Sebulan Demonstrasi Anti Maduro di Venezuela, 34 Tewas
A
A
A
CARACAS - Aksi demonstrasi menentang Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, terus berlangsung di Ibu Kota Caracas. Aksi demonstrasi ini kerap berujung bentrok dengan pasukan keamanan. Akibatnya, 34 orang tewas dalam aksi demonstrasi yang telah berjalan genap selama sebulan.
Terbaru, seorang pemrotes berusia 17 tahun tewas dalam huru hara saat sebuah benda menghantam lehernya, kata Gerardo Blyde, seorang walikota untuk kelompok oposisi.
"Seorang pemuda dengan seluruh kehidupan di masa depannya, dia hanya berjuang untuk negara yang lebih baik," kata Blyde di Twitter mengenai kasus yang oleh kantor kejaksaan Venezuela akan diselidiki seperti dikutip dari Reuters, Kamis (4/5/2017).
Menurut Blyde dan seorang Wali Kota dari kelompok oposisi lainnya mengatakan lebih dari 200 orang terluka saat bentrokan terjadi di berbagai bagian Ibu Kota, Caracas.
Pasukan keamanan Venezuela terlibat bentrok dengan pemrotes yang melakukan bakar-bakaran dan melempari mereka dengan batu. Massa demonstran marah dengan keputusan Presiden Nicolas Maduro untuk membentuk sebuah kongres alternatif.
Para demonstran mencoba mencapai gedung legislatif Majelis Nasional, di mana pihak oposisi memiliki suara mayoritas. Pembentukan kongres alternatif dinilai sebagai upaya Maduro untuk menghindari pemilu dan terus berkuasa.
Mereka kemudian didorong mundur oleh pasukan Garda Nasional dengan gas air mata, kendaraan lapis baja dan perisai anti huru hara di jalan raya Francisco Fajardo, yang membentang di tengah kota.
"Mereka dimobilisasi seolah-olah ini adalah perang," kata pemimpin oposisi Henrique Capriles, yang melakukan siara langsung dari lokasi kejadian melalui aplikasi Periscope yang disukai oleh para pemimpin demonstrasi.
Di pihak oposisi, para pemuda mengenakan topeng gas dan bandana, melempar bom Molotov dan menggunakan semburan api untuk menembakkan batu. Mereka melindungi diri dengan perisai buatan sendiri, dicat dengan warna-warna cerah dan dihiasi slogan seperti "Liberty!" dan "Murderer Maduro!"
Media lokal menerbitkan cuplikan yang menunjukkan dua pemrotes dihantam sebuah kendaraan Garda Nasional. Keduanya selamat.
Dengan para demonstran yang membangun barikade dan helikopter polisi yang berputar di atas kepala, setidaknya tiga anggota parlemen oposisi terluka, kata aktivis.
"Cedera oleh kediktatoran adalah lencana kehormatan," kata anggota dewan legislatif First Justice Freddy Guevara, yang mengatakan bahwa dia terkena tabung gas air mata.
Pemimpin oposisi telah bersumpah untuk tetap tinggal di jalanan setelah pengumuman Maduro pada hari Senin bahwa dia menciptakan "majelis konstituen" yang diberdayakan untuk menulis ulang konstitusi.
"Ini adalah alat untuk menghindari pemilihan umum yang bebas. Kami telah berdemonstrasi selama 18 tahun tapi ini adalah kartu terakhir kami, semuanya atau tidak sama sekali," kata pensiunan Miren Bilbao, 66, dengan teman dan keluarga di jalan raya Francisco Fajardo.
Sementara oposisi terus mengejar momentum, tidak jelas bagaimana demonstrasi bisa mencapai tujuan mereka setelah demonstrasi pada 2014 gagal menyingkirkan Maduro. Saat itu, bagaimanapun, oposisi terpecah, demonstrasi gagal menyebar ke daerah-daerah miskin dan ekonomi dalam kondisi yang lebih baik.
Terbaru, seorang pemrotes berusia 17 tahun tewas dalam huru hara saat sebuah benda menghantam lehernya, kata Gerardo Blyde, seorang walikota untuk kelompok oposisi.
"Seorang pemuda dengan seluruh kehidupan di masa depannya, dia hanya berjuang untuk negara yang lebih baik," kata Blyde di Twitter mengenai kasus yang oleh kantor kejaksaan Venezuela akan diselidiki seperti dikutip dari Reuters, Kamis (4/5/2017).
Menurut Blyde dan seorang Wali Kota dari kelompok oposisi lainnya mengatakan lebih dari 200 orang terluka saat bentrokan terjadi di berbagai bagian Ibu Kota, Caracas.
Pasukan keamanan Venezuela terlibat bentrok dengan pemrotes yang melakukan bakar-bakaran dan melempari mereka dengan batu. Massa demonstran marah dengan keputusan Presiden Nicolas Maduro untuk membentuk sebuah kongres alternatif.
Para demonstran mencoba mencapai gedung legislatif Majelis Nasional, di mana pihak oposisi memiliki suara mayoritas. Pembentukan kongres alternatif dinilai sebagai upaya Maduro untuk menghindari pemilu dan terus berkuasa.
Mereka kemudian didorong mundur oleh pasukan Garda Nasional dengan gas air mata, kendaraan lapis baja dan perisai anti huru hara di jalan raya Francisco Fajardo, yang membentang di tengah kota.
"Mereka dimobilisasi seolah-olah ini adalah perang," kata pemimpin oposisi Henrique Capriles, yang melakukan siara langsung dari lokasi kejadian melalui aplikasi Periscope yang disukai oleh para pemimpin demonstrasi.
Di pihak oposisi, para pemuda mengenakan topeng gas dan bandana, melempar bom Molotov dan menggunakan semburan api untuk menembakkan batu. Mereka melindungi diri dengan perisai buatan sendiri, dicat dengan warna-warna cerah dan dihiasi slogan seperti "Liberty!" dan "Murderer Maduro!"
Media lokal menerbitkan cuplikan yang menunjukkan dua pemrotes dihantam sebuah kendaraan Garda Nasional. Keduanya selamat.
Dengan para demonstran yang membangun barikade dan helikopter polisi yang berputar di atas kepala, setidaknya tiga anggota parlemen oposisi terluka, kata aktivis.
"Cedera oleh kediktatoran adalah lencana kehormatan," kata anggota dewan legislatif First Justice Freddy Guevara, yang mengatakan bahwa dia terkena tabung gas air mata.
Pemimpin oposisi telah bersumpah untuk tetap tinggal di jalanan setelah pengumuman Maduro pada hari Senin bahwa dia menciptakan "majelis konstituen" yang diberdayakan untuk menulis ulang konstitusi.
"Ini adalah alat untuk menghindari pemilihan umum yang bebas. Kami telah berdemonstrasi selama 18 tahun tapi ini adalah kartu terakhir kami, semuanya atau tidak sama sekali," kata pensiunan Miren Bilbao, 66, dengan teman dan keluarga di jalan raya Francisco Fajardo.
Sementara oposisi terus mengejar momentum, tidak jelas bagaimana demonstrasi bisa mencapai tujuan mereka setelah demonstrasi pada 2014 gagal menyingkirkan Maduro. Saat itu, bagaimanapun, oposisi terpecah, demonstrasi gagal menyebar ke daerah-daerah miskin dan ekonomi dalam kondisi yang lebih baik.
(ian)