Pembelot Banjiri Korut dengan Informasi Terlarang
A
A
A
SEOUL - Pembelot Korea Utara (Korut) secara diam-diam meningkatkan kampanye membanjiri bekas tanah air mereka dengan flash disk dan balon yang penuh dengan informasi terlarang. Hal itu dilakukan untuk melawan propaganda rezim Pyongyang di tengah meningkatnya ketegangan dengan Amerika Serikat (AS) terkait program nuklir dan rudal Pyongyang.
Aksi mereka ini dibantu oleh Yayasan Hak Asasi Manusia, HSF, yang berbasis di Amerika Serikat (AS) dan didanai secara pribadi. Tujuan utamanya adalah menumbangkan rezim Kim Jong-un dari dalam, dengan melibatkan langsung orang Korut, memberikan informasi terlarang yang akan mempengaruhi pola pikir dan ketidakpuasan sebagai bahan bakarnya.
"Sampai 10.000 flash disk berhasil diselundupkan ke Korea Utara karena hubungan Pyongyang menurun tajam sepanjang tahun lalu," kata Alex Gladstein, kepala strategi utama HSF seperti dikutip dari Telegraph, Minggu (24/12/2017).
Tetapi dengan strategi militer dan diplomatik tradisional yang tampaknya gagal untuk mengurangi ancaman konflik nuklir, para aktivis sekarang bekerja dengan giat mencapai target 100 ribu pada pertengahan 2018.
Mengobarkan perang informasi ini adalah satu-satunya cara untuk menginspirasi perubahan. Jadi benar-benar seperti cara ketiga, dan ini untuk membebaskan pikiran," ujar Gladstein.
"Kami menciptakan jendela kecil ke dunia luar sehingga orang Korea Utara dapat membuat keputusan untuk diri mereka sendiri tentang apa yang ingin mereka lakukan dengan kehidupan mereka," jelasnya.
Ia kemudian mengungkapkan bahwa selera informasi di Korut telah bergeser dalam beberapa bulan terakhir, dari film-film populer Titanic, opera sabun Korea Selatan dan video musik megastar Psy lebih ke berita, dokumenter, dan materi pendidikan termasuk entri Wikipedia.
"Konten tersebut dipilih oleh kelompok fokus pembelot," kata Gladstein.
Ia mengatakan reaksi rezim yang begitu tegas terhadap mereka, dengan menyebut mereka "sampah" dan "enemy zero" menunjukkan betapa takutnya terhadap berita luar.
Flash disk diselundupkan dengan risiko besar melalui kota-kota di perbatasan China dengan Korut, di mana pasar gelap untuk barang dan informasi berkembang.
Proyek "Flashdrives for Freedom" kelompok tersebut telah menyelundupkan rekaman dalam 2 juta jam, dan 48m jam bahan bacaan, mencapai sekitar 1,1 juta orang Korut selama beberapa tahun terakhir.
Operasi ini pertama kali dimulai dengan cara yang paling sederhana di tahun 2013, dengan mengambangkan balon hidrogen yang memuat DVD, uang kertas dan selebaran dari kota utara Paju melintasi perbatasan yang dimiliterisasi.
Proyek balon berlangsung selama musim dengan angin yang menguntungkan namun fokus kelompok tersebut telah bergeser terutama ke flashdrives yang telah meningkatkan jumlah konten yang dapat dikirim secara dramatis.
Pendekatan mereka secara implisit disahkan pada bulan November oleh Thae Yong-ho, yang orang nomor dua di kedutaan Korut di London sampai dia menjadi pembelot profil tertinggi rezim pada tahun 2016.
Dalam sebuah kunjungan ke Washington, Thae mendesak legislator di Komite Urusan Luar Negeri DPR AS untuk menyerang "tumit Achilles" dari diktator Kim Jong-un. Caranya adalah menargetkan penduduknya dengan informasi khusus yang membuat mereka mempertanyakan kondisi kehidupan mereka yang mengerikan.
Thae mengatakan dengan mengeksploitasi meningkatnya penetrasi kapitalisme pasar bebas, warga Korut dapat didorong untuk menantang cuci otak mereka sejak bayi bahwa keluarga Kim adalah penguasa ilahi yang melindungi mereka dari dunia luar.
"Kami tidak bisa mengubah kebijakan teror rezim Kim Jong-un. Tapi kita bisa mendidik penduduk Korea Utara untuk berdiri dengan menyebarkan informasi dari luar," cetusnya.
Bukti meningkatnya pengaruh asing terhadap rezim rahasia tersebut terbawa dalam pembelotan seorang tentara muda yang baru-baru ini ditembak berkali-kali saat melintasi perbatasan.
Ketika terbangun dari operasi yang menyelamatkan nyawa dia mengaku menyukai band wanita Korsel.
Sementara dampak kampanye informasi sulit diukur, Gladstein mengatakan bahwa kelompok tersebut berharap dapat mempengaruhi elit bisnis dan militer Korut untuk mendorong perubahan yang pada akhirnya akan membantu membebaskan seperempat tahanan yang mendekam di kamp kerja paksa.
"Mengingat sejarah Eropa Timur, saya berharap orang bisa memikirkan potensi informasi daripada konflik dan provokasi sembarangan dan benar-benar gagal diplomasi," katanya.
