'Gadis sebagai Makanan Penutup', Tradisi Skandal Seks Birokrat Thailand
A
A
A
BANGKOK - Ketika para birokrat senior Thailand mengunjungi provinsi terpencil ada tradisi khas yang rata-rata sama. Mereka disambut dengan makanan dan minuman terbaik, kemudian membawa keluar gadis remaja yang sering disebut sebagai “makanan penutup”.
Tradisi skandal asusila para birokrat itu memperlakukan gadis-gadis remaja di bawah umur layaknya makanan. Tradisi ini sudah terkenal, tapi jarang dibahas publik Thailand.
Seorang pejabat di sebuah distrik di Provinsi Mae Hong Son, Moonyarit Nipavanit, membeberkan skandal seks dan perdagangan manusia yang melibatkan polisi dan pejabat. Dia mengungkap skandal ini dengan tujuan agar ada penindakan.
”Tradisi ini menjadi umum sejak lama,” jelas Boonyarit Nipavanit. Provinsi Mae Hong Son, merupakan provinsi yang terkenal miskin dan kasar di kawasan pegunungan di Thailand.
”Ketika kelompok pejabat senior datang untuk seminar atau kunjungan kerja, ada kebiasaan 'memperlakukan mereka', yang berarti menyambut mereka dengan makanan, dan kemudian 'meletakkan tikar,' yang berarti menyuguhkan anak perempuan,” katanya kepada AFP, Senin (26/6/2017).
”Terkadang kami menerima informasi tentang jenis gadis yang mereka sukai, terkadang petugas harus menyiapkan lima sampai sepuluh perempuan untuk dipilih oleh seorang (pejabat) senior,” lanjut Boonyarit.
Boonyarit merasa nyaman berbicara dengan bebas tentang praktik tersebut. Menurutnya, detektif kepolisian telah membuka 41 kasus jaringan prostitusi yang dikelola oknum polisi di provinsinya.
Penyelidikan tersebut diluncurkan setelah ibu seorang korban melarikan diri ke Bangkok dan mengatakan kepada media bahwa putrinya yang berusia 17 tahun dan remaja lainnya diperas dalam pekerjaan seks dan dipaksa untuk menghibur pejabat dan polisi.
Beberapa korban, katanya, dicap dengan tato burung hantu oleh para geng sebagai semacam cap kepemilikan.
Hadiah
Di bawah tekanan dari pers, kepolisian nasional menangkap seorang petugas polisi Mae Hong Son yang dituduh terlibat perdagangan perempuan. Selain itu, ada delapan petugas polisi lainnya yang dituduh tidur dengan anak di bawah umur.
Lima pejabat dari Provinsi Nonthaburi tengah juga dituntut karena diduga menggunakan dana pemerintah dalam skandal dengan gadis remaja selama kunjungan resmi ke Mae Hong Son.
”Karena cerita ini pecah, banyak pejabat merasa lega,” kata Boonyarit.
Seorang pakar anti-trafficking mengatakan bahwa skandal seperti itu sudah tersebar luas, baik di pemerintahan maupun di sektor swasta. Praktik itu kerap dijadikan layanan untuk memanjakan atasan para petugas untuk meningkatkan jenjang kariernya.
”Kami tidak memiliki sistem merit di birokrasi, kami harus menyuap bos kami,” kata Lakkana Punwichai, pakar anti-trafficking yang juga kolumnis soal isu-isu sosial.
Menurutnya, praktik “suap seks” untuk atas seperti itu berasal dari budaya yang melihat anak perempuan bukan sebagai manusia tapi sebagai hak milik.
”Dia (anak perempuan) adalah hadiah, dia sama dengan makanan, seperti baju yang indah, sesuatu yang harganya mahal,” ujarnya.
Melindungi Bos
Banyak korban perdagangan seks terlalu takut untuk tampil berbicara ketika melibatkan tokoh kuat yang mengendalikan atau mengendalikan bisnis, terutama di daerah pedesaan di Mae Hong Son.
Pemerintah daerah juga mendapat tekanan untuk melindungi diri mereka sendiri.
Setelah skandal di Mae Hong Son menyebar, Kementerian Pembangunan Sosial Thailand menegaskan bahwa mereka akan memimpin dengan memberi contoh sebagai agen yang menentang untuk memperlakukan gadis remaja sebagai makanan.
Polisi anti-traficking juga berjanji untuk mempercepat tindakan keras terhadap perdagangan manusia.
Pekan lalu sebuah satuan tugas terkait menangkap tiga pejabat lokal dari Provinsi Nakhon Ratchasima atas tuduhan melakukan hubungan seksual dengan gadis-gadis remaja—beberapa di antaranya masih berusia di bawah 14 tahun—yang diperdagangkan ke dalam sebuah cabang prostitusi.
Namun para ahli mengatakan bahwa rata-rata hanya mucikari tingkat rendah yang dihukum.
