Negara-negara Arab Cari Mediator Baru untuk Timur Tengah
A
A
A
AMMAN - Menteri Luar Negeri dari enam negara Arab pada hari Sabtu mengusulkan untuk mencari mediator alternatif dalam proses perdamaian Timur Tengah. Hal itu menyusul keputusan Amerika Serikat (AS) untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
"Pertemuan di Amman, Yordania pada hari Sabtu, para menteri luar negeri Mesir, Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Palestina dan Maroko merekomendasikan agar negara-negara Arab mencari perantara perdamaian alternatif daripada AS," Sekretaris Umum Liga Arab Ahmed Aboul Gheit mengatakan pada sebuah konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi.
Diplomat tertinggi negara-negara Arab sepakat mengenai perlunya mengintensifkan upaya solusi politik guna mengakhiri perselisihan Palestina-Israel dengan membahas cara-cara untuk melawan langkah AS.
Safadi mengatakan bahwa langkah AS dibahas dalam pertemuan tersebut, yang merupakan pertemuan konsultasi dan koordinasi.
"Bagi dunia Arab dan Islam, tidak ada isu yang lebih besar dari Yerusalem," tegasnya seperti disitat dari Anadolu, Minggu (7/1/2017).
Ia menambahkan bahwa, bertindak serentak dengan masyarakat internasional, mereka tidak akan mengakui keputusan AS, dan menuntut pengakuan negara Palestina dengan ibukotanya Yerusalem.
Ia juga mengatakan keenamnya akan bertemu lagi untuk membahas sebuah pertemuan puncak Arab yang luar biasa.
Sebelum pertemuan mereka, para menteri luar negeri diterima oleh Raja Yordania Abdullah, menurut sebuah pernyataan oleh Kantor Kerajaan Yordania.
"Negara-negara Arab harus berkoordinasi dan berusaha keras untuk menegakkan tanggung jawab religius dan bersejarah mereka di Yerusalem dan untuk mendukung saudara-saudara kita di Palestina untuk sebuah negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya," Raja Abdullah mengatakan dalam sebuah pernyataan.
"Isu Yerusalem harus diselesaikan berdasarkan perdamaian yang adil dan abadi antara orang-orang Palestina dan Israel, dan keputusan yang diakui secara internasional berdasarkan solusi dua negara," pernyataan tersebut menambahkan.
Raja Abdullah mendesak agar status Yerusalem ditentukan oleh sebuah konsensus internasional, yang menekankan bahwa perlindungan situs sucinya penting baik bagi umat Islam maupun Kristen.
Pekan lalu, Knesset di Yerusalem mengeluarkan sebuah undang-undang yang mengharuskannya memperoleh persetujuan 80 dari 120 anggota majelis - dan bukan mayoritas sederhana - untuk mengubah status resmi atau batas kota Yerusalem.
Langkah tersebut menyusul keputusan Presiden AS Donald Trump bulan lalu yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, yang menarik kecaman internasional, termasuk dalam resolusi PBB yang dipelopori oleh Turki.
Yerusalem tetap menjadi jantung konflik Timur Tengah, dengan orang-orang Palestina berharap bahwa Yerusalem Timur - yang diduduki oleh Israel sejak 1967 - pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota negara Palestina merdeka.
"Pertemuan di Amman, Yordania pada hari Sabtu, para menteri luar negeri Mesir, Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Palestina dan Maroko merekomendasikan agar negara-negara Arab mencari perantara perdamaian alternatif daripada AS," Sekretaris Umum Liga Arab Ahmed Aboul Gheit mengatakan pada sebuah konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi.
Diplomat tertinggi negara-negara Arab sepakat mengenai perlunya mengintensifkan upaya solusi politik guna mengakhiri perselisihan Palestina-Israel dengan membahas cara-cara untuk melawan langkah AS.
Safadi mengatakan bahwa langkah AS dibahas dalam pertemuan tersebut, yang merupakan pertemuan konsultasi dan koordinasi.
"Bagi dunia Arab dan Islam, tidak ada isu yang lebih besar dari Yerusalem," tegasnya seperti disitat dari Anadolu, Minggu (7/1/2017).
Ia menambahkan bahwa, bertindak serentak dengan masyarakat internasional, mereka tidak akan mengakui keputusan AS, dan menuntut pengakuan negara Palestina dengan ibukotanya Yerusalem.
Ia juga mengatakan keenamnya akan bertemu lagi untuk membahas sebuah pertemuan puncak Arab yang luar biasa.
Sebelum pertemuan mereka, para menteri luar negeri diterima oleh Raja Yordania Abdullah, menurut sebuah pernyataan oleh Kantor Kerajaan Yordania.
"Negara-negara Arab harus berkoordinasi dan berusaha keras untuk menegakkan tanggung jawab religius dan bersejarah mereka di Yerusalem dan untuk mendukung saudara-saudara kita di Palestina untuk sebuah negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya," Raja Abdullah mengatakan dalam sebuah pernyataan.
"Isu Yerusalem harus diselesaikan berdasarkan perdamaian yang adil dan abadi antara orang-orang Palestina dan Israel, dan keputusan yang diakui secara internasional berdasarkan solusi dua negara," pernyataan tersebut menambahkan.
Raja Abdullah mendesak agar status Yerusalem ditentukan oleh sebuah konsensus internasional, yang menekankan bahwa perlindungan situs sucinya penting baik bagi umat Islam maupun Kristen.
Pekan lalu, Knesset di Yerusalem mengeluarkan sebuah undang-undang yang mengharuskannya memperoleh persetujuan 80 dari 120 anggota majelis - dan bukan mayoritas sederhana - untuk mengubah status resmi atau batas kota Yerusalem.
Langkah tersebut menyusul keputusan Presiden AS Donald Trump bulan lalu yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, yang menarik kecaman internasional, termasuk dalam resolusi PBB yang dipelopori oleh Turki.
Yerusalem tetap menjadi jantung konflik Timur Tengah, dengan orang-orang Palestina berharap bahwa Yerusalem Timur - yang diduduki oleh Israel sejak 1967 - pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota negara Palestina merdeka.
(ian)