Sekilas Yerusalem, Kota 3 Agama Samawi yang Jadi Rebutan

Kamis, 07 Desember 2017 - 11:25 WIB
Sekilas Yerusalem, Kota...
Sekilas Yerusalem, Kota 3 Agama Samawi yang Jadi Rebutan
A A A
YERUSALEM - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump semalam secara resmi mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Pemindahan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem pun segera menyusul.

Langkah Trump telah memicu kecaman dan kemarahan global, terutama dari negara-negara Muslim.

Yerusalem merupakan kota tua dan bersejarah. Kota ini menjadi rumah bagi tiga umat agama samawi—Islam, Kristen, Yahudi—selaman bertahun-tahun. Jejak-jejak sejarah Nabi, seperti peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW, sejarah kehidupan Nabi Isa (Yesus) dan sejarah para Nabi umat Yahudi diyakini terjadi di kota tua ini.

Bangunan dan situs suci tiga agama juga berdiri di kota ini, termasuk Masjid al-Aqsa. Cerita Yerusalem sebagai “tanah panas” karena jadi medan perang bertahun-tahun juga abadi.

Sengketa Yerusalem antara Israel dan Palestina tak lepas dari pendudukan Israel terhadap tanah Yerusalem Timur pada akhir Perang Enam Hari 1967 antara Israel dengan tiga negara Arab—Suriah, Mesir dan Yordania. Sedangkan bagian barat kota tua ini telah dianeksasi Israel dalam perang Arab-Israel 1948.

Pendudukan Israel di Yerusalem Timur secara efektif menempatkan seluruh kota di bawah kendali Israel secara de facto. Namun, yurisdiksi dan kepemilikan Yerusalem oleh Israel tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional, termasuk AS sebelum apa yang dilakukan Presiden Donald Trump semalam (6/12/2017).

Status Yerusalem tetap menjadi salah satu poin utama dalam upaya menyelesaikan konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel.

Selama perang 1967, Israel merebut bagian timur Yerusalem—yang saat itu berada di bawah kendali Yordania—, dan mulai secara efektif mencaplok dengan memperluas area hukum Israel. Pemerintah Zionis menerapkan yurisdiksinya dengan melanggar hukum internasional.

Pada tahun 1980, Israel meloloskan “Jerusalam Law” (Hukum Yerusalem), yang menyatakan bahwa ”Yerusalem, lengkap dan bersatu, adalah ibu kota Israel”. Hukum itu sekaligus untuk meresmikan aneksasi Yerusalem Timur.

Sebagai tanggapan, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 478 pada tahun 1980, yang menyatakan bahwa undang-undang atau hukum buatan Israel tersebut ”batal demi hukum”.

Masyarakat internasional, termasuk AS, secara resmi menganggap Yerusalem Timur sebagai wilayah yang diduduki Israel. Selain itu, tidak ada negara di dunia yang mengakui bagian Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Sampai sekarang, semua kedutaan besar asing di Israel masih berbasis di Tel Aviv. Namun, setelah pengakuan Trump semalam, Kedutaan AS segera pindah dari Tel Aviv ke kota tua tersebut.

Aneksasi ilegal Israel terhadap Yerusalem Timur melanggar beberapa prinsip di bawah hukum internasional, yang menguraikan bahwa kekuasaan pendudukan tidak memiliki kedaulatan di wilayah yang didudukinya.

Meskipun ada aneksasi de facto Israel di Yerusalem Timur, orang-orang Palestina yang tinggal di sana tidak diberi kewarganegaraan Israel.

Saat ini, sekitar 420.000 warga Palestina di Yerusalem Timur memiliki kartu identitas ”tinggal permanen”. Mereka juga membawa paspor sementara Yordania tanpa nomor identifikasi nasional. Ini berarti bahwa mereka bukan warga Yordania secara penuh.

Mereka memerlukan izin kerja untuk bekerja di Yordania dan tidak memiliki akses terhadap layanan dan manfaat pemerintah seperti pengurangan biaya pendidikan.

Warga Palestina di Yerusalem pada dasarnya tanpa kewarganegaraan, terjebak dalam limbo hukum. Artinya, mereka bukan warga negara Israel, juga bukan warga Yordania atau pun Palestina.

Israel memperlakukan orang-orang Palestina di Yerusalem Timur sebagai imigran asing yang tinggal di sana. Mereka diharuskan memenuhi persyaratan tertentu untuk mempertahankan status kependudukan mereka dan hidup dalam ketakutan secara terus-menerus karena hak tinggal setiap saat bisa dicabut.

Setiap orang Palestina yang telah tinggal di luar batas-batas wilayah Yerusalem untuk jangka waktu tertentu, baik di luar negeri atau bahkan di Tepi Barat, berisiko kehilangan hak mereka untuk tinggal di sana.

Nasib berbeda di alami setiap orang Yahudi di seluruh dunia. Mereka berhak menikmati dan tinggal di Israel. Setiap warga Yahudi juga akan mendapatkan kewarganegaraan Israel di bawah “Israel Law of Return”.

Sejak 1967, Israel telah mencabut status 14.000 warga Palestina. Data ini pernah diungkap kelompok hak asasi manusia B'Tselem.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1569 seconds (0.1#10.140)