Soal Pembersihan PKI, Wartawan Australia Ini Bikin AS Tertawa
A
A
A
SYDNEY - Frank Palmos, nama wartawan dan sejarawan Australia ini. Dialah yang membuat Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) tertawa pada tahun 1960-an karena tahu lebih banyak tentang pembersihan anggota dan simpatisan PKI di Indonesia.
Sebagian dokumen rahasia soal operasi anti-Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dirilis Arsip Keamanan Nasional di AS pekan ini sejatinya mengutip dari data Palmos. Palmos, yang saat itu adalah koresponden Indonesia untuk The Sydney Morning Herald dan surat kabar lainnya, tidak diragukan lagi bahwa sumber telegram rahasia AS merujuk kepadanya.
”Kemudian Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green tertawa bahwa saya tahu lebih banyak daripada dia,” kata Palmos, yang sekarang berusia 70-an tahun, kepada Fairfax Media, Sabtu (21/10/2017).
Palmos—salah satu inspirasi untuk novel “The Year of Living Dangerously”, yang kemudian dijadikan film yang dibintangi Mel Gibson—adalah orang asing pertama di dunia yang menyaksikan langsung skala pembersihan yang dilaporkan menewaskan 500.000 orang komunis di Indonesia.
Baca Juga: Data Ungkap Rincian Baru Dukungan AS dalam Operasi Anti-PKI 1965
Dokumen yang dirilis Arsip Keamanan Nasional di AS merupakan dokumen yang baru saja dideklasifikasi dari Kedutaan Besar AS di Jakarta dari tahun 1964-1968. Data itu dirilis setelah para aktivis, ilmuwan, pembuat film dan sekelompok Senator AS meminta agar berkas tersebut dipublikasikan.
Arsip Keamanan Nasional mengatakan bahwa Telegram 1516 dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta adalah ”kabel penting” yang melaporkan tentang percakapan antara pengamat dan aktivis dari PKI.
Telegram tertanggal 20 November 1965 menyebut seorang jurnalis Australia yang andal, yang fasih berbahasa Indonesia, adalah wartawan Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah pada tanggal 10 Oktober 1965. Jurnalis yang dimaksud adalah Palmos.
”Dia mengatakan bahwa dia berbicara dengan kader PKI di sejumlah tempat di Jawa Tengah dan merasa sangat bingung dan mengklaim tidak memiliki pengetahuan sebelumnya tentang gerakan 30 September,” bunyi telegram tersebut.
Gerakan 30 September merupakan kudeta yang dibatalkan dan PKI sebagai pihak yang disalahkan karena menculik dan membunuh para jenderal terbaik Indonesia.
Baca Juga: Dokumen AS Juga Singgung Peran Ulama dalam Pembantaian Anti-PKI
Tindakan PKI itulah yang memicu pembantaian massal yang diprakarsai oleh tentara Indonesia. Targetnya adalah anggota dan simpatisan PKI serta siapa saja yang dituduh memiliki kecenderungan sebagai orang “kiri”.
”Kabel (diplomatik) tersebut menunjukkan bahwa pejabat AS sangat menyadari bahwa para pendukung dan anggota PKI yang ditangkap atau dibunuh dalam kampanye penindasan yang dipimpin tentara dan pembunuhan massal tidak memiliki peran—atau bahkan mengetahui—tentang gerakan 30 September,” bunyi Arsip Keamanan Nasional AS.
“Amerika Serikat mulai bergerak untuk menawarkan dukungan rahasia yang substansial untuk kampanye (pembersihan) tersebut,” lanjut dokumen arsip tersebut.
Palmos mengatakan bahwa dia dan jurnalis Canadian Broadcasting Corporation, Don North, melakukan perjalanan ke Jawa Barat dan Jawa Tengah 10 hari setelah kudeta yang gagal untuk mengukur skala keterlibatan PKI.
”Saya ingin mengetahui apakah ini adalah operasi yang dipimpin oleh Jakarta atau borongan, gerakan PKI yang benar-benar terimplikasi, benar-benar diresapi,” kata Palmos.
Menurutnya, “pemandangan” kala itu sepi, di mana para petani padi yang telah mendukung PKI khawatir tentang tindakan militer.
”Bendera komunis Bintang Merah sudah melorot yang mengindikasikan mereka berlindung,” kata Palmos. ”Saya cukup berani pada masa itu tapi saya masih ketakutan.”
Baca Juga: Kemlu RI Coba Verifikasi Dokumen AS soal Operasi Anti-PKI 1965
Palmos tidak terkejut mengetahui bahwa kader PKI di Jawa Tengah tidak mengetahui adanya kudeta tersebut.
Laporan sebelumnya tentang apa yang disebut ”Long March” dari Surabaya ke Jakarta pada bulan Mei 1965 untuk merayakan ulang tahun ke-45 PKI—yang gagal pada saat tiba di Bekasi—telah meyakinkannya bahwa Partai Komunis tidak memiliki tentara substantif di Jawa Tengah.
”Petani tampaknya merangkum situasi; Saya akan mendukung partai (PKI) dan memilih partai tapi saya tidak akan memperjuangkan partai tersebut,” kata Palmos.
Palmos mengaku mendokumentasikan kengerian pembersihan anti-komunis. ”Pemancungan adalah bentuk pembunuhan yang paling umum namun untuk penembakan mati dalam skala besar adalah hal yang normal,” tulis Palmos di The Sun News-Pictorial, surat kabar terbesar di Melbourne.
Namun dia percaya bahwa jika PKI berhasil melakukan kudeta, pertumpahan darah akan menjadi lebih buruk.
