Kapal Perang AS Tantang China di Laut China Selatan
A
A
A
WASHINGTON - Kapal perang dengan senjata rudal milik Amerika Serikat, USS Dewey, menantang China dengan nekat berlayar mendekati Kepulauan Spratly, Laut China Selatan, yang diklaim Beijing. Kapal itu hanya berjarak 12 mil laut dari kepulauan sengketa itu.
“Kapal perang AS melintas dekat Mischief Reef di Kepulauan Spratly pada hari Rabu di bawah prinsip ‘Freedom of Navigation’,” kata sumber pemerintah AS kepada Wall Street Journal dan Reuters, Kamis (25/5/2017).
Aksi nekat kapal perang USS Dewey yang berlayar dalam jarak 12 mil laut dari kepulauan yang diklaim China itu, maka artinya Washington berani melanggar klaim teritorial China. Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982, perairan teritorial didefinisikan sebagai sabuk perairan pesisir yang membentang 12 mil laut dari pantai.
Kebebasan navigasi oleh kapal perang AS dengan melanggar wilayah kepulauan yang diklaim China itu merupakan yang pertama yang dilakukan militer Washington sejak Oktober dan yang pertama sejak Donald Trump menjabat sebagai presiden AS pada bulan Januari 2017.
Dalam sebuah pernyataan kepada The Japan Times, Pentagon tidak mengonfirmasi maupun menyangkal laporan tersebut. The Wall Street Journal juga gagal mendapatkan jawaban pasti dari Pentagon.
”Kami beroperasi di kawasan Asia Pasifik setiap hari, termasuk di Laut Cina Selatan,” kata juru bicara Pentagon Kapten Jeff Davis, dalam sebuah pernyataan.
”Kami beroperasi sesuai dengan hukum internasional,” ujar Davis, yang menekankan bahwa patroli AS bukan tentang satu negara.
Meski Pentagon enggan mengonfirmasi laporan tersebut, namun foto yang dipublikasikan di halaman Facebook “Commander, U.S. Third Fleet” menunjukkan bahwa kapal AS itu berlayar di perairan yang disengketakan.
”USS Dewey (DDG 105) transit di Laut China Selatan sebelum pengisian ulang (bahan bakar) di laut dengan USNS Pecos (T-AO-197),” bunyi keterangan foto tersebut.
Beijing telah mengklaim hampir semua kawasan Laut China Selatan yang kaya sumber daya itu. Kawasan sengketa itu menghasilkan USD5 triliun setiap tahun dari lalu lintas kapal perdangangan dunia. Selain China, beberapa negara seperti Filipina, Malaysia, Brunei, Vietnam dan Taiwan juga memiliki klaim yang saling tumpang tindih di wilayah itu.
“Kapal perang AS melintas dekat Mischief Reef di Kepulauan Spratly pada hari Rabu di bawah prinsip ‘Freedom of Navigation’,” kata sumber pemerintah AS kepada Wall Street Journal dan Reuters, Kamis (25/5/2017).
Aksi nekat kapal perang USS Dewey yang berlayar dalam jarak 12 mil laut dari kepulauan yang diklaim China itu, maka artinya Washington berani melanggar klaim teritorial China. Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982, perairan teritorial didefinisikan sebagai sabuk perairan pesisir yang membentang 12 mil laut dari pantai.
Kebebasan navigasi oleh kapal perang AS dengan melanggar wilayah kepulauan yang diklaim China itu merupakan yang pertama yang dilakukan militer Washington sejak Oktober dan yang pertama sejak Donald Trump menjabat sebagai presiden AS pada bulan Januari 2017.
Dalam sebuah pernyataan kepada The Japan Times, Pentagon tidak mengonfirmasi maupun menyangkal laporan tersebut. The Wall Street Journal juga gagal mendapatkan jawaban pasti dari Pentagon.
”Kami beroperasi di kawasan Asia Pasifik setiap hari, termasuk di Laut Cina Selatan,” kata juru bicara Pentagon Kapten Jeff Davis, dalam sebuah pernyataan.
”Kami beroperasi sesuai dengan hukum internasional,” ujar Davis, yang menekankan bahwa patroli AS bukan tentang satu negara.
Meski Pentagon enggan mengonfirmasi laporan tersebut, namun foto yang dipublikasikan di halaman Facebook “Commander, U.S. Third Fleet” menunjukkan bahwa kapal AS itu berlayar di perairan yang disengketakan.
”USS Dewey (DDG 105) transit di Laut China Selatan sebelum pengisian ulang (bahan bakar) di laut dengan USNS Pecos (T-AO-197),” bunyi keterangan foto tersebut.
Beijing telah mengklaim hampir semua kawasan Laut China Selatan yang kaya sumber daya itu. Kawasan sengketa itu menghasilkan USD5 triliun setiap tahun dari lalu lintas kapal perdangangan dunia. Selain China, beberapa negara seperti Filipina, Malaysia, Brunei, Vietnam dan Taiwan juga memiliki klaim yang saling tumpang tindih di wilayah itu.
(mas)