Tanpa Korupsi, Norwegia Negara Paling Bahagia

Selasa, 21 Maret 2017 - 19:37 WIB
Tanpa Korupsi, Norwegia...
Tanpa Korupsi, Norwegia Negara Paling Bahagia
A A A
JAKARTA - Bebas dari korupsi, memiliki masyarakat yang mengedepankan kejujuran, dan pendapatan penduduk tinggi menjadikan Norwegia sebagai negara paling bahagia di dunia pada 2017 versi Sustainable Development Solutions Network (SDSN).

Capaian itu semakin sulit disamai Indonesia yang justru mengalami penurunan kebahagiaan secara drastis daripada sebelumnya. Tahun ini Indonesia terdampar di peringkat ke-81, anjlok dari posisi ke-79 pada 2016. Indeks kebahagiaan Norwegia meloncat dari urutan keempat ke posisi puncak tahun ini. Di belakangnya terdapat Denmark (peringkat pertama pada 2016), Islandia, dan Swiss dalam skor yang sangat ketat.

Artinya perubahan sedikit saja dapat mengubah susunan peringkat teratas. Keempat negara itu bahagia karena kesantunan, kedermawanan, kejujuran, kesehatan, dan pendapatan bangsanya. Dari segi keuangan, Norwegia memberikan kejutan besar karena sedang terpuruk akibat rendahnya harga minyak. Namun Norwegia membuktikan uang bukan asupan utama jiwa.

Justru dengan penjualan minyak yang kian ketat dan melambat, mereka lebih rajin menabung dan mengurangi uang belanja yang tidak perlu. Prinsip hidup sederhana itu lalu didukung dengan berbagai faktor lain.

Bangsa Norwegia hidup bahagia karena pandai bersyukur, saling percaya, dan saling mengasihi, dan membantu. Di samping itu Pemerintah Norwegia bersih dari korupsi dan fokus memperhatikan rakyat.

Mereka berusaha agar semua rakyat bisa sejahtera. “Hal yang paling penting ialah yang berkaitan dengan kemanusiaan,” ujar penulis utama laporan itu, John Helliwell, yang juga ahli ekonomi dari University of British Columbia di Kanada seperti dikutip NBC News. “Jika kekayaan membuat seseorang kian sulit membangun kepercayaan dengan orang lain, apakah itu setimpal?” tambahnya.

Beberapa negara lain yang masuk peringkat 10 besar juga memiliki tipe kehidupan yang hampir sama dengan peringkat empat besar. Finlandia yang menduduki posisi kelima juga memiliki tingkat kesehatan, pendapatan, sosial, dan kepercayaan yang tinggi. Begitu juga dengan Belanda, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan Swedia.

Perbandingan antara 10 peringkat teratas dan 10 peringkat terbawah menunjukkan perbedaan tingkat kepedulian sosial, kedermawanan, kebebasan, pemerintahan yang jujur, pendapatan per kapita, dan harapan kesehatan hidup. Di negara maju, kesenjangan tidak disebabkan perbedaan pendapatan, tetapi oleh kesehatan mental.

“Perbedaan pendapatan lebih dipermasalahkan di negara berkembang meski kesehatan mental juga tetap menjadi sumber utama kesengsaraan,” ungkap SDSN.

Pekerjaan merupakan faktor lain yang menentukan. Orang yang menganggur lebih cepat mengalami penurunan kebahagiaan daripada orang yang bekerja. Tingkat kebahagiaan di Amerika Serikat (AS) telah menurun dari tahun ke tahun. Pada 2007, AS dikenal sebagai negara ketiga paling bahagia di antara negara anggota OECD. Namun, tahun ini, AS menduduki posisi ke-14.

Penyebabnya, AS mengalami peningkatan kasus korupsi, penembakan, dan rendahnya dukungan sosial. Raksasa Asia China juga tidak mengalami peningkatan kebahagiaan signifikan sejak 25 tahun lalu. Saat ini China menduduki posisi ke-79 atau lebih tinggi dua posisi bila dibandingkan dengan Indonesia.

“Hal itu kontras dengan pertumbuhan pendapatan per kapita China yang naik secara sangat tajam sejak 1990-an,” ungkap SDSN.

Saat ini dengan berkembangnya teknologi, kebutuhan akan norma sosial yang stabil lebih meningkat bila dibandingkan dengan uang. Ahli ekonomi Skotlandia Adam Smith berpendapat manusia mudah simpati terhadap nasib orang lain. “Tapi kekuatan untuk mencapai kebahagiaan umum di seluruh dunia terletak di tangan Tuhan,” kata Smith.

Banyak riset di bidang ekonomi dan psikologi cenderung mengikuti praduga Smith bahwa simpati moral setiap orang terbatasi oleh keluarga dan sahabat. Orang yang mementingkan diri sendiri diduga akan lebih stres. Sebab hubungan sosial merupakan fondasi yang sangat penting, baik dalam menjalin bisnis ataupun persahabatan. Helliwell menyatakan pengurangan stres juga dapat meningkatkan kesehatan fisik.

Faktanya, dalam sebuah penelitian di Swedia, stres terbukti meningkatkan angka kematian di antara orang-orang yang sebelumnya tampak sehat. Risiko itu hampir dapat dihapus di antara mereka yang mendapat dukungan emosional dari orang terdekat.

Sebaliknya, hubungan sosial yang negatif seperti orang yang sering terlibat konflik dua kali lipat lebih cepat terkena penyakit. Jadi peran sikap murah hati sangat besar dalam membantu menyehatkan tubuh.

Berbagai macam studi juga menunjukkan orang yang sering menyumbang lebih sehat daripada orang yang kikir. “Bukti nyata dari kasus ini dapat dilihat dari intervensi sosial saat seseorang mengalami kecelakaan atau memerlukan bantuan darurat,” ungkap SDSN.

“Memiliki seseorang yang dapat diandalkan di saat genting memberikan dampak yang sangat besar sekalipun tidak memiliki pendapatan dan kesehatan yang bagus,” tambah SDSN.

Lebih dari 90% responden mengaku memiliki seseorang yang dapat diandalkan. Namun SDSN sadar aspek ini multidimensi karena dukungan sosial tidak hanya dibutuhkan di rumah, tetapi juga di perjalanan, di tempat kerja, dan luar daerah. Artinya dukungan jaringan sosial secara keseluruhan di satu negeri jauh lebih penting.
(esn)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0687 seconds (0.1#10.140)