabe untuk menjaga martabat mereka dan dengan ganas menentang musuh mereka," kata Kabore.
Prancis turun tangan di Mali pada tahun 2013 untuk mengusir militan Islam yang telah merebut gurun utara negara tersebut. Negara ini kemudian mempertahankan sekitar 4.000 tentara yang ditempatkan di bekas koloninya di wilayah Sahel yang gersang sebagai bagian dari operasi anti-teror Barkel.
Delapan puluh lainnya mengalami cedera dalam serangan terkoordinasi di Ibu Kota Ouagadougou, yang menyusul dua serangan besar lainnya di sana dalam dua tahun terakhir.
Kelompok Jama'ah Nusrat ul-Islam wa al-Muslimin (JNIM), sering menggunakan Alakhbar dan kantor berita Mauritania lainnya untuk mengklaim atas serangan terhadap sasaran sipil dan militer di wilayah Sahel Afrika Barat.
Alakhbar, mengutip sebuah pesan dari kelompok tersebut, melaporkan bahwa serangan itu dilakukan sebagai tanggapan atas pembunuhan salah satu pemimpin JNIM, Mohamed Hacen al-Ancari, dalam sebuah serangan baru-baru ini oleh pasukan Prancis seperti dikutip dari Reuters, Minggu (4/3/2018).
Otoritas Burkinabe mengatakan empat orang bersenjata tewas di markas tentara, di mana penyerang juga meledakkan sebuah bom mobil, dan empat lainnya tewas di kedutaan tersebut. Dua penyerang juga ditangkap pada hari Jumat.
Keamanan diperkuat pada hari Sabtu di sejumlah lokasi strategis yang ada di Ouagadougou saat Perdana Menteri Paul Kaba Thieba, yang diapit oleh menteri dari pemerintahannya, mengunjungi markas tentara dan kedutaan Prancis.
Dalam pidato di televisi pada hari Sabtu, Presiden Roch Kabore mendesak publik untuk berkolaborasi lebih dekat dengan angkatan bersenjata.
"Di saat-saat sulit ini, saya ingin menegaskan kembali ke Afrika dan seluruh dunia bahwa iman saya yang tak tergoyahkan dalam kapasitas orang-orang Burkinabe untuk menjaga martabat mereka dan dengan ganas menentang musuh mereka," kata Kabore.
Prancis turun tangan di Mali pada tahun 2013 untuk mengusir militan Islam yang telah merebut gurun utara negara tersebut. Negara ini kemudian mempertahankan sekitar 4.000 tentara yang ditempatkan di bekas koloninya di wilayah Sahel yang gersang sebagai bagian dari operasi anti-teror Barkel.
(ian)