Muslimah Rohingya Diperkosa Tentara Myanmar 3 Hari Berturut-turut
A
A
A
COXS BAZAR - Para pengungsi minoritas muslim Rohingya bicara tentang pelanggaran HAM berat yang dilakukan para tentara Myanmar selama operasi di negara bagian Rakhine. Salah satu pengungsi wanita mengaku diperkosa selama tiga hari berturut-turut.
Para korban kekerasan militer itu menjalani perawatan di sebuah klinik di kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh. Dalam seminggu terakhir, hampir 15.000 pengungsi Rohingya tiba mencari perlindungan di Teknaf dan Kutupalang Thana di Distrik Cox's Bazar. Kehadiran mereka menambah jumlah pengungsi menjadi sekitar 440.000 jiwa sejak kekerasan terbaru pecah di Rakhine 25 Agustus 2017.
Meskipun jumlah pasti korban pemerkosaan tidak diketahui, pejabat di sebuah klinik darurat mengatakan kepada Arab News bahwa sejauh ini mereka telah merawat 100 wanita Rohingya di Cox's Bazar secara sendirian.
Menurut para pejabat di klinik darurat, sangat sulit bagi korban pemerkosaan untuk berbicara karena tabu secara sosial dan agama.
”Tentara menyerang rumah kami, membawa saya dan saudara perempuan saya ke sebuah kamp tentara di dekatnya,” kata Saleha Khatun, 23, pengungsi muslimah Rohingya di kamp Kutupalang di Cox's Bazar, kepada Arab News.
”Ada 23 gadis lain yang dipenjara di kamp itu. Saya diperkosa secara brutal selama tiga hari berturut-turut. Bahkan kematian lebih baik daripada penghinaan ini,” katanya sambil menangis.
”Kami dipenjarakan di kamp dan diperlakukan seperti budak. Mereka tidak mengizinkan kami mengenakan pakaian apapun selama tiga hari ini. Diikat telanjang ke tempat tidur, tentara mulai memperkosa kami dalam sebuah kelompok. Itu lebih buruk dari neraka,” lanjut Saleha Khatun.
Baca Juga: Pemerkosaan Massal Wanita Rohingya Dilakukan Secara Sistematis
Asma Begum, 19, yang dulu tinggal di negara bagian Rakhine, juga bercerita tentang kebrutalan militer Myanmar. ”Kami bersiap untuk pindah dan melintasi perbatasan ke Bangladesh. Sekitar pukul 11.00 pagi, tentara memasuki rumah kami. Mereka mengikat suami saya ke sebuah pilar dan melemparkan dua bayi saya keluar dari rumah. Lima tentara memperkosa saya, satu demi satu, di depan suami saya. Kemudian mereka mencoba membunuh suami saya. Saya memohon untuk hidup kami, dan mendapat belas kasihan dengan syarat kami segera meninggalkan rumah,” papar Asma Begum.
Mukti Biswas, seorang psikolog dengan Gonoshastho Kendro, seorang LSM lokal yang merawat pengungsi di kamp Ukhia, Teknaf dan Bandarban, mengatakan bahwa para wanita Rohingya trauma.
”Wanita Rohingya yang dilecehkan sekarang menderita depresi akut dan trauma. Kita perlu segera menangani masalah kesehatan mental. Dalam beberapa kasus, mereka tidak siap untuk mendiskusikan pengalaman traumatis mereka. Kami merawat mereka dengan mengamati gejala dan menawarkan obat-obatan gratis.Gadis remaja adalah yang paling rentan. Kami membutuhkan lebih banyak dokter dan psikiater untuk merawat sejumlah besar pengungsi ini,” katanya.
Pemerintah Bangladesh telah mempekerjakan lebih banyak dokter dan asisten medis dalam beberapa hari terakhir untuk memberikan perawatan kesehatan primer kepada para pengungsi. Sebanyak 30 dokter, hampir 30 asisten kesehatan dan 42 perawat sekarang bekerja di kamp.
Kelompok Medicins Sans Frontieres, Gonoshastho Kendro, Palang Merah, Aksi Melawan Kelaparan, dan LSM lokal dan internasional lainnya juga memberikan perawatan kesehatan gratis.
Sementara itu, Kepala Badan Migrasi PBB memperingatkan tentang meningkatnya laporan kekerasan seksual terhdap minoritas muslim Rohingya yang telah melarikan diri dari kekerasan di Myanmar dalam beberapa pekan terakhir.
Direktur Jenderal William Lacy Swing dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengaku terkejut dan khawatir mengenai laporan kekerasan berbasis seksual dan gender di antara warga Rohingya yang baru tiba di Cox's Bazar.
”Sebagian besar minoritas teraniaya,” katanya, seperti dikutip dari AP, Kamis (28/9/2017). Menurut Swing, mereka mengalami pemerkosaan dan bentuk kekerasan lain. Namun, dia tidak menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kekerasan tersebut.
