Orang Tua Terbunuh, Jadi Tulang Punggung Keluarga

Rabu, 15 Februari 2017 - 23:44 WIB
Orang Tua Terbunuh,...
Orang Tua Terbunuh, Jadi Tulang Punggung Keluarga
A A A
HOMS - Setiap hari sejak enam tahun yang lalu, kekerasan dan kematian akibat perang bukan kisah yang langka di Suriah. Banyak warga yang ketakutan dan tidak bisa merasakan kedamaian sedikit pun. Trauma ini tidak hanya dirasakan orang dewasa, tapi juga anak-anak.

Lebih dari delapan juta anak-anak Suriah melewati kehidupan yang pahit. Jika sebagian anak-anak di Indonesia asyik brmain dan belajar, mayoritas anak-anak di Suriah terpaksa fokus untuk bertahan hidup. Mereka menjadi lebih dewasa dan bijak. Ahmad, 11, misalnya. Bocah yang bercita-cita menjadi jenderal itu pernah terkena peluru penembak jitu saat pergi ke warung pada 2014.

“Bagian tengkorak kepala saya hilang di sini,” katanya sambil menunjuk bagian kepalanya yang tertembak kepada RT. Luka tersebut tidak hanya terasa nyeri, tapi juga membuat satu tangan dan satu kakinya lumpuh. “Saya biasanya mengenakan pakaian sendirian. Tapi, sekarang saya tidak bisa melakukan apa pun. Saya bahkan tidak bisa pergi ke toilet sendirian,” tandas Ahmad.

Selain Ahmad, Leith, 9, juga mengalami kisah memilukan. Dia menyaksikan ayah dan ibunya terbunuh di atap rumahnya di Kota Homs. Saat kejadian, mereka sedang tertidur. Namun, mereka terbangun karena mendengar suara letusan senapan di sekitar rumah.

“Ayah saya melihat musuh dari jendela dan melakukan serangan balik. Kami naik ke atap rumah. Lalu, mereka mulai melemparkan bom dan menembaki kami sampai dua orang tua saya meninggal,” imbuh Leith yang percaya ayah dan ibunya mati syahid.

Selain melihat kematian orang tuanya, Leith juga menyaksikan tiga anggota keluarga lainnya terbunuh di depan mata kepalanya sendiri. Perang membuatnya melihat sesuatu yang tidak diinginkannya. “Saya mengingat semua yang terjadi pada diri saya,” katanya.

Tidak berbeda jauh dari Ahmad dan Leith, Samir, 11, juga merasakan dampak yang sangat buruk dari perang. Anak yatim itu terpaksa menanggalkan jadwal sekolah dan menggantinya dengan jadwal bekerja demi menghidupi keluarganya. “Saya bekerja di pabrik dari pukul 09.00 sampai 21.00,” terang Samir.

Meski bekerja 12 jam per hari dengan libur sehari sepekan, dia hanya diberi upah 8.000 pound Suriah (sekitar Rp200.000). Tapi, dia mengaku akan tetap bersabar karena tidak memiliki pilihan lain. Tragedi lebih getir dirasakan Mahmoud, 6. Selain terlahir tanpa tangan, kakinya juga harus diamputasi secara parsial ketika pamannya yang menggendongnya menginjak ranjau dan meninggal. Saat itu dia berada di antara hidup dan mati.

“Tapi, ini sudah takdirnya dia tetap hidup,” terang pengasuhnya. Kendati tetangganya mengatakan Mahmoud akan lebih baik jika meninggal, lelaki kecil itu masih bisa tersenyum lebar dan menunjukkan harapan di tengah perang masih terbuka.
(esn)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0839 seconds (0.1#10.140)