Dewan Rohingya Eropa Sebut Suu Kyi Dukung Genosida
A
A
A
ANKARA - Kelompok Rohingya yang bermarkas di Eropa mengatakan bahwa Aung San Suu Kyi mendukung genosida Muslim Rohingya di negaranya. Pemenang Nobel Perdamaian pada 1991 itu adalah penasihat negara untuk Myanmar.
Kepala Dewan Rohingya Eropa, Hla Kyaw mengatakan bahwa Suu Kyi hanya duduk dan berjaga-jaga, karena tentara terus membakar rumah dan desa di negara bagian Rakhine, Myanmar barat. Kyaw mengatakan bahwa pemimpin de facto Myanmar itu tidak hanya terlibat dalam genosida, dia juga merupakan pasangan genosida.
Kyaw mengatakan bahwa komunitas Rohingya telah mendukung Suu Kyi saat ditahan di bawah tahanan rumah oleh junta militer Myanmar, pada periode yang paling lama antara 1989 dan 2010. Hal ini yang membuatnya menjadi simbol perdamaian dan perlawanan internasional.
"Kami melakukan protes di kota-kota Eropa agar Suu Kyi dibebaskan, karena kami berharap dapat bernapas dengan bebas di bawah kepemimpinannya, karena dia adalah putri Jenderal Aung San, ayah dari kemerdekaan Myanmar," kata Kyaw.
Pemimpin Dewan Rohingya Eropa itu pun menuduh bahwa Myanmar ingin menghapus Rohingya dari Rakhine.
"Mereka telah merencanakan untuk menempatkan kami di kamp konsentrasi. Tujuan utamanya adalah menghapus kami, lalu mengambil alih properti dan tanah kami," ujarnya seperti dikutip dari Anadolu, Sabtu (16/9/2017).
Dia mengatakan bahwa pemerintah dan tentara telah mengetahui segala hal tentang Arakan Rohingya Salavation Army (ARSA), sebuah kelompok militan. Namun mereka memilih untuk tidak melakukan tindakan menentangnya.
"Mereka membutuhkan ARSA sebagai alasan pembunuhan massal di Rakhine, atas nama keamanan nasional dan memerangi terorisme. Mereka juga ingin memobilisasi opini publik terhadap komunitas Rohingya," ungkap Kyaw.
Lebih jauh Kyaw mengatakan pemerintah Myanmar memiliki dukungan kuat dari India dan China. Dua negara tersebut memiliki kepentingan komersial di wilayah tersebut.
"China memiliki proyek pipa minyak dan gas, sementara India memiliki proyek laut dalam di wilayah ini," ungkapnya.
Kyaw menolak jumlah korban tewas yang dikeluarkan oleh Myanmar mencapai 400 orang dalam kekerasan yang pecah sejak 25 Agustus lalu.
"Sekitar 4.500 sampai 5.000 orang tewas dalam kekerasan tersebut. Angka ini bisa meningkat, karena banyak orang mati saat melintasi Sungai Naf. Banyak orang tua meninggalkan anak-anak mereka saat mereka melarikan diri," terangnya.
Dia mengatakan bahwa lebih mudah bagi orang-orang di kota Maungdaw untuk melarikan diri ke Bangladesh, karena letaknya di dekat perbatasan.
Di daerah lain seperti Buthidaung, militer menghalangi mereka dari segala arah. Orang berjalan 10 sampai 15 hari di daerah pegunungan untuk mencapai perbatasan. Beberapa mencapai sungai di perbatasan, hanya untuk mengetahui mereka tidak memiliki USD30 sampai USD60 yang dibutuhkan untuk melakukan perjalanan di atas kapal. Yang lain harus melintasi daerah yang ditanami ranjau oleh militer.
Dia mendesak masyarakat internasional, termasuk PBB dan Uni Eropa, untuk memberikan tekanan pada pemerintah Myanmar guna menghentikan genosida ini.
"Mereka perlu mengambil tindakan bersama untuk menghentikan krisis internasional ini," tukas Kyaw.
Kepala Dewan Rohingya Eropa, Hla Kyaw mengatakan bahwa Suu Kyi hanya duduk dan berjaga-jaga, karena tentara terus membakar rumah dan desa di negara bagian Rakhine, Myanmar barat. Kyaw mengatakan bahwa pemimpin de facto Myanmar itu tidak hanya terlibat dalam genosida, dia juga merupakan pasangan genosida.
Kyaw mengatakan bahwa komunitas Rohingya telah mendukung Suu Kyi saat ditahan di bawah tahanan rumah oleh junta militer Myanmar, pada periode yang paling lama antara 1989 dan 2010. Hal ini yang membuatnya menjadi simbol perdamaian dan perlawanan internasional.
"Kami melakukan protes di kota-kota Eropa agar Suu Kyi dibebaskan, karena kami berharap dapat bernapas dengan bebas di bawah kepemimpinannya, karena dia adalah putri Jenderal Aung San, ayah dari kemerdekaan Myanmar," kata Kyaw.
Pemimpin Dewan Rohingya Eropa itu pun menuduh bahwa Myanmar ingin menghapus Rohingya dari Rakhine.
"Mereka telah merencanakan untuk menempatkan kami di kamp konsentrasi. Tujuan utamanya adalah menghapus kami, lalu mengambil alih properti dan tanah kami," ujarnya seperti dikutip dari Anadolu, Sabtu (16/9/2017).
Dia mengatakan bahwa pemerintah dan tentara telah mengetahui segala hal tentang Arakan Rohingya Salavation Army (ARSA), sebuah kelompok militan. Namun mereka memilih untuk tidak melakukan tindakan menentangnya.
"Mereka membutuhkan ARSA sebagai alasan pembunuhan massal di Rakhine, atas nama keamanan nasional dan memerangi terorisme. Mereka juga ingin memobilisasi opini publik terhadap komunitas Rohingya," ungkap Kyaw.
Lebih jauh Kyaw mengatakan pemerintah Myanmar memiliki dukungan kuat dari India dan China. Dua negara tersebut memiliki kepentingan komersial di wilayah tersebut.
"China memiliki proyek pipa minyak dan gas, sementara India memiliki proyek laut dalam di wilayah ini," ungkapnya.
Kyaw menolak jumlah korban tewas yang dikeluarkan oleh Myanmar mencapai 400 orang dalam kekerasan yang pecah sejak 25 Agustus lalu.
"Sekitar 4.500 sampai 5.000 orang tewas dalam kekerasan tersebut. Angka ini bisa meningkat, karena banyak orang mati saat melintasi Sungai Naf. Banyak orang tua meninggalkan anak-anak mereka saat mereka melarikan diri," terangnya.
Dia mengatakan bahwa lebih mudah bagi orang-orang di kota Maungdaw untuk melarikan diri ke Bangladesh, karena letaknya di dekat perbatasan.
Di daerah lain seperti Buthidaung, militer menghalangi mereka dari segala arah. Orang berjalan 10 sampai 15 hari di daerah pegunungan untuk mencapai perbatasan. Beberapa mencapai sungai di perbatasan, hanya untuk mengetahui mereka tidak memiliki USD30 sampai USD60 yang dibutuhkan untuk melakukan perjalanan di atas kapal. Yang lain harus melintasi daerah yang ditanami ranjau oleh militer.
Dia mendesak masyarakat internasional, termasuk PBB dan Uni Eropa, untuk memberikan tekanan pada pemerintah Myanmar guna menghentikan genosida ini.
"Mereka perlu mengambil tindakan bersama untuk menghentikan krisis internasional ini," tukas Kyaw.
(ian)