PBB Desak Myanmar Buka Akses Kamp Pengungsi
A
A
A
DHAKA - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak Myanmar memberi akses tanpa hambatan pada lembaga bantuan untuk meninjau kamp-kamp repatriasi Rohingya. Ratusan ribu pengungsi Rohingya saat ini masih berada di Bangladesh setelah melarikan diri dari operasi militer di Rakhine, Myanmar, tahun lalu. Para pengungsi itu akan dipulangkan sesuai kesepakatan antara Bangladesh dan Myanmar.
Delegasi internasional yang memberi saran pada Myanmar telah mengunjungi kamp pengungsi Taung Pyo Letwe di luar Kota Maungdaw, dekat perbatasan Bangladesh. Video menunjukkan kamp itu memiliki rumah-rumah panjang terbuat dari kayu lapis atau tripleks di atas tanah berbatu. Kamp itu dikelilingi pagar kawat berduri.
Bangladesh menunda repatriasi Rohingya pada Selasa (24/1/2018) karena proses pengumpulan data dan verifikasi daftar orang yang akan dikirim kembali ke Myanmar belum selesai. Meski demikian, PBB menyatakan keamanan untuk para pengungsi masih belum ada. "Hingga keamanan dan kesejahteraan semua anak yang kembali ke Myanmar dapat dijamin, perundingan repatriasi prematur," ungkap Deputi Direktur Eksekutif UNICEF Justin Forsyth dikutip kantor berita Reuters.
Badan Pengungsi PBB UNHCR menyatakan, masih ada pembatasan akses untuk lembaga bantuan, media, dan pengamat independen lainnya di Myanmar. "Myanmar harus mengizinkan akses kemanusiaan tanpa hambatan di negara bagian Rakhine dan menciptakan kondisi untuk solusi asli dan jangka panjang," ungkap pernyataan UNHCR.
Lebih dari 688.000 Muslim Rohingya dan beberapa ratus warga Hindu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak 25 Agustus tahun lalu setelah operasi militer Myanmar di Rakhine. PBB menyebut operasi militer itu sebagai pembersihan etnik. Tuduhan itu disangkal Myanmar. Mayoritas warga Budha Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Pemerintah Myanmar juga menolak memberikan kewarganegaraan pada Rohingya.
Pejabat Myanmar menyatakan, Bangladesh tidak siap mengirim kembali pengungsi sesuai jadwal karena pengungsi belum melengkapi formulir yang disediakan Myanmar untuk membuktikan bekas tempat tinggalnya di Myanmar. "Mereka juga harus memastikan dengan UNHCR bahwa para pengungsi itu kembali dengan sukarela," ujar Menteri Kerja Sama Internasional Myanmar Kyaw Tin, Rabu (24/1/2018). "Mereka perlu banyak waktu untuk mengisi formulir dan menentukan apakah mereka benar-benar ingin kembali," ungkap Kyaw Tin.
Juru bicara UNHCR di Bangladesh menyatakan lembaganya tidak dilibatkan dalam diskusi bilateral tentang repatriasi atau menandatangani kesepakatan apa pun. "Kami ingin menjadi bagian proses dan diskusi untuk menjamin repatriasi itu sukarela, aman dan berkelanjutan, serta semua pengungsi yang kembali sesuai dengan standar internasional," kata Caroline Gluck, pejabat senior kantor informasi publik UNHCR di Cox's Bazar.
Delegasi internasional yang memberi saran pada Myanmar telah mengunjungi kamp pengungsi Taung Pyo Letwe di luar Kota Maungdaw, dekat perbatasan Bangladesh. Video menunjukkan kamp itu memiliki rumah-rumah panjang terbuat dari kayu lapis atau tripleks di atas tanah berbatu. Kamp itu dikelilingi pagar kawat berduri.
Bangladesh menunda repatriasi Rohingya pada Selasa (24/1/2018) karena proses pengumpulan data dan verifikasi daftar orang yang akan dikirim kembali ke Myanmar belum selesai. Meski demikian, PBB menyatakan keamanan untuk para pengungsi masih belum ada. "Hingga keamanan dan kesejahteraan semua anak yang kembali ke Myanmar dapat dijamin, perundingan repatriasi prematur," ungkap Deputi Direktur Eksekutif UNICEF Justin Forsyth dikutip kantor berita Reuters.
Badan Pengungsi PBB UNHCR menyatakan, masih ada pembatasan akses untuk lembaga bantuan, media, dan pengamat independen lainnya di Myanmar. "Myanmar harus mengizinkan akses kemanusiaan tanpa hambatan di negara bagian Rakhine dan menciptakan kondisi untuk solusi asli dan jangka panjang," ungkap pernyataan UNHCR.
Lebih dari 688.000 Muslim Rohingya dan beberapa ratus warga Hindu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak 25 Agustus tahun lalu setelah operasi militer Myanmar di Rakhine. PBB menyebut operasi militer itu sebagai pembersihan etnik. Tuduhan itu disangkal Myanmar. Mayoritas warga Budha Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Pemerintah Myanmar juga menolak memberikan kewarganegaraan pada Rohingya.
Pejabat Myanmar menyatakan, Bangladesh tidak siap mengirim kembali pengungsi sesuai jadwal karena pengungsi belum melengkapi formulir yang disediakan Myanmar untuk membuktikan bekas tempat tinggalnya di Myanmar. "Mereka juga harus memastikan dengan UNHCR bahwa para pengungsi itu kembali dengan sukarela," ujar Menteri Kerja Sama Internasional Myanmar Kyaw Tin, Rabu (24/1/2018). "Mereka perlu banyak waktu untuk mengisi formulir dan menentukan apakah mereka benar-benar ingin kembali," ungkap Kyaw Tin.
Juru bicara UNHCR di Bangladesh menyatakan lembaganya tidak dilibatkan dalam diskusi bilateral tentang repatriasi atau menandatangani kesepakatan apa pun. "Kami ingin menjadi bagian proses dan diskusi untuk menjamin repatriasi itu sukarela, aman dan berkelanjutan, serta semua pengungsi yang kembali sesuai dengan standar internasional," kata Caroline Gluck, pejabat senior kantor informasi publik UNHCR di Cox's Bazar.
(amm)