Hubungan AS-Rusia Kian Memburuk
A
A
A
MOSKOW - Hubungan Amerika Serikat (AS) dan Rusia kian memburuk setelah Washington meluncurkan rudal ke Suriah untuk membalas serangan gas beracun oleh rezim. AS yang mendukung kelompok oposisi Free Syrian Army (FSA) menuduh Suriah menggunakan senjata kimia.
Washington kemudian menghancurkan pangkalan udara Suriah dengan 59 misil Tomahawk. Aksi militer AS terhadap Suriah itu ditentang keras Rusia selaku pendukung utama Presiden Suriah Bashar al-Assad. Presiden Rusia Vladimir Putin yang berharap hubungan dengan AS membaik di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump menyatakan kekecewaannya.
“Kami bisa katakan tingkat kepercayaan dengan AS, terutama di bidang militer, tidaklah meningkat, tapi justru memburuk,” ujar Putin di Moskow, kemarin, dikutip media terkemuka Rusia RT. Ketegangan itu juga berlanjut hingga di tingkat menteri. Kemarin, seperti dilansir kantor berita Reuters, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Rex Tillerson disambut dingin Menlu Rusia Sergey Lavrov.
Meski diskusi berlangsung damai, konflik kepentingan di antara keduanya muncul ke permukaan. Mereka memiliki pendirian politik yang berseberangan di Suriah. Tillerson yang membawa pesan gabungan dari negara Barat meminta Rusia mencabut dukungan terhadap Assad. Jelas, Rusia menolak, sebab menurut Juru Bicara (Jubir) Kepresidenan Rusia Dmitry Peskov tindakan itu sama saja dengan membiarkan kelompok teroris semakin leluasa mengambil alih kekuasaan di Suriah.
Selama diskusi, Lavrov melontarkan beberapa peringatan. Dia meminta AS tidak mengulang serangan serupa insiden pengeboman Pangkalan Udara Shayrat pada 7 April lalu. Apalagi menurut Rusia, serangan itu dilakukan secara ilegal tanpa ada landasan hukum. Di sisi lain, Rusia ingin membangun dialog yang konstruktif untuk meluruskan berbagai isu miring.
“Penting untuk mencegah segala risiko dari berbagai aksi serangan seperti itu,” kata Lavrov. “Kunjungan Tillerson memberikan kesempatan kepada kami untuk berdiskusi secara jujur dan terbuka untuk mengklarifikasi prospek kerja sama kedua negara di semua bidang dan formasi global dalam melawan terorisme,” tambahnya.
Rusia juga berharap Washington akan menyepakati penyelidikan objektif dengan melibatkan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) dalam insiden di Khan Sheikhoun. “Negara Barat menuduh Suriah tanpa alasan jelas. Justru Fakta Jabhat al-Nusra yang beroperasi di Khan Sheikhoun yang memproduksi bom kimia,” tambahnya.
Dalam acara berbeda, Wakil Menlu Rusia Sergei Ryabkov mengatakan secara umum, retorika AS primitif dan agresif. Dia berharap ini tidak akan menjadi substansi kebijakan luar negeri AS. Saat ini, kata Ryabkov, pendirian AS dalam menangani krisis di Suriah masih misteri. Dia bahkan menilai AS bersikap inkonsisten.
Sikap permusuhan Moskow terhadap pemerintahan Trump merupakan perubahan drastis dari tahun lalu saat Putin memuji Trump sebagai sosok yang kuat. Televisi pemerintah Rusia juga sempat memuji Trump sejak awal pemerintahan pre-siden baru AS tersebut. Tillerson sendiri mengatakan tujuan kedatangannya ke Moskow untuk mengklarifikasi lebih lanjut perbedaan tajam antara AS dan Rusia sehingga keduanya bisa memahami satu sama lain.
“Saya juga berharap diskusi yang jujur dan terbuka sehingga kita bisa menentukan hubungan kedua negara dari titik ini,” kata Tillerson kepada Lavrov. Gedung Putih sebelumnya menuduh Moskow mencoba menutupi aib Assad yang menggunakan senjata kimia di Khan Sheikhoun. Meski demikian, Putin kembali menepis tuduhan itu.
Dia menuduh kelompok separatis sebagai pelakunya. “Mereka merekayasanya atau melepaskannya bertepatan dengan serangan udara dari tentara Suriah,” kata Putin. Putin menyatakan gas beracun itu milik pemberontak yang dilepas saat pemberontak diserang Suriah di gudang senjata pemberontak. Menurut Putin, pemberontak melakukan hal itu untuk memojokkan Assad. Meski situasinya memanas, Trump mengatakan tidak akan menerjunkan pasukan AS ke Suriah.
