Pemerintah Myanmar Evakuasi Ribuan Penduduk dari Rakhine
A
A
A
YANGON - Pemerintah Myanmar telah mengevakuasi 4.000 penduduk desa non-Muslim di tengah bentrokan yang sedang berlangsung di negara bagian Rakhine di barat laut. Sementara ribuan Muslim Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh.
Menteri kesejahteraan sosial, bantuan dan pemukiman Myanmar, Win Myat Aye mengatakan, 4.000 penduduk desa yang telah meninggalkan desa mereka telah dievakuasi, merujuk pada penduduk non-Muslim di wilayah tersebut.
Kementerian tersebut mengatur fasilitas untuk non-Muslim di tempat-tempat seperti vihara-vihara, kantor pemerintah dan kantor polisi setempat di kota-kota besar.
"Kami menyediakan makanan untuk orang-orang yang bekerja sama dengan pemerintah negara bagian dan pemerintah daerah," kata Win Myat Aye seperti disitir dari Reuters, Minggu (27/8/2017).
Namun, Win Myat Aye tidak dapat menggambarkan rencana pemerintah untuk membantu warga sipil Rohingya.
"Sangat sulit untuk mengatakan - ini adalah situasi konflik sehingga sangat sulit untuk mengatakan siapa yang benar atau salah," katanya beralasan.
Warga Rakhine yang panik di kota-kota etnis campuran atau non-Muslim telah menyiapkan pisau dan tongkat untuk membela diri. Banyak yang tertahan di desa mereka yang berada di daerah berpenduduk mayoritas Muslim saat bentrokan berlanjut dan beberapa jalan telah dipsangi ranjau, kata penduduk.
"Bentrokan terus berlanjut sepanjang hari kemarin di jalan utama, ada banyak ranjau darat. Saya tidak berpikir pemerintah daerah memiliki cukup makanan untuk semua orang. Harga komoditas naik dari hari ke hari," terang seorang wartawan lokal dari kota Maungdaw.
Korban tewas akibat kekerasan yang meletus pada hari Jumat dengan serangan terkoordinasi oleh gerilyawan Rohingya telah meningkat menjadi 98, termasuk sekitar 80 gerilyawan dan 12 anggota pasukan keamanan. Bentrokan tersebut, yang terburuk sejak Oktober lalu, telah mendorong pemerintah untuk mengevakuasi staf dan ribuan penduduk desa non-Muslim dari daerah tersebut.
Serangan tersebut menandai peningkatan dramatis konflik yang telah merebak di kawasan ini sejak Oktober lalu. Kala itu militan Rohingya melakukan serangan serupa namun jauh lebih kecil. Serangan ini mendorong sebuah operasi militer brutal yang memunculkan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh sejak awal 1990-an. Sekarang ada sekitar 400.000 orang di negara tersebut, di mana mereka menjadi sumber ketegangan antara kedua negara yang menganggap keduanya sebagai warga negara lain.
Menteri kesejahteraan sosial, bantuan dan pemukiman Myanmar, Win Myat Aye mengatakan, 4.000 penduduk desa yang telah meninggalkan desa mereka telah dievakuasi, merujuk pada penduduk non-Muslim di wilayah tersebut.
Kementerian tersebut mengatur fasilitas untuk non-Muslim di tempat-tempat seperti vihara-vihara, kantor pemerintah dan kantor polisi setempat di kota-kota besar.
"Kami menyediakan makanan untuk orang-orang yang bekerja sama dengan pemerintah negara bagian dan pemerintah daerah," kata Win Myat Aye seperti disitir dari Reuters, Minggu (27/8/2017).
Namun, Win Myat Aye tidak dapat menggambarkan rencana pemerintah untuk membantu warga sipil Rohingya.
"Sangat sulit untuk mengatakan - ini adalah situasi konflik sehingga sangat sulit untuk mengatakan siapa yang benar atau salah," katanya beralasan.
Warga Rakhine yang panik di kota-kota etnis campuran atau non-Muslim telah menyiapkan pisau dan tongkat untuk membela diri. Banyak yang tertahan di desa mereka yang berada di daerah berpenduduk mayoritas Muslim saat bentrokan berlanjut dan beberapa jalan telah dipsangi ranjau, kata penduduk.
"Bentrokan terus berlanjut sepanjang hari kemarin di jalan utama, ada banyak ranjau darat. Saya tidak berpikir pemerintah daerah memiliki cukup makanan untuk semua orang. Harga komoditas naik dari hari ke hari," terang seorang wartawan lokal dari kota Maungdaw.
Korban tewas akibat kekerasan yang meletus pada hari Jumat dengan serangan terkoordinasi oleh gerilyawan Rohingya telah meningkat menjadi 98, termasuk sekitar 80 gerilyawan dan 12 anggota pasukan keamanan. Bentrokan tersebut, yang terburuk sejak Oktober lalu, telah mendorong pemerintah untuk mengevakuasi staf dan ribuan penduduk desa non-Muslim dari daerah tersebut.
Serangan tersebut menandai peningkatan dramatis konflik yang telah merebak di kawasan ini sejak Oktober lalu. Kala itu militan Rohingya melakukan serangan serupa namun jauh lebih kecil. Serangan ini mendorong sebuah operasi militer brutal yang memunculkan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh sejak awal 1990-an. Sekarang ada sekitar 400.000 orang di negara tersebut, di mana mereka menjadi sumber ketegangan antara kedua negara yang menganggap keduanya sebagai warga negara lain.
(ian)