Arab Saudi Dukung Kebijakan Trump
A
A
A
PARIS - Arab Saudi mendukung reformasi kebijakan luar negeri Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Timur Tengah. Selama pemerintahan Presiden AS Barack Obama, Saudi kerap diabaikan dan dikecewakan dalam perundingan nuklir Iran.
Riyadh juga tidak puas dengan kebijakan perang melawan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang setengah hati dilakukan Obama. Dengan kepemimpinan pemerintahan baru AS, Saudi berharap hubungan kedua negara semakin erat. Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir mengatakan, dia sangat positif dengan cara dan langkah AS untuk memulihkan kembali pengaruhnya di dunia, menekan Iran, dan memerangi ISIS.
”Kita optimistis dengan pemerintahan mendatang dan melihat ke depan untuk bekerja sama dengan AS dalam segala bidang yang menjadi perhatian bagi kedua negara,” kata Jubeir kepada reporter di Paris, dilansir AFP. Jubeir mengungkapkan, Saudi ingin melihat pandangan pemerintahan Trump yang diartikulasikan di lapangan.
”Ingin memulihkan pengaruh AS di dunia, kita menyambut hal ini. Ingin mengalahkan ISIS, tentunya. Ingin membatasi Iran, pastinya,” katanya. Kepentingan eksportir minyak terbesar di dunia, kata Jubeir, ingin beraliansi dengan AS. Saudi juga ingin masuk menjadi geopolitik AS dalam Suriah, Irak, Yaman, dan Iran.
Bahkan, Saudi juga akan tetap mendekat ke AS untuk isu energi dan finansial. ”Tujuan yang ingin dicapai memiliki kesamaan. Kita mungkin memiliki ketidaksepakatan untuk mencapai hal tertentu, tetapi kita tidak setuju dengan apa yang harus dilakukan dan tidak akan mengubahnya,” tutur Jubeir.
Ketika ditanya lebih spesifik tentang hubungan Riyadh dengan rival utamanya yakni Iran, Jubeir mengungkapkan bahwa Teheran selalu mengganggu stabilitas Timur Tengah. Hubungan kedua negara memburuk setelah banyak jamaah haji Iran yang meninggal dunia pada pelaksanaan ibadah haji pada 2015 lalu.
Iran menuding Saudi tidak kompeten menggelar ritual ibadah besar tahunan dan memboikot pada tahun lalu. Hubungan Teheran-Riyadh juga memburuk saat Saudi mengeksekusi ulama Syiah tahun lalu. Warga Iran yang marah menyerang kedutaan Saudi di Teheran. Hubungan diplomatis kedua negara itu memang kerap mengalami titik beku.
”Hubungan kita dengan Iran memang tegang karena kebijakan mereka yang agresif dan merusak. Sebenarnya sungguh menarik bisa hidup dalam damai dan harmoni dengan Iran, tetapi itu sangat sulit,” kata Jubeir. ”Kita tidak bisa membahas kematian dan kerusakan serta memperkirakan untuk terluka tanpa balas dendam.
Kita mencobanya, tetapi tak pernah berjalan,” imbuhnya. Jubeir menambahkan, perundingan di Astana, ibu kota Kazakhstan, bertujuan untuk mencapai gencatan senjata di Suriah akan diuji. Tapi, itu tidak boleh ditafsirkan bahwa Riyadh mengabaikan kelompok gerilyawan moderat untuk menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
”Tujuan (perundingan Astana) adalah tercapainya gencatan senjata dan bergerak menuju proses politik. Marilah kita mengujinya. Sejauh ini belum menunjukkan kesuksesan,” kata Jubeir. ”Jika itu berjalan, kita akan mengabaikan alur politik. Tetapi, itu tidak berarti kita mengabaikan kelompok oposisi moderat,” tambahnya.
Perundingan Astana yang didukung Rusia dan Turki akan dilaksanakan akhir bulan ini. Faksi militer anti-Assad bersiap menggelar perundingan tatap muka dengan delegasi pemerintah. Saudi yang memberikan dukungan militer kepada kelompok oposisi Suriah ternyata telah berunding intensif dengan Turki.
Riyadh sangat yakin bahwa Ankara tidak akan mengubah pandangannya bahwa Assad harus tumbang. ”Saya tidak melihat perubahan posisi Turki,” kata Jubeir. ”Turki memiliki banyak orang di Suriah dan mereka berhubungan langsung dengan kelompok oposisi di lapangan,” paparnya.
Dari Moskow, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov kemarin mengatakan bahwa pihaknya berpikir akan mengundang pemerintahan Trump menghadiri perundingan di Astana yang digelar pada 23 Januari. Perundingan damai itu menjadi ujian bagi Rusia, apakah mampu menyelesaikan konflik Suriah.
Sebelumnya Rusia lebih fokus memberikan bantuan militer kepada Pemerintah Suriah. ”Saya berharap pemerintahan Trump akan menerima undangan dan menyambut keinginan Presiden terpilih AS untuk memerangi terorisme internasional sebagai prioritas,” kata Lavrov dilansir Reuters.
Dia berharap, Rusia dan Trump bisa bekerja sama lebih efektif dalam menangani isu Suriah dibandingkan dengan pemerintahan Obama. Lavrov juga mengatakan bahwa Rusia akan berdialog dengan pemerintahan Trump mengenai stabilitas strategis, termasuk senjata nuklir.