“Kami tidak akan ke Suriah, tapi ketika saya melihat penggunaan senjata kimia menewaskan anak-anak dan dipeluk ayahnya atau anak-anak sekarat, saya akan segera memanggil Menteri Pertahanan Jenderal Mattis,” kata Trump. Trump di awal pemerintahannya berupaya membangun hubungan lebih dekat dengan Rusia dan meningkatkan kerja sama dalam memerangi musuh bersama di Suriah, yakni kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Washington kemudian menghancurkan pangkalan udara Suriah dengan 59 misil Tomahawk. Aksi militer AS terhadap Suriah itu ditentang keras Rusia selaku pendukung utama Presiden Suriah Bashar al-Assad. Presiden Rusia Vladimir Putin yang berharap hubungan dengan AS membaik di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump menyatakan kekecewaannya.
“Kami bisa katakan tingkat kepercayaan dengan AS, terutama di bidang militer, tidaklah meningkat, tapi justru memburuk,” ujar Putin di Moskow, kemarin, dikutip media terkemuka Rusia RT. Ketegangan itu juga berlanjut hingga di tingkat menteri. Kemarin, seperti dilansir kantor berita Reuters, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Rex Tillerson disambut dingin Menlu Rusia Sergey Lavrov.
Meski diskusi berlangsung damai, konflik kepentingan di antara keduanya muncul ke permukaan. Mereka memiliki pendirian politik yang berseberangan di Suriah. Tillerson yang membawa pesan gabungan dari negara Barat meminta Rusia mencabut dukungan terhadap Assad. Jelas, Rusia menolak, sebab menurut Juru Bicara (Jubir) Kepresidenan Rusia Dmitry Peskov tindakan itu sama saja dengan membiarkan kelompok teroris semakin leluasa mengambil alih kekuasaan di Suriah.
Selama diskusi, Lavrov melontarkan beberapa peringatan. Dia meminta AS tidak mengulang serangan serupa insiden pengeboman Pangkalan Udara Shayrat pada 7 April lalu. Apalagi menurut Rusia, serangan itu dilakukan secara ilegal tanpa ada landasan hukum. Di sisi lain, Rusia ingin membangun dialog yang konstruktif untuk meluruskan berbagai isu miring.
“Penting untuk mencegah segala risiko dari berbagai aksi serangan seperti itu,” kata Lavrov. “Kunjungan Tillerson memberikan kesempatan kepada kami untuk berdiskusi secara jujur dan terbuka untuk mengklarifikasi prospek kerja sama kedua negara di semua bidang dan formasi global dalam melawan terorisme,” tambahnya.
Rusia juga berharap Washington akan menyepakati penyelidikan objektif dengan melibatkan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) dalam insiden di Khan Sheikhoun. “Negara Barat menuduh Suriah tanpa alasan jelas. Justru Fakta Jabhat al-Nusra yang beroperasi di Khan Sheikhoun yang memproduksi bom kimia,” tambahnya.
Dalam acara berbeda, Wakil Menlu Rusia Sergei Ryabkov mengatakan secara umum, retorika AS primitif dan agresif. Dia berharap ini tidak akan menjadi substansi kebijakan luar negeri AS. Saat ini, kata Ryabkov, pendirian AS dalam menangani krisis di Suriah masih misteri. Dia bahkan menilai AS bersikap inkonsisten.
Sikap permusuhan Moskow terhadap pemerintahan Trump merupakan perubahan drastis dari tahun lalu saat Putin memuji Trump sebagai sosok yang kuat. Televisi pemerintah Rusia juga sempat memuji Trump sejak awal pemerintahan pre-siden baru AS tersebut. Tillerson sendiri mengatakan tujuan kedatangannya ke Moskow untuk mengklarifikasi lebih lanjut perbedaan tajam antara AS dan Rusia sehingga keduanya bisa memahami satu sama lain.
“Saya juga berharap diskusi yang jujur dan terbuka sehingga kita bisa menentukan hubungan kedua negara dari titik ini,” kata Tillerson kepada Lavrov. Gedung Putih sebelumnya menuduh Moskow mencoba menutupi aib Assad yang menggunakan senjata kimia di Khan Sheikhoun. Meski demikian, Putin kembali menepis tuduhan itu.
Dia menuduh kelompok separatis sebagai pelakunya. “Mereka merekayasanya atau melepaskannya bertepatan dengan serangan udara dari tentara Suriah,” kata Putin. Putin menyatakan gas beracun itu milik pemberontak yang dilepas saat pemberontak diserang Suriah di gudang senjata pemberontak. Menurut Putin, pemberontak melakukan hal itu untuk memojokkan Assad. Meski situasinya memanas, Trump mengatakan tidak akan menerjunkan pasukan AS ke Suriah.
“Kami tidak akan ke Suriah, tapi ketika saya melihat penggunaan senjata kimia menewaskan anak-anak dan dipeluk ayahnya atau anak-anak sekarat, saya akan segera memanggil Menteri Pertahanan Jenderal Mattis,” kata Trump. Trump di awal pemerintahannya berupaya membangun hubungan lebih dekat dengan Rusia dan meningkatkan kerja sama dalam memerangi musuh bersama di Suriah, yakni kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
(esn)