Ribuan Muslim Rohingya Eksodus di Tengah Pembeberan Kekejaman Militer Myanmar
A
A
A
YANGON - Lebih dari 65.000 Muslim Rohingya melakukan eksodus dari negara bagian Rakhine, Myanmar. Eksodus besar-besaran itu terjadi di tengah pembeberan laporan baru tentang kekejaman militer Myanmar oleh kelompok hak asasi manusia (HAM), pada Selasa (10/1/2017).
Sebagian besar tujuan eksodus warga Muslim Rohingya adalah Bangladesh. Duta HAM PBB untuk Myanmar Yanghee Lee memberikan rincian data warga Muslim Rohingya yang telah eksodus. Data dia peroleh setelah memulai kunjungan 12 hari untuk untuk menyelidiki kekerasan di Rakhine.
Badan bantuan PBB mencatat sekitar 22.000 warga Rohingya telah tiba di kamp-kamp Bangladesh pada pekan terakhir ini. Angka itu dianggap sebagai yang terbesar dari gelombang eksodus warga Muslim Rohingya sejak kekerasan terbaru pecah di Rakhine Oktober 2016.
”Selama seminggu terakhir, 22.000 pendatang baru (Rohingya) dilaporkan telah menyeberangi perbatasan dari negara bagian Rakhine,” kata Lee, dalam laporan mingguannya.
”Sebagai data hingga 5 Januari, diperkirakan 65.000 orang tinggal di kamp-kamp yang terdaftar, pemukiman darurat dan masyarakat tuan rumah di Cox Bazaar, di Bangladesh selatan,” lanjut laporan itu.
Puttanee Kangkun, seorang peneliti kelompok HAM Fortify Rights, mengatakan bahwa dia dan rekan-rekannya telah mendokumentasikan puluhan aksi kekejaman militer Myanmar. Data itu diperoleh dari hasil wawancara terhadap para keluarga Rohingya di kamp perbatasan Bangladesh selama dua minggu.
”Banyak yang menyaksikan tentara Burma (Myanmar) membunuh orang-orang yang (mereka) cintai, termasuk anak-anak. Beberapa tenggorokan mereka digorok, sementara yang lain dibakar hidup-hidup,” kata Kangkun.
”Istri, ibu dan anak perempuan menyaksikan tentara membunuh suami, anak (lelaki) dan ayah (mereka),” lanjut dia.
Menurut data peneliti itu, ada seorang perempuan Rohingya menceritakan bagaimana keluarga mereka dilecehkan selama penggeledahan oleh pasukan Myanmar di rumah mereka. Perhiasan dan uang tunai diincar dalam penggeledahan itu.
”Karena stigma pemerkosaan melekat dalam masyarakat Rohingya, kami percaya bahwa kasus yang dilaporkan kepada kami hanya mewakili sebagian kecil dari kasus pemerkosaan yang terjadi,” ujarnya.
Kangkun menambahkan, banyak dari warga Rohingya di kamp-kamp pengungsian tidak membawa bekal selain pakaian di badan mereka. Para pengungsi Rohingya membutuhkan dukungan medis dan psiko-sosial
”Banyak korban ingin berbagi kesaksian mereka dan berpartisipasi dalam proses pengungkapan kebenaran. Tapi mereka tidak bisa melakukannya sendiri. Sekarang adalah saatnya bagi masyarakat internasional untuk bertindak,” imbuh Kangkun, seperti dikutip Sydney Morning Herald.
Pemerintah Myanmar sudah berkali-kali mengatakan klaim pelecehan oleh militernya itu palsu. Myanmar mengklaim meluncurkan komisi khusus untuk menyelidiki tuduhan tersebut.
Kekerasan terbaru yang dialami warga Rohingya di Rakhine bermula dari serangan kelompok bersenjata yang dikenal sebagai Harakah al-Yaqin (Gerakan Iman) terhadap pos-pos perbatasan yang menewaskan sembilan polisi Myanmar Oktober 2016.
