Indonesia dan Australia Pertimbangkan Patroli Bareng di Laut China Selatan
A
A
A
JAKARTA - Indonesia dan Australia sedang mempertimbangkan untuk patroli bersama di Laut China Selatan. Indonesia menegaskan, usulan patroli bersama ini bukan untuk menganggu hubungan dengan China, negara yang mengklaim hampir seluruh kawasan Laut China Selatan.
Kawasan maritim yang menghasilkan sekitar USD5 triliun setiap tahunnya dari lalu lintas kapal perdagangan global itu jadi sengketa antara China dan lima negara Asia.
Menteri Pertahanan Indonesia, Ryamizard Ryacudu, mengatakan bahwa dia telah mengusulkan patroli bersama dengan Australia di Laut China Selatan yang dia sebut sebagai “patroli perdamaian”. Usulan yang dia sampaikan pada pertemuan di Bali pekan lalu itu bertujuan untuk memerangi praktik illegal fishing.
”Ini adalah patroli bersama atau patroli terkoordinasi, itu hal yang sama,” kata Ryamizard kepada wartawan. ”Tidak ada niat untuk mengganggu hubungan (dengan China). Hal ini disebut patroli perdamaian, ini membawa perdamaian. Ini adalah tentang melindungi ikan di daerah masing-masing,” ujarnya.
Menteri Pertahanan Australia, Marise Payne, mengatakan kepada Fairfax Media, Senin (31/10/2016), kedua pihak telah setuju untuk mengeksplorasi opsi guna meningkatkan kerjasama maritim.
”Hal ini dapat mencakup kegiatan terkoordinasi di Laut China Selatan dan Laut Sulu yang konsisten dengan kebijakan Australia untuk melaksanakan hak kebebasan navigasi sesuai dengan hukum internasional dan dukungan kami untuk keamanan regional,” katanya.
Indonesia sejatinya tidak terlibat sengketa kepulauan di Laut China Selatan. Namun, Indonesia dan China beberapa kali bersitegang di sekitar Kepulauan Natuna yang masuk wilayah Indonesia setelah kapal-kapal nelayan China memasuki wilayah itu secara ilegal.
Pengadilan arbitrase internasional di Den Haag pada Juli 2016 memutuskan bahwa klaim China atas hampir semua perairan strategis di Laut China Selatan tidak berdasar. Namun China menolak putusan itu, dan pada bulan September melakukan latihan militer bersama untuk pertama kalinya dengan Rusia di Laut China Selatan.
Sedangkan Australia telah bersumpah untuk terus menggunakan hak kebebasan navigasi di Laut China Selatan setelah putusan itu.
Kawasan maritim yang menghasilkan sekitar USD5 triliun setiap tahunnya dari lalu lintas kapal perdagangan global itu jadi sengketa antara China dan lima negara Asia.
Menteri Pertahanan Indonesia, Ryamizard Ryacudu, mengatakan bahwa dia telah mengusulkan patroli bersama dengan Australia di Laut China Selatan yang dia sebut sebagai “patroli perdamaian”. Usulan yang dia sampaikan pada pertemuan di Bali pekan lalu itu bertujuan untuk memerangi praktik illegal fishing.
”Ini adalah patroli bersama atau patroli terkoordinasi, itu hal yang sama,” kata Ryamizard kepada wartawan. ”Tidak ada niat untuk mengganggu hubungan (dengan China). Hal ini disebut patroli perdamaian, ini membawa perdamaian. Ini adalah tentang melindungi ikan di daerah masing-masing,” ujarnya.
Menteri Pertahanan Australia, Marise Payne, mengatakan kepada Fairfax Media, Senin (31/10/2016), kedua pihak telah setuju untuk mengeksplorasi opsi guna meningkatkan kerjasama maritim.
”Hal ini dapat mencakup kegiatan terkoordinasi di Laut China Selatan dan Laut Sulu yang konsisten dengan kebijakan Australia untuk melaksanakan hak kebebasan navigasi sesuai dengan hukum internasional dan dukungan kami untuk keamanan regional,” katanya.
Indonesia sejatinya tidak terlibat sengketa kepulauan di Laut China Selatan. Namun, Indonesia dan China beberapa kali bersitegang di sekitar Kepulauan Natuna yang masuk wilayah Indonesia setelah kapal-kapal nelayan China memasuki wilayah itu secara ilegal.
Pengadilan arbitrase internasional di Den Haag pada Juli 2016 memutuskan bahwa klaim China atas hampir semua perairan strategis di Laut China Selatan tidak berdasar. Namun China menolak putusan itu, dan pada bulan September melakukan latihan militer bersama untuk pertama kalinya dengan Rusia di Laut China Selatan.
Sedangkan Australia telah bersumpah untuk terus menggunakan hak kebebasan navigasi di Laut China Selatan setelah putusan itu.
(mas)