Pemerintah Myanmar belum berkomentar atas laporan badan PBB tersebut. Sebelumnya dalam sidang Majelis Umum PBB, Myanmar membantah bahwa militernya melakukan genosida atau pembersihan etnis Rohingya.
Para korban kekerasan militer itu menjalani perawatan di sebuah klinik di kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh. Dalam seminggu terakhir, hampir 15.000 pengungsi Rohingya tiba mencari perlindungan di Teknaf dan Kutupalang Thana di Distrik Cox's Bazar. Kehadiran mereka menambah jumlah pengungsi menjadi sekitar 440.000 jiwa sejak kekerasan terbaru pecah di Rakhine 25 Agustus 2017.
Meskipun jumlah pasti korban pemerkosaan tidak diketahui, pejabat di sebuah klinik darurat mengatakan kepada Arab News bahwa sejauh ini mereka telah merawat 100 wanita Rohingya di Cox's Bazar secara sendirian.
Menurut para pejabat di klinik darurat, sangat sulit bagi korban pemerkosaan untuk berbicara karena tabu secara sosial dan agama.
”Tentara menyerang rumah kami, membawa saya dan saudara perempuan saya ke sebuah kamp tentara di dekatnya,” kata Saleha Khatun, 23, pengungsi muslimah Rohingya di kamp Kutupalang di Cox's Bazar, kepada Arab News.
”Ada 23 gadis lain yang dipenjara di kamp itu. Saya diperkosa secara brutal selama tiga hari berturut-turut. Bahkan kematian lebih baik daripada penghinaan ini,” katanya sambil menangis.
”Kami dipenjarakan di kamp dan diperlakukan seperti budak. Mereka tidak mengizinkan kami mengenakan pakaian apapun selama tiga hari ini. Diikat telanjang ke tempat tidur, tentara mulai memperkosa kami dalam sebuah kelompok. Itu lebih buruk dari neraka,” lanjut Saleha Khatun.
Baca Juga: Pemerkosaan Massal Wanita Rohingya Dilakukan Secara Sistematis
Asma Begum, 19, yang dulu tinggal di negara bagian Rakhine, juga bercerita tentang kebrutalan militer Myanmar. ”Kami bersiap untuk pindah dan melintasi perbatasan ke Bangladesh. Sekitar pukul 11.00 pagi, tentara memasuki rumah kami. Mereka mengikat suami saya ke sebuah pilar dan melemparkan dua bayi saya keluar dari rumah. Lima tentara memperkosa saya, satu demi satu, di depan suami saya. Kemudian mereka mencoba membunuh suami saya. Saya memohon untuk hidup kami, dan mendapat belas kasihan dengan syarat kami segera meninggalkan rumah,” papar Asma Begum.
Mukti Biswas, seorang psikolog dengan Gonoshastho Kendro, seorang LSM lokal yang merawat pengungsi di kamp Ukhia, Teknaf dan Bandarban, mengatakan bahwa para wanita Rohingya trauma.
”Wanita Rohingya yang dilecehkan sekarang menderita depresi akut dan trauma. Kita perlu segera menangani masalah kesehatan mental. Dalam beberapa kasus, mereka tidak siap untuk mendiskusikan pengalaman traumatis mereka. Kami merawat mereka dengan mengamati gejala dan menawarkan obat-obatan gratis.Gadis remaja adalah yang paling rentan. Kami membutuhkan lebih banyak dokter dan psikiater untuk merawat sejumlah besar pengungsi ini,” katanya.
Pemerintah Bangladesh telah mempekerjakan lebih banyak dokter dan asisten medis dalam beberapa hari terakhir untuk memberikan perawatan kesehatan primer kepada para pengungsi. Sebanyak 30 dokter, hampir 30 asisten kesehatan dan 42 perawat sekarang bekerja di kamp.
Kelompok Medicins Sans Frontieres, Gonoshastho Kendro, Palang Merah, Aksi Melawan Kelaparan, dan LSM lokal dan internasional lainnya juga memberikan perawatan kesehatan gratis.
Sementara itu, Kepala Badan Migrasi PBB memperingatkan tentang meningkatnya laporan kekerasan seksual terhdap minoritas muslim Rohingya yang telah melarikan diri dari kekerasan di Myanmar dalam beberapa pekan terakhir.
Direktur Jenderal William Lacy Swing dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengaku terkejut dan khawatir mengenai laporan kekerasan berbasis seksual dan gender di antara warga Rohingya yang baru tiba di Cox's Bazar.
”Sebagian besar minoritas teraniaya,” katanya, seperti dikutip dari AP, Kamis (28/9/2017). Menurut Swing, mereka mengalami pemerkosaan dan bentuk kekerasan lain. Namun, dia tidak menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kekerasan tersebut.
Pemerintah Myanmar belum berkomentar atas laporan badan PBB tersebut. Sebelumnya dalam sidang Majelis Umum PBB, Myanmar membantah bahwa militernya melakukan genosida atau pembersihan etnis Rohingya.
(mas)