”Satu-satunya hal yang melayang ketika saya kembali ke atas adalah karena PKI ikut berkuasa, (Indonesia) bisa saja melampui Kamboja, di mana Pol Pot membantai hampir 40 persen populasinya,” katanya.
Sebagian dokumen rahasia soal operasi anti-Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dirilis Arsip Keamanan Nasional di AS pekan ini sejatinya mengutip dari data Palmos. Palmos, yang saat itu adalah koresponden Indonesia untuk The Sydney Morning Herald dan surat kabar lainnya, tidak diragukan lagi bahwa sumber telegram rahasia AS merujuk kepadanya.
”Kemudian Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green tertawa bahwa saya tahu lebih banyak daripada dia,” kata Palmos, yang sekarang berusia 70-an tahun, kepada Fairfax Media, Sabtu (21/10/2017).
Palmos—salah satu inspirasi untuk novel “The Year of Living Dangerously”, yang kemudian dijadikan film yang dibintangi Mel Gibson—adalah orang asing pertama di dunia yang menyaksikan langsung skala pembersihan yang dilaporkan menewaskan 500.000 orang komunis di Indonesia.
Baca Juga: Data Ungkap Rincian Baru Dukungan AS dalam Operasi Anti-PKI 1965
Dokumen yang dirilis Arsip Keamanan Nasional di AS merupakan dokumen yang baru saja dideklasifikasi dari Kedutaan Besar AS di Jakarta dari tahun 1964-1968. Data itu dirilis setelah para aktivis, ilmuwan, pembuat film dan sekelompok Senator AS meminta agar berkas tersebut dipublikasikan.
Arsip Keamanan Nasional mengatakan bahwa Telegram 1516 dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta adalah ”kabel penting” yang melaporkan tentang percakapan antara pengamat dan aktivis dari PKI.
Telegram tertanggal 20 November 1965 menyebut seorang jurnalis Australia yang andal, yang fasih berbahasa Indonesia, adalah wartawan Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah pada tanggal 10 Oktober 1965. Jurnalis yang dimaksud adalah Palmos.
”Dia mengatakan bahwa dia berbicara dengan kader PKI di sejumlah tempat di Jawa Tengah dan merasa sangat bingung dan mengklaim tidak memiliki pengetahuan sebelumnya tentang gerakan 30 September,” bunyi telegram tersebut.
Gerakan 30 September merupakan kudeta yang dibatalkan dan PKI sebagai pihak yang disalahkan karena menculik dan membunuh para jenderal terbaik Indonesia.
Baca Juga: Dokumen AS Juga Singgung Peran Ulama dalam Pembantaian Anti-PKI
Tindakan PKI itulah yang memicu pembantaian massal yang diprakarsai oleh tentara Indonesia. Targetnya adalah anggota dan simpatisan PKI serta siapa saja yang dituduh memiliki kecenderungan sebagai orang “kiri”.
”Kabel (diplomatik) tersebut menunjukkan bahwa pejabat AS sangat menyadari bahwa para pendukung dan anggota PKI yang ditangkap atau dibunuh dalam kampanye penindasan yang dipimpin tentara dan pembunuhan massal tidak memiliki peran—atau bahkan mengetahui—tentang gerakan 30 September,” bunyi Arsip Keamanan Nasional AS.
“Amerika Serikat mulai bergerak untuk menawarkan dukungan rahasia yang substansial untuk kampanye (pembersihan) tersebut,” lanjut dokumen arsip tersebut.
Palmos mengatakan bahwa dia dan jurnalis Canadian Broadcasting Corporation, Don North, melakukan perjalanan ke Jawa Barat dan Jawa Tengah 10 hari setelah kudeta yang gagal untuk mengukur skala keterlibatan PKI.
”Saya ingin mengetahui apakah ini adalah operasi yang dipimpin oleh Jakarta atau borongan, gerakan PKI yang benar-benar terimplikasi, benar-benar diresapi,” kata Palmos.
Menurutnya, “pemandangan” kala itu sepi, di mana para petani padi yang telah mendukung PKI khawatir tentang tindakan militer.
”Bendera komunis Bintang Merah sudah melorot yang mengindikasikan mereka berlindung,” kata Palmos. ”Saya cukup berani pada masa itu tapi saya masih ketakutan.”
Baca Juga: Kemlu RI Coba Verifikasi Dokumen AS soal Operasi Anti-PKI 1965
Palmos tidak terkejut mengetahui bahwa kader PKI di Jawa Tengah tidak mengetahui adanya kudeta tersebut.
Laporan sebelumnya tentang apa yang disebut ”Long March” dari Surabaya ke Jakarta pada bulan Mei 1965 untuk merayakan ulang tahun ke-45 PKI—yang gagal pada saat tiba di Bekasi—telah meyakinkannya bahwa Partai Komunis tidak memiliki tentara substantif di Jawa Tengah.
”Petani tampaknya merangkum situasi; Saya akan mendukung partai (PKI) dan memilih partai tapi saya tidak akan memperjuangkan partai tersebut,” kata Palmos.
Palmos mengaku mendokumentasikan kengerian pembersihan anti-komunis. ”Pemancungan adalah bentuk pembunuhan yang paling umum namun untuk penembakan mati dalam skala besar adalah hal yang normal,” tulis Palmos di The Sun News-Pictorial, surat kabar terbesar di Melbourne.
Namun dia percaya bahwa jika PKI berhasil melakukan kudeta, pertumpahan darah akan menjadi lebih buruk.
”Satu-satunya hal yang melayang ketika saya kembali ke atas adalah karena PKI ikut berkuasa, (Indonesia) bisa saja melampui Kamboja, di mana Pol Pot membantai hampir 40 persen populasinya,” katanya.
(mas)