Teror Ransomware, Israel: Serangan Siber Lebih Bahaya dari Rudal
A
A
A
TEL AVIV - Militer Israel memperingatkan bahwa serangan siber lebih bahaya dari serangan rudal maupun bom. Komentar ini sebagai respons atas serangan Ransomware WannaCry terhadap sistem komputer di seluruh dunia.
Serangan siber global besar-besaran itu menggunakan alat mata-mata National Security Agency (NSA) yang dicuri kelompok peretas. Virus komputer itu telah memengaruhi sekitar 200.000 server Windows di ratusan negara, termasuk Indonesia.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melalui seorang pejabat seniornya mengatakan, serangan siber secara masif ini sudah menyiratkan bahwa senjata virtual lebih berbahaya dibanding senjata konvensional.
“Melumpuhkan infrastruktur Israel menggunakan serangan siber, misalnya, lebih parah daripada menggunakan rudal untuk menyerang pembangkit listrik,” kata pejabat IDF yang berbicara dalam kondisi anonim, seperti dikutip Jerusalem Post, Senin (15/5/2017).
“Serangan rudal atau bom akan menyebabkan beberapa jam pemadaman listrik, yang bisa dihentikan,” ujarnya.
Menurutnya, jaringan sipil jauh lebih rentan terhadap kejahatan siber daripada jaringan militer. ”Perlindungan jaringan internal IDF jauh lebih kuat daripada jaringan sipil manapun,” ujarnya. ”Tidak ada jaringan sipil terlindungi seperti jaringan militer.”
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan mengklaim infrastruktur negaranya tidak terpengaruh oleh serangan siber Ransomware WannaCry.
Sebelumnya, tak lama setelah serangan siber besar-besaran, sebagian besar jaringan server militer Israel dilaporkan kritis pada hari Minggu. Namun, menurut media setempat kondisi yang berlangsung hingga pukul 17.00 sore itu karena jaringan server militer Israel dalam status “pemeliharaan”, bukan karena serangan siber.
Serangan siber global dengan menggunakan alat hacking NSA yang dicuri telah menyasar jaringan komputer banyak perusahaan, rumah sakit dan pemerintah di banyak negara, termasuk AS, Rusia dan Indonesia. Para pelaku serangan meminta uang tebusan kepada instansi yang diserang jika tidak ingin file komputer-komputernya hilang.
Serangan siber global besar-besaran itu menggunakan alat mata-mata National Security Agency (NSA) yang dicuri kelompok peretas. Virus komputer itu telah memengaruhi sekitar 200.000 server Windows di ratusan negara, termasuk Indonesia.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melalui seorang pejabat seniornya mengatakan, serangan siber secara masif ini sudah menyiratkan bahwa senjata virtual lebih berbahaya dibanding senjata konvensional.
“Melumpuhkan infrastruktur Israel menggunakan serangan siber, misalnya, lebih parah daripada menggunakan rudal untuk menyerang pembangkit listrik,” kata pejabat IDF yang berbicara dalam kondisi anonim, seperti dikutip Jerusalem Post, Senin (15/5/2017).
“Serangan rudal atau bom akan menyebabkan beberapa jam pemadaman listrik, yang bisa dihentikan,” ujarnya.
Menurutnya, jaringan sipil jauh lebih rentan terhadap kejahatan siber daripada jaringan militer. ”Perlindungan jaringan internal IDF jauh lebih kuat daripada jaringan sipil manapun,” ujarnya. ”Tidak ada jaringan sipil terlindungi seperti jaringan militer.”
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan mengklaim infrastruktur negaranya tidak terpengaruh oleh serangan siber Ransomware WannaCry.
Sebelumnya, tak lama setelah serangan siber besar-besaran, sebagian besar jaringan server militer Israel dilaporkan kritis pada hari Minggu. Namun, menurut media setempat kondisi yang berlangsung hingga pukul 17.00 sore itu karena jaringan server militer Israel dalam status “pemeliharaan”, bukan karena serangan siber.
Serangan siber global dengan menggunakan alat hacking NSA yang dicuri telah menyasar jaringan komputer banyak perusahaan, rumah sakit dan pemerintah di banyak negara, termasuk AS, Rusia dan Indonesia. Para pelaku serangan meminta uang tebusan kepada instansi yang diserang jika tidak ingin file komputer-komputernya hilang.
(mas)