Total 96 Orang Terbunuh, Bayi pun Tak Luput dari Pasukan Myanmar
A
A
A
YANGON - Konflik antara militan Rohingya dengan pasukan Myanmar di negara bagian Rakhine sejak Kamis malam hingga kini telah merenggut 96 orang, termasuk 12 di antaranya pasukan negara itu. Penduduk etnis Rohingya di Rakhine menuduh pasukan pemerintah brutal membunuh warga sipil, termasuk bayi sekalipun.
Jumlah korban tewas dalam konflik di Rakhine itu diumumkan kantor pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, semalam.
Pengumuman tersebut merupakan yang pertama dirilis pemerintah dengan mencantumkan warga sipil di antara korban tewas. Dalam pengumuman itu disebutkan enam warga sipil dari komunitas Hindu dibunuh oleh kelompok pemberontak.
Myanmar sejatinya negara dengan mayoritas berpenduduk Buddha. Namun, di Rakhine—wilayah yang dilanda konflik—terdapat sekitar 1 juta warga Muslim Rohingya.
Kepala Menteri Rakhine, Nyi Pu, telah mengunjungi wilayah yang bergejolak pada hari Minggu. Menurutnya, pasukan pemerintah berusaha memulihkan perdamaian.
”Kami mencoba yang terbaik untuk membawa stabilitas dan sekarang kita bisa melihat daerahnya stabil,” kata Nyi Pu. ”Tapi apapun bisa terjadi kapan saja, jadi saya tidak bisa mengatakan apa yang akan terjadi.”
Sementara itu, kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menuduh tentara Myanmar menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia.
Saksi mata di Maungdaw, Rakhine utara, yang dihubungi telepon seperti dilansir Al Jazeera pada Senin (28/8/2017), mengatakan bahwa bentrokan terus berlanjut pada hari Minggu. Menurutnya, suara tembakan masih terdengar.
Konfirmasi independen terhadap situasi di wilayah itu sulit karena pemerintah melarang wartawan masuk ke Rakhine.
Kantor Suu Kyi memperingatkan para media karena menulis kelompok ARSA sebagai “pemberontak” bukan “teroris” seperti yang dinyatakan pemerintah Myanmar.”Kami memperingatkan media agar tidak menulis untuk mendukung kelompok tersebut,” bunyi peringatan kantor Suu Kyi.
Meskipun data pemerintah menyebut 96 orang tewas, namun para warga Rohingya mengatakan kepada Al Jazeera bahwa jumlah lebih besar.
Aziz Khan, seorang penduduk Maungdaw, mengatakan bahwa tentara Myanmar menyerang desanya pada hari Jumat pagi dan mulai menembaki orang-orang tanpa pandang bulu di mobil dan rumah-rumah.
”Pasukan pemerintah dan polisi penjaga perbatasan membunuh setidaknya 11 orang di desa saya. Ketika mereka tiba, mereka mulai menembaki segala sesuatu yang bergerak. Beberapa tentara kemudian melakukan serangan pembakaran,” ujar Aziz Khan.
”Perempuan dan anak-anak juga termasuk di antara korban tewas,” katanya. "Bahkan bayi pun tidak terhindar.”
Ro Nay San Lwin, seorang aktivis Rohingya dan blogger yang berbasis di Eropa, mengatakan sekitar 5.000 - 10.000 orang terusir dari rumah mereka oleh serangan baru-baru ini.
Menurut San Lwin yang mengakses informasi dari jaringan aktivis di Rakhine, masjid dan madrasah telah dibakar habis. Ribuan warga Muslim terdampar tanpa makanan dan tempat berlindung.
”Paman saya sendiri terpaksa melarikan diri dari pemerintah dan militer,” katanya kepada Al Jazeera. ”Tidak ada bantuan dari pemerintah, malah rumah rakyat telah hancur dan barang-barang mereka dijarah.”
”Tanpa makanan dan perlindungan, mereka tidak tahu kapan kita akan dibunuh,” ujarnya.
Jumlah korban tewas dalam konflik di Rakhine itu diumumkan kantor pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, semalam.
Pengumuman tersebut merupakan yang pertama dirilis pemerintah dengan mencantumkan warga sipil di antara korban tewas. Dalam pengumuman itu disebutkan enam warga sipil dari komunitas Hindu dibunuh oleh kelompok pemberontak.
Myanmar sejatinya negara dengan mayoritas berpenduduk Buddha. Namun, di Rakhine—wilayah yang dilanda konflik—terdapat sekitar 1 juta warga Muslim Rohingya.
Kepala Menteri Rakhine, Nyi Pu, telah mengunjungi wilayah yang bergejolak pada hari Minggu. Menurutnya, pasukan pemerintah berusaha memulihkan perdamaian.
”Kami mencoba yang terbaik untuk membawa stabilitas dan sekarang kita bisa melihat daerahnya stabil,” kata Nyi Pu. ”Tapi apapun bisa terjadi kapan saja, jadi saya tidak bisa mengatakan apa yang akan terjadi.”
Sementara itu, kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menuduh tentara Myanmar menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia.
Saksi mata di Maungdaw, Rakhine utara, yang dihubungi telepon seperti dilansir Al Jazeera pada Senin (28/8/2017), mengatakan bahwa bentrokan terus berlanjut pada hari Minggu. Menurutnya, suara tembakan masih terdengar.
Konfirmasi independen terhadap situasi di wilayah itu sulit karena pemerintah melarang wartawan masuk ke Rakhine.
Kantor Suu Kyi memperingatkan para media karena menulis kelompok ARSA sebagai “pemberontak” bukan “teroris” seperti yang dinyatakan pemerintah Myanmar.”Kami memperingatkan media agar tidak menulis untuk mendukung kelompok tersebut,” bunyi peringatan kantor Suu Kyi.
Meskipun data pemerintah menyebut 96 orang tewas, namun para warga Rohingya mengatakan kepada Al Jazeera bahwa jumlah lebih besar.
Aziz Khan, seorang penduduk Maungdaw, mengatakan bahwa tentara Myanmar menyerang desanya pada hari Jumat pagi dan mulai menembaki orang-orang tanpa pandang bulu di mobil dan rumah-rumah.
”Pasukan pemerintah dan polisi penjaga perbatasan membunuh setidaknya 11 orang di desa saya. Ketika mereka tiba, mereka mulai menembaki segala sesuatu yang bergerak. Beberapa tentara kemudian melakukan serangan pembakaran,” ujar Aziz Khan.
”Perempuan dan anak-anak juga termasuk di antara korban tewas,” katanya. "Bahkan bayi pun tidak terhindar.”
Ro Nay San Lwin, seorang aktivis Rohingya dan blogger yang berbasis di Eropa, mengatakan sekitar 5.000 - 10.000 orang terusir dari rumah mereka oleh serangan baru-baru ini.
Menurut San Lwin yang mengakses informasi dari jaringan aktivis di Rakhine, masjid dan madrasah telah dibakar habis. Ribuan warga Muslim terdampar tanpa makanan dan tempat berlindung.
”Paman saya sendiri terpaksa melarikan diri dari pemerintah dan militer,” katanya kepada Al Jazeera. ”Tidak ada bantuan dari pemerintah, malah rumah rakyat telah hancur dan barang-barang mereka dijarah.”
”Tanpa makanan dan perlindungan, mereka tidak tahu kapan kita akan dibunuh,” ujarnya.
(mas)