Dialog tersebut juga membahas senjata hipersonik, tameng misil AS di Eropa, senjata antariksa, dan uji coba nuklir. ”Rusia siap bertemu dengan pemerintahan Trump untuk membahas berbagai isu setelah presiden terpilih itu dilantik secara resmi,” katanya.
Riyadh juga tidak puas dengan kebijakan perang melawan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang setengah hati dilakukan Obama. Dengan kepemimpinan pemerintahan baru AS, Saudi berharap hubungan kedua negara semakin erat. Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir mengatakan, dia sangat positif dengan cara dan langkah AS untuk memulihkan kembali pengaruhnya di dunia, menekan Iran, dan memerangi ISIS.
”Kita optimistis dengan pemerintahan mendatang dan melihat ke depan untuk bekerja sama dengan AS dalam segala bidang yang menjadi perhatian bagi kedua negara,” kata Jubeir kepada reporter di Paris, dilansir AFP. Jubeir mengungkapkan, Saudi ingin melihat pandangan pemerintahan Trump yang diartikulasikan di lapangan.
”Ingin memulihkan pengaruh AS di dunia, kita menyambut hal ini. Ingin mengalahkan ISIS, tentunya. Ingin membatasi Iran, pastinya,” katanya. Kepentingan eksportir minyak terbesar di dunia, kata Jubeir, ingin beraliansi dengan AS. Saudi juga ingin masuk menjadi geopolitik AS dalam Suriah, Irak, Yaman, dan Iran.
Bahkan, Saudi juga akan tetap mendekat ke AS untuk isu energi dan finansial. ”Tujuan yang ingin dicapai memiliki kesamaan. Kita mungkin memiliki ketidaksepakatan untuk mencapai hal tertentu, tetapi kita tidak setuju dengan apa yang harus dilakukan dan tidak akan mengubahnya,” tutur Jubeir.
Ketika ditanya lebih spesifik tentang hubungan Riyadh dengan rival utamanya yakni Iran, Jubeir mengungkapkan bahwa Teheran selalu mengganggu stabilitas Timur Tengah. Hubungan kedua negara memburuk setelah banyak jamaah haji Iran yang meninggal dunia pada pelaksanaan ibadah haji pada 2015 lalu.
Iran menuding Saudi tidak kompeten menggelar ritual ibadah besar tahunan dan memboikot pada tahun lalu. Hubungan Teheran-Riyadh juga memburuk saat Saudi mengeksekusi ulama Syiah tahun lalu. Warga Iran yang marah menyerang kedutaan Saudi di Teheran. Hubungan diplomatis kedua negara itu memang kerap mengalami titik beku.
”Hubungan kita dengan Iran memang tegang karena kebijakan mereka yang agresif dan merusak. Sebenarnya sungguh menarik bisa hidup dalam damai dan harmoni dengan Iran, tetapi itu sangat sulit,” kata Jubeir. ”Kita tidak bisa membahas kematian dan kerusakan serta memperkirakan untuk terluka tanpa balas dendam.
Kita mencobanya, tetapi tak pernah berjalan,” imbuhnya. Jubeir menambahkan, perundingan di Astana, ibu kota Kazakhstan, bertujuan untuk mencapai gencatan senjata di Suriah akan diuji. Tapi, itu tidak boleh ditafsirkan bahwa Riyadh mengabaikan kelompok gerilyawan moderat untuk menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
”Tujuan (perundingan Astana) adalah tercapainya gencatan senjata dan bergerak menuju proses politik. Marilah kita mengujinya. Sejauh ini belum menunjukkan kesuksesan,” kata Jubeir. ”Jika itu berjalan, kita akan mengabaikan alur politik. Tetapi, itu tidak berarti kita mengabaikan kelompok oposisi moderat,” tambahnya.
Perundingan Astana yang didukung Rusia dan Turki akan dilaksanakan akhir bulan ini. Faksi militer anti-Assad bersiap menggelar perundingan tatap muka dengan delegasi pemerintah. Saudi yang memberikan dukungan militer kepada kelompok oposisi Suriah ternyata telah berunding intensif dengan Turki.
Riyadh sangat yakin bahwa Ankara tidak akan mengubah pandangannya bahwa Assad harus tumbang. ”Saya tidak melihat perubahan posisi Turki,” kata Jubeir. ”Turki memiliki banyak orang di Suriah dan mereka berhubungan langsung dengan kelompok oposisi di lapangan,” paparnya.
Dari Moskow, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov kemarin mengatakan bahwa pihaknya berpikir akan mengundang pemerintahan Trump menghadiri perundingan di Astana yang digelar pada 23 Januari. Perundingan damai itu menjadi ujian bagi Rusia, apakah mampu menyelesaikan konflik Suriah.
Sebelumnya Rusia lebih fokus memberikan bantuan militer kepada Pemerintah Suriah. ”Saya berharap pemerintahan Trump akan menerima undangan dan menyambut keinginan Presiden terpilih AS untuk memerangi terorisme internasional sebagai prioritas,” kata Lavrov dilansir Reuters.
Dia berharap, Rusia dan Trump bisa bekerja sama lebih efektif dalam menangani isu Suriah dibandingkan dengan pemerintahan Obama. Lavrov juga mengatakan bahwa Rusia akan berdialog dengan pemerintahan Trump mengenai stabilitas strategis, termasuk senjata nuklir.
Dialog tersebut juga membahas senjata hipersonik, tameng misil AS di Eropa, senjata antariksa, dan uji coba nuklir. ”Rusia siap bertemu dengan pemerintahan Trump untuk membahas berbagai isu setelah presiden terpilih itu dilantik secara resmi,” katanya.
(esn)