"Tidak ada yang bisa dilakukan pemerintah dengan informasi, mereka tidak bisa memanipulasinya. Ini hal yang sangat kuat," tukasnya.
Aksi mereka ini dibantu oleh Yayasan Hak Asasi Manusia, HSF, yang berbasis di Amerika Serikat (AS) dan didanai secara pribadi. Tujuan utamanya adalah menumbangkan rezim Kim Jong-un dari dalam, dengan melibatkan langsung orang Korut, memberikan informasi terlarang yang akan mempengaruhi pola pikir dan ketidakpuasan sebagai bahan bakarnya.
"Sampai 10.000 flash disk berhasil diselundupkan ke Korea Utara karena hubungan Pyongyang menurun tajam sepanjang tahun lalu," kata Alex Gladstein, kepala strategi utama HSF seperti dikutip dari Telegraph, Minggu (24/12/2017).
Tetapi dengan strategi militer dan diplomatik tradisional yang tampaknya gagal untuk mengurangi ancaman konflik nuklir, para aktivis sekarang bekerja dengan giat mencapai target 100 ribu pada pertengahan 2018.
Mengobarkan perang informasi ini adalah satu-satunya cara untuk menginspirasi perubahan. Jadi benar-benar seperti cara ketiga, dan ini untuk membebaskan pikiran," ujar Gladstein.
"Kami menciptakan jendela kecil ke dunia luar sehingga orang Korea Utara dapat membuat keputusan untuk diri mereka sendiri tentang apa yang ingin mereka lakukan dengan kehidupan mereka," jelasnya.
Ia kemudian mengungkapkan bahwa selera informasi di Korut telah bergeser dalam beberapa bulan terakhir, dari film-film populer Titanic, opera sabun Korea Selatan dan video musik megastar Psy lebih ke berita, dokumenter, dan materi pendidikan termasuk entri Wikipedia.
"Konten tersebut dipilih oleh kelompok fokus pembelot," kata Gladstein.
Ia mengatakan reaksi rezim yang begitu tegas terhadap mereka, dengan menyebut mereka "sampah" dan "enemy zero" menunjukkan betapa takutnya terhadap berita luar.
Flash disk diselundupkan dengan risiko besar melalui kota-kota di perbatasan China dengan Korut, di mana pasar gelap untuk barang dan informasi berkembang.
Proyek "Flashdrives for Freedom" kelompok tersebut telah menyelundupkan rekaman dalam 2 juta jam, dan 48m jam bahan bacaan, mencapai sekitar 1,1 juta orang Korut selama beberapa tahun terakhir.
Operasi ini pertama kali dimulai dengan cara yang paling sederhana di tahun 2013, dengan mengambangkan balon hidrogen yang memuat DVD, uang kertas dan selebaran dari kota utara Paju melintasi perbatasan yang dimiliterisasi.
Proyek balon berlangsung selama musim dengan angin yang menguntungkan namun fokus kelompok tersebut telah bergeser terutama ke flashdrives yang telah meningkatkan jumlah konten yang dapat dikirim secara dramatis.
Pendekatan mereka secara implisit disahkan pada bulan November oleh Thae Yong-ho, yang orang nomor dua di kedutaan Korut di London sampai dia menjadi pembelot profil tertinggi rezim pada tahun 2016.
Dalam sebuah kunjungan ke Washington, Thae mendesak legislator di Komite Urusan Luar Negeri DPR AS untuk menyerang "tumit Achilles" dari diktator Kim Jong-un. Caranya adalah menargetkan penduduknya dengan informasi khusus yang membuat mereka mempertanyakan kondisi kehidupan mereka yang mengerikan.
Thae mengatakan dengan mengeksploitasi meningkatnya penetrasi kapitalisme pasar bebas, warga Korut dapat didorong untuk menantang cuci otak mereka sejak bayi bahwa keluarga Kim adalah penguasa ilahi yang melindungi mereka dari dunia luar.
"Kami tidak bisa mengubah kebijakan teror rezim Kim Jong-un. Tapi kita bisa mendidik penduduk Korea Utara untuk berdiri dengan menyebarkan informasi dari luar," cetusnya.
Bukti meningkatnya pengaruh asing terhadap rezim rahasia tersebut terbawa dalam pembelotan seorang tentara muda yang baru-baru ini ditembak berkali-kali saat melintasi perbatasan.
Ketika terbangun dari operasi yang menyelamatkan nyawa dia mengaku menyukai band wanita Korsel.
Sementara dampak kampanye informasi sulit diukur, Gladstein mengatakan bahwa kelompok tersebut berharap dapat mempengaruhi elit bisnis dan militer Korut untuk mendorong perubahan yang pada akhirnya akan membantu membebaskan seperempat tahanan yang mendekam di kamp kerja paksa.
"Mengingat sejarah Eropa Timur, saya berharap orang bisa memikirkan potensi informasi daripada konflik dan provokasi sembarangan dan benar-benar gagal diplomasi," katanya.
"Tidak ada yang bisa dilakukan pemerintah dengan informasi, mereka tidak bisa memanipulasinya. Ini hal yang sangat kuat," tukasnya.
(ian)