Militer merespons serangan itu dengan menyerang desa-desa Rohingya di Rakhine. Laporan aktivis dan warga Rohingya, militer Myanmar melakukan pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran desa dan tindak kekejaman lainnya.
Sebagian besar tujuan eksodus warga Muslim Rohingya adalah Bangladesh. Duta HAM PBB untuk Myanmar Yanghee Lee memberikan rincian data warga Muslim Rohingya yang telah eksodus. Data dia peroleh setelah memulai kunjungan 12 hari untuk untuk menyelidiki kekerasan di Rakhine.
Badan bantuan PBB mencatat sekitar 22.000 warga Rohingya telah tiba di kamp-kamp Bangladesh pada pekan terakhir ini. Angka itu dianggap sebagai yang terbesar dari gelombang eksodus warga Muslim Rohingya sejak kekerasan terbaru pecah di Rakhine Oktober 2016.
”Selama seminggu terakhir, 22.000 pendatang baru (Rohingya) dilaporkan telah menyeberangi perbatasan dari negara bagian Rakhine,” kata Lee, dalam laporan mingguannya.
”Sebagai data hingga 5 Januari, diperkirakan 65.000 orang tinggal di kamp-kamp yang terdaftar, pemukiman darurat dan masyarakat tuan rumah di Cox Bazaar, di Bangladesh selatan,” lanjut laporan itu.
Puttanee Kangkun, seorang peneliti kelompok HAM Fortify Rights, mengatakan bahwa dia dan rekan-rekannya telah mendokumentasikan puluhan aksi kekejaman militer Myanmar. Data itu diperoleh dari hasil wawancara terhadap para keluarga Rohingya di kamp perbatasan Bangladesh selama dua minggu.
”Banyak yang menyaksikan tentara Burma (Myanmar) membunuh orang-orang yang (mereka) cintai, termasuk anak-anak. Beberapa tenggorokan mereka digorok, sementara yang lain dibakar hidup-hidup,” kata Kangkun.
”Istri, ibu dan anak perempuan menyaksikan tentara membunuh suami, anak (lelaki) dan ayah (mereka),” lanjut dia.
Menurut data peneliti itu, ada seorang perempuan Rohingya menceritakan bagaimana keluarga mereka dilecehkan selama penggeledahan oleh pasukan Myanmar di rumah mereka. Perhiasan dan uang tunai diincar dalam penggeledahan itu.
”Karena stigma pemerkosaan melekat dalam masyarakat Rohingya, kami percaya bahwa kasus yang dilaporkan kepada kami hanya mewakili sebagian kecil dari kasus pemerkosaan yang terjadi,” ujarnya.
Kangkun menambahkan, banyak dari warga Rohingya di kamp-kamp pengungsian tidak membawa bekal selain pakaian di badan mereka. Para pengungsi Rohingya membutuhkan dukungan medis dan psiko-sosial
”Banyak korban ingin berbagi kesaksian mereka dan berpartisipasi dalam proses pengungkapan kebenaran. Tapi mereka tidak bisa melakukannya sendiri. Sekarang adalah saatnya bagi masyarakat internasional untuk bertindak,” imbuh Kangkun, seperti dikutip Sydney Morning Herald.
Pemerintah Myanmar sudah berkali-kali mengatakan klaim pelecehan oleh militernya itu palsu. Myanmar mengklaim meluncurkan komisi khusus untuk menyelidiki tuduhan tersebut.
Kekerasan terbaru yang dialami warga Rohingya di Rakhine bermula dari serangan kelompok bersenjata yang dikenal sebagai Harakah al-Yaqin (Gerakan Iman) terhadap pos-pos perbatasan yang menewaskan sembilan polisi Myanmar Oktober 2016.
Militer merespons serangan itu dengan menyerang desa-desa Rohingya di Rakhine. Laporan aktivis dan warga Rohingya, militer Myanmar melakukan pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran desa dan tindak kekejaman lainnya.
(mas)