”Setelah polisi mengamankan anak-anak dan penangannya, mereka tidak pernah memperluas kasus ini,” kata Ronnasit Proeksayajiva dari LSM anti-trafficking, Nvader. ”Mereka tidak pernah menyelidiki lebih banyak tentang siapa pelanggannya.”
Tradisi skandal asusila para birokrat itu memperlakukan gadis-gadis remaja di bawah umur layaknya makanan. Tradisi ini sudah terkenal, tapi jarang dibahas publik Thailand.
Seorang pejabat di sebuah distrik di Provinsi Mae Hong Son, Moonyarit Nipavanit, membeberkan skandal seks dan perdagangan manusia yang melibatkan polisi dan pejabat. Dia mengungkap skandal ini dengan tujuan agar ada penindakan.
”Tradisi ini menjadi umum sejak lama,” jelas Boonyarit Nipavanit. Provinsi Mae Hong Son, merupakan provinsi yang terkenal miskin dan kasar di kawasan pegunungan di Thailand.
”Ketika kelompok pejabat senior datang untuk seminar atau kunjungan kerja, ada kebiasaan 'memperlakukan mereka', yang berarti menyambut mereka dengan makanan, dan kemudian 'meletakkan tikar,' yang berarti menyuguhkan anak perempuan,” katanya kepada AFP, Senin (26/6/2017).
”Terkadang kami menerima informasi tentang jenis gadis yang mereka sukai, terkadang petugas harus menyiapkan lima sampai sepuluh perempuan untuk dipilih oleh seorang (pejabat) senior,” lanjut Boonyarit.
Boonyarit merasa nyaman berbicara dengan bebas tentang praktik tersebut. Menurutnya, detektif kepolisian telah membuka 41 kasus jaringan prostitusi yang dikelola oknum polisi di provinsinya.
Penyelidikan tersebut diluncurkan setelah ibu seorang korban melarikan diri ke Bangkok dan mengatakan kepada media bahwa putrinya yang berusia 17 tahun dan remaja lainnya diperas dalam pekerjaan seks dan dipaksa untuk menghibur pejabat dan polisi.
Beberapa korban, katanya, dicap dengan tato burung hantu oleh para geng sebagai semacam cap kepemilikan.
Hadiah
Di bawah tekanan dari pers, kepolisian nasional menangkap seorang petugas polisi Mae Hong Son yang dituduh terlibat perdagangan perempuan. Selain itu, ada delapan petugas polisi lainnya yang dituduh tidur dengan anak di bawah umur.
Lima pejabat dari Provinsi Nonthaburi tengah juga dituntut karena diduga menggunakan dana pemerintah dalam skandal dengan gadis remaja selama kunjungan resmi ke Mae Hong Son.
”Karena cerita ini pecah, banyak pejabat merasa lega,” kata Boonyarit.
Seorang pakar anti-trafficking mengatakan bahwa skandal seperti itu sudah tersebar luas, baik di pemerintahan maupun di sektor swasta. Praktik itu kerap dijadikan layanan untuk memanjakan atasan para petugas untuk meningkatkan jenjang kariernya.
”Kami tidak memiliki sistem merit di birokrasi, kami harus menyuap bos kami,” kata Lakkana Punwichai, pakar anti-trafficking yang juga kolumnis soal isu-isu sosial.
Menurutnya, praktik “suap seks” untuk atas seperti itu berasal dari budaya yang melihat anak perempuan bukan sebagai manusia tapi sebagai hak milik.
”Dia (anak perempuan) adalah hadiah, dia sama dengan makanan, seperti baju yang indah, sesuatu yang harganya mahal,” ujarnya.
Melindungi Bos
Banyak korban perdagangan seks terlalu takut untuk tampil berbicara ketika melibatkan tokoh kuat yang mengendalikan atau mengendalikan bisnis, terutama di daerah pedesaan di Mae Hong Son.
Pemerintah daerah juga mendapat tekanan untuk melindungi diri mereka sendiri.
Setelah skandal di Mae Hong Son menyebar, Kementerian Pembangunan Sosial Thailand menegaskan bahwa mereka akan memimpin dengan memberi contoh sebagai agen yang menentang untuk memperlakukan gadis remaja sebagai makanan.
Polisi anti-traficking juga berjanji untuk mempercepat tindakan keras terhadap perdagangan manusia.
Pekan lalu sebuah satuan tugas terkait menangkap tiga pejabat lokal dari Provinsi Nakhon Ratchasima atas tuduhan melakukan hubungan seksual dengan gadis-gadis remaja—beberapa di antaranya masih berusia di bawah 14 tahun—yang diperdagangkan ke dalam sebuah cabang prostitusi.
Namun para ahli mengatakan bahwa rata-rata hanya mucikari tingkat rendah yang dihukum.
”Setelah polisi mengamankan anak-anak dan penangannya, mereka tidak pernah memperluas kasus ini,” kata Ronnasit Proeksayajiva dari LSM anti-trafficking, Nvader. ”Mereka tidak pernah menyelidiki lebih banyak tentang siapa pelanggannya.”
(mas)