Eksodus Etnis Rohingya, PM Bangladesh Minta Bantuan PBB
A
A
A
NEW YORK - Perdana Menteri (PM) Bangladesh tengah mencari bantuan PBB terkait krisis Rohingya. Permintaan ini dilakukan di tengah memburuknya kondisi bagi 400 ribu pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar.
PM Bangladesh, Sheikh Hasina, telah melakukan perjalanan ke New York untuk meminta tekanan internasional pada rezim Myanmar. Myanmar harus memastikan etnis Rohingya dapat kembali ke rumah mereka setelah menghentikan apa yang PBB cap sebagai "pembersihan etnis".
Muslim Rohingya telah melintasi perbatasan untuk menghindari kerusuhan di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha.
Anggota kelompok minoritas telah tiba di Bangladesh dengan cerita mengerikan dari rumah-rumah yang dibakar oleh militer, pembunuhan terhadap warga sipil dan meneror masyarakat dengan kekerasan.
Rezim Myanmar menganggap kekerasan tersebut sebagai tanggapan atas serangan militan Rohingya terhadap sasaran pemerintah. Dikatakan jika dapat membuktikan kewarganegaraan mereka bisa kembali, tapi kebanyakan Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan.
Eksodus tersebut telah menciptakan keadaan darurat kemanusiaan di perbatasan Myanmar-Bangladesh dan pihak berwenang berusaha untuk mengatasi masalah tersebut.
Di kota perbatasan Cox's Bazaar, kamp-kamp yang sudah ada yang menampung 300 ribu orang Rohingya meluap, dan keluarga yang tinggal di pinggir jalan berlumpur terpaksa memperjuangkan untuk mendapatkan makanan yang sedikit.
UNICEF memperkirakan 60% pengungsi adalah anak-anak, dan banyak warga sipil yang kelaparan dan hanya memiliki pakaian yang mereka kenakan.
Ketakutan lain adalah para pengungsi Rohingya terjangkit diare yang bisa menjadi wabah.
Bangladesh telah mengumumkan akan bekerja sama dengan PBB untuk membangun 14 ribu tempat penampungan baru, masing-masing menampung enam keluarga, dalam 10 hari ke depan.
Mohamad Anisul Islam, seorang mahasiswa seni berusia 23 tahun di Bangladesh yang membantu usaha bantuan tersebut, menegaskan bahwa pemerintah melakukan semua yang dapat dilakukan untuk pengungsi namun mengatakan bahwa keadaan mereka "sengsara".
"Mereka tidak memiliki makanan, tidak ada rumah, tidak ada hak asasi manusia mereka yang terpenuhi," katanya seperti dikutip dari Sky News, Minggu (17/9/2017).
"Kami sudah memiliki populasi besar di Bangladesh dan kami ingin mereka pulang, tapi sementara mereka berada di sini kami ingin untuk membantu," imbuhnya.
Menteri Luar Negeri Bangladesh AH Mahmood Ali menggambarkan krisis tersebut sebagai sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia pun meminta tekanan internasional kepada pemerintah Myanmar untuk segera mengakhiri pembersihan etnis yang sedang berlangsung.
Ketegangan semakin meningkat setelah Dhaka menuduh tetangganya berulang kali melanggar ruang udara dan memperingatkan lebih lanjut "tindakan provovative" mempertaruhkan "konsekuensi yang tidak beralasan".
Baca Juga: Pesawat Tempur Myanmar Terobos Wilayah Bangladesh saat Eksodus Rohingya
Sementara itu pemimpin Myanmar sekaligus pemenang Nobel, Aung San Suu Kyi, tidak akan menghadiri pertemuan Majelis Umum PBB di tengah kritik sengit atas kegagalannya untuk mengutuk kekerasan yang sedang berlangsung terhadap Rohingya.
Baca Juga: Suu Kyi Dipastikan Tidak Akan Hadiri Sidang Umum PBB
PM Bangladesh, Sheikh Hasina, telah melakukan perjalanan ke New York untuk meminta tekanan internasional pada rezim Myanmar. Myanmar harus memastikan etnis Rohingya dapat kembali ke rumah mereka setelah menghentikan apa yang PBB cap sebagai "pembersihan etnis".
Muslim Rohingya telah melintasi perbatasan untuk menghindari kerusuhan di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha.
Anggota kelompok minoritas telah tiba di Bangladesh dengan cerita mengerikan dari rumah-rumah yang dibakar oleh militer, pembunuhan terhadap warga sipil dan meneror masyarakat dengan kekerasan.
Rezim Myanmar menganggap kekerasan tersebut sebagai tanggapan atas serangan militan Rohingya terhadap sasaran pemerintah. Dikatakan jika dapat membuktikan kewarganegaraan mereka bisa kembali, tapi kebanyakan Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan.
Eksodus tersebut telah menciptakan keadaan darurat kemanusiaan di perbatasan Myanmar-Bangladesh dan pihak berwenang berusaha untuk mengatasi masalah tersebut.
Di kota perbatasan Cox's Bazaar, kamp-kamp yang sudah ada yang menampung 300 ribu orang Rohingya meluap, dan keluarga yang tinggal di pinggir jalan berlumpur terpaksa memperjuangkan untuk mendapatkan makanan yang sedikit.
UNICEF memperkirakan 60% pengungsi adalah anak-anak, dan banyak warga sipil yang kelaparan dan hanya memiliki pakaian yang mereka kenakan.
Ketakutan lain adalah para pengungsi Rohingya terjangkit diare yang bisa menjadi wabah.
Bangladesh telah mengumumkan akan bekerja sama dengan PBB untuk membangun 14 ribu tempat penampungan baru, masing-masing menampung enam keluarga, dalam 10 hari ke depan.
Mohamad Anisul Islam, seorang mahasiswa seni berusia 23 tahun di Bangladesh yang membantu usaha bantuan tersebut, menegaskan bahwa pemerintah melakukan semua yang dapat dilakukan untuk pengungsi namun mengatakan bahwa keadaan mereka "sengsara".
"Mereka tidak memiliki makanan, tidak ada rumah, tidak ada hak asasi manusia mereka yang terpenuhi," katanya seperti dikutip dari Sky News, Minggu (17/9/2017).
"Kami sudah memiliki populasi besar di Bangladesh dan kami ingin mereka pulang, tapi sementara mereka berada di sini kami ingin untuk membantu," imbuhnya.
Menteri Luar Negeri Bangladesh AH Mahmood Ali menggambarkan krisis tersebut sebagai sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia pun meminta tekanan internasional kepada pemerintah Myanmar untuk segera mengakhiri pembersihan etnis yang sedang berlangsung.
Ketegangan semakin meningkat setelah Dhaka menuduh tetangganya berulang kali melanggar ruang udara dan memperingatkan lebih lanjut "tindakan provovative" mempertaruhkan "konsekuensi yang tidak beralasan".
Baca Juga: Pesawat Tempur Myanmar Terobos Wilayah Bangladesh saat Eksodus Rohingya
Sementara itu pemimpin Myanmar sekaligus pemenang Nobel, Aung San Suu Kyi, tidak akan menghadiri pertemuan Majelis Umum PBB di tengah kritik sengit atas kegagalannya untuk mengutuk kekerasan yang sedang berlangsung terhadap Rohingya.
Baca Juga: Suu Kyi Dipastikan Tidak Akan Hadiri Sidang Umum PBB
(ian)