10 Tahun setelah Saddam Digantung: ISIS, Konflik Sektarian dan Kekacauan

Sabtu, 31 Desember 2016 - 01:13 WIB
10 Tahun setelah Saddam Digantung: ISIS, Konflik Sektarian dan Kekacauan
10 Tahun setelah Saddam Digantung: ISIS, Konflik Sektarian dan Kekacauan
A A A
BAGHDAD - Sudah satu dekade mantan diktator Irak, Saddam Hussein, diadili, dijatuhi hukuman dan dieksekusi gantung. Setelah sepuluh tahun kematian sang diktator, Irak mengalami kekacauan hebat, konflik sektarian yang nyaris tanpa henti dan munculnya kelompok radikal ISIS.

Kekacauan negara di Timur Tengah itu adalah konsekuensi dari invasi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Parahnya, setelah kekacauan pecah di Irak, AS menarik pasukannya dari Baghdad.

Ditinggal AS, Irak jadi negara yang terus diperebutkan kelompok-kelompok sektarian—Sunni, Syiah dan Kurdi—meski para politisi di negara itu kerap menyerukan persatuan. Selama konflik, dunia melihat pengeboman di mana-mana, tak terkecuali di tempat-tempat ibadah.

Belum reda konflik sektarian demi kepentingan politik, Irak dilanda “wabah” kekerasan baru dengan lahirnya kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang kemudian berubah nama menjadi Islamic State. Ulah kelompok ini telah menghiasi media-media dunia dengan aksi brutal sejak 2014 hingga sekarang.

Saddam Digantung di Hari Kurban

Saddam Hussein Abd al-Majid al-Tikriti memerintah Irak mulai Juli 1979 sampai April 2003. Dia jadi penguasa Irak setelah memimpin Partai Ba’ath (Partai Kebangkitan)—sebuah partai sosialis Arab. Tahun 2003, Saddam Hussein digulingkan melalui invasi AS dan sekutunya. Dalih AS saat itu adalah kepemilikan senjata pemusnah massal rezim Saddam, yang diyakini hanya bualan Washington.

Setelah lengser, Saddam, 69, ditangkap. Dia diadili oleh pengadilan yang ditetapkan otoritas pendudukan pimpinan AS. Pada tanggal 5 November 2006, Saddam dihukum atas kejahatan terhadap kemanusiaan tahun 1982, yakni pembunuhan terhadap 148 orang di Kota Dujail. Sang diktator digantung saat fajar pada tanggal 30 Desember 2006 yang bertepatan dengan Idul Adha atau Hari Raya Kurban.

”Ini merupakan bukti tekad rakyat Irak untuk bergerak maju setelah puluhan tahun mengalami penindasan. Meskipun (melakukan) kejahatan yang mengerikan terhadap rakyatnya sendiri, Saddam Hussein menerima pengadilan yang adil,” kata Presiden AS George W. Bush saat itu menyusul eksekusi Saddam. ”Pengadilan adil yang tak terbayangkan di bawah pemerintahan tirani Saddam Hussein.”

Mowaffak al-Rubaie, penasehat keamanan nasional Irak yang saat itu hadir dalam eksekusi mengatakan bahwa Saddam Hussein tak seseram yang dibayangkan ketika maut di depan mata. Menurutnya, Saddam tertunduk aneh selama proses eksekusi.

”Dia adalah seorang pria yang kacau,” kata Rubaie pada saat itu. ”Dia takut. Anda bisa melihat ketakutan di wajahnya.”

Konflik Sektarian Hebat

Kekerasan sektarian mulai berkecamuk hebat di Irak pada awal 2006. Kelompok Sunni, Syiah dan faksi-faksi Kurdi bentrok. Ratusan orang tewas dan tidak sedikit warga Irak jadi pengungsi selama bertahun-tahun. Konflik itu menjadikan Irak seperti negara yang tidak memiliki masa depan.

Di lingkungan birokrasi pemerintahan, praktik korupsi juga menjamur. Para pejabat berkuasa mengabaikan kondisi kekacauan di Irak dan sibuk menikmati uang negara. Demonstrasi menentang pemimpin korup terus terjadi di Baghdad dan sekitarnya.

ISIS Lahir dan Berulah

Sejak rezim Saddam tumbang, tokoh-tokoh yang tersingkir dari kekuasaan pindah haluan dengan bergabung dengan kelompok militan. Kelompok al-Qaeda yang didirikan Osama bin Laden, menjadi salah satu kelompok militan paling terkenal saat itu.

Seiring waktu berjalan, muncul sempalan dari kelompok al-Qaeda yang dikenal sebagai Jabhat al-Nusra. Kelompok al-Qaeda dan pecahannya semakin berkembang bertepatan dengan pecahnya krisis Suriah tahun 2011.

Suriah yang berbatasan langsung dengan Irak menjadi sasaran empuk perkembangbiakan al-Qaeda dan sempalannya. Dari beberapa sempalan al-Qaeda muncullah kelompok ISIS yang secara resmi diproklamirkan oleh pemimpinnya Abu Bakr al-Baghdadi di Mosul pada tahun 2014.

Sama seperti namanya, ISIS berambisi menciptakan negara ala “khilafah” versi mereka di wilayah Irak dan Suriah. Kelompok ini tak peduli, bahwa Irak dan Suriah masih memiliki pemimpin yang sah. ISIS di Irak sempat berkuasa di sebagian besar wilayah utara negara itu, terutama Mosul.

Sejak 2014, wilayah Mosul seperti jadi “rumah jagal”, di mana para militan ISIS melakukan pembunuhan brutal terhadap pasukan Irak dan kelompok minoritas. Kuburan massal ditemukan di mana-mana. Di Irak, kelompok ini juga menyerang etnis Yazidi. Ribuan perempuan dari etnis itu ditangkap dan dijadikan budak seks.

Ulah brutal kelompok ISIS di Suriah tak jauh beda dengan apa yang mereka lakukan di Irak. Di negeri Presiden Bashar al-Assad, ISIS melakukan eksekusi di mana-mana, termasuk terhadap para wartawan asing yang jadi sandera untuk dimintai tebusan.

Sebagian besar sandera yang tak ditebus berakhir dengan pemenggalan. Praktik barbar ini terjadi di Raqqa—yang diklaim sebagai ibu kota ISIS—dan wilayah lain. Kelompok ini juga menjarah artefak kuno dan minyak mentah di Irak dan Suriah.

Kemunculan ISIS merespons dunia untuk bertindak. Amerika Serikat membentuk koalisi dengan puluhan negara menjadi anggotanya. Arab Saudi membentuk Koalisi Islam dengan negara-negara Islam menjadi anggotanya. Rusia memilih membentuk aliansi sendiri dengan Suriah dan Iran.

Berbagai koalisi itu telah memerangi ISIS sepanjang dua tahun terakhir. Dana miliaran dolar dihabiskan untuk mengamburkan amunisi guna menggempur ISIS di Irak dan Suriah. Tapi, meski digempur di mana-mana, kelompok ini belum lenyap. ISIS justru kerap muncul dengan video propaganda untuk memprovokasi para pengikutnya melakukan serangan di negara-negara yang tergabung dalam berbagai koalisi itu.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6086 seconds (0.1#10.140)