Trump Pertimbangkan Akui Yerusalem Sebagai Ibu Kota Israel

Jum'at, 01 Desember 2017 - 09:33 WIB
Trump Pertimbangkan Akui Yerusalem Sebagai Ibu Kota Israel
Trump Pertimbangkan Akui Yerusalem Sebagai Ibu Kota Israel
A A A
WASHINGTON - Seorang pejabat mengatakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mempertimbangkan untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Namun, Trump diperkirakan akan menunda janji kampanyenya untuk memindahkan kedutaan AS di sana.

Langkah Trump ini dapat membalikkan sejumlah kebijakan AS di Timur Tengah selama beberadap dekade dan meningkatkan ketegangan di Timur Tengah.

Setelah berbulan-bulan Gedung Putih mengadakan perundingan yang intens, Trump kemungkinan akan membuat pengumuman minggu depan yang berusaha menyeimbangkan antara tuntutan politik domestik dan tekanan geopolitik mengenai sebuah isu di jantung konflik Israel-Palestina - status Yerusalem, rumah bagi situs suci untuk agama Yahudi, Muslim dan Kristen.

"Trump menimbang sebuah rencana di mana dia akan mengumumkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel," kata pejabat tersebut seperti dilansir dari Reuters, Jumat (1/12/2017).

Keputusan ini menyimpang dari pendahulu Gedung Putih yang telah bersikeras bahwa masalah Yerusalem adalah masalah yang harus diputuskan dalam perundingan damai.

Orang-orang Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibukota negara mereka di masa depan, dan masyarakat internasional tidak mengakui klaim Israel atas seluruh kota tersebut.

Langkah Trump, yang bisa dilakukan melalui sebuah pernyataan atau pidato presiden, akan memicu kemarahan warga Palestina dan dunia Arab. Lebih jauh, hal itu kemungkinan juga akan merongrong usaha Trump untuk memulai kembali perundingan damai Israel-Palestina yang telah macet.

Sementara di sisi lain, keputusan itu bisa membantu memenuhi basis pro-Israel dan sayap kanan yang membantunya memenangkan kursi kepresidenan dan juga membantu pemerintah Israel, sekutu dekat AS.

"Trump kemungkinan akan melanjutkan kebijakan pendahulunya untuk menandatangani pembebasan enam bulan yang mengesampingkan undang-undang 1995 yang mengharuskan Kedutaan Besar AS untuk dipindahkan dari Tel Aviv ke Yerusalem," ungkap pejabat itu.

"Namun di antara pilihan yang dipertimbangkan Trump adalah memerintahkan pembantunya mengembangkan rencana jangka panjang untuk merelokasi kedutaan tersebut guna memperjelas niatnya memindahkannya," imbuhnya.

Namun, pejabat AS yang berbicara dengan syarat anonim itu, memperingatkan bahwa rencana tersebut belum selesai dan Trump masih dapat mengubahnya.

Terkait hal ini, pihak Departemen Luar Negeri AS menyanggahnya. "Belum ada keputusan mengenai hal itu," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Heather Nauert pada hari Kamis.

Saat kampanye presiden tahun lalu, Trump mengatakan bahwa ia akan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Tapi Trump pada bulan Juni melanggar persyaratan tersebut, dengan mengatakan bahwa dia ingin "memaksimalkan peluang" untuk dorongan perdamaian yang dipimpin oleh menantunya dan penasihat seniornya, Jared Kushner.

Usaha-usaha itu sedikit banyak menunjukkan kemajuan.

Status Yerusalem adalah salah satu batu sandungan utama dalam mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina.

Israel merebut Yerusalem Timur dari Arab selama perang Timur Tengah pada 1967 dan kemudian mencaploknya, sebuah tindakan yang tidak diakui secara internasional.

Para pemimpin Palestina, pemerintah Arab dan sekutu Barat telah lama mendesak Trump untuk tidak melanjutkan relokasi kedutaan, yang akan melawan kebijakan AS selama beberapa dekade dengan memberikan pengakuan de facto klaim Israel atas seluruh Yerusalem sebagai ibukotanya.

Namun, jika Trump memutuskan untuk mengumumkan Yerusalem sebagai ibukota Israel, bahkan tanpa melakukan perjalanan kenegaraan, pasti akan memicu kegemparan internasional.

Pertanyaan kunci adalah apakah pernyataan semacam itu akan diabadikan sebagai tindakan kepresidenan formal atau sekadar merupakan pernyataan simbolis oleh Trump.

Beberapa pejabat utama Trump secara pribadi telah mendorongnya agar janji kampanyenya memuaskan sejumlah pendukung, termasuk orang-orang Kristen evangelis, sementara yang lain telah memperingatkan potensi kerusakan hubungan AS dengan negara-negara Muslim.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5841 seconds (0.1#10.140)