John Kerry Marah-marah, Usik Manuver Jet Rusia di Suriah
A
A
A
NEW YORK - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), John Kerry, marah-marah di hadapan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di forum Dewan Keamanan PBB. Kerry menuntut jet-jet tempur Moskow dan Damaskus tak terbang di zona perang Suriah.
Meski tidak menunjuk langsung Rusia, Kerry meluapkan emosinya pada Lavrov atas pengboman terhadap konvoi bantuan di Suriah saat gencatan senjata berlangsung. Militer Rusia sendiri telah merilis video, bahwa serangan itu diduga dilakukan drone predator milik koalisi internasional yang dipimpin AS.
Kerry blak-blakan meragukan komitmen Rusia dan rezim Suriah untuk menjalankan kewajiban gencatan senjata di Suriah.
Sebelum Kerry emosi, Lavrov terlebih dahulu berbicara di hadapan 15 anggota Dewan Keamanan PBB, bahwa semua pihak harus menahan diri. ”Salah satu kebutuhan untuk menahan diri dari naluri emosional, dari bergegas menuju mikrofon dan segera mengomentari sesuatu hal. Penyelidikan harus dilakukan (atas serangan konvoi bantuan),” ujar Lavrov, pada Rabu waktu New York, yang dikutip Reuters, Kamis (22/9/2016).
Ucapan Menlu Rusia ini disambut sinis John Kerry. Menurut Kerry, mendengarkan Lavrov membuatnya merasa seperti tinggal di sebuah “dunia paralel”. Kerry merasa janji-janji Rusia dan rezim Suriah untuk mematuhi gencatan senjata telah rusak dan didasari kebohongan.
”Seharusnya kita semua ingin tujuan yang sama,” kata Kerry dengan nada tinggi. ”Saya pernah mendengar itu lagi dan lagi. Semua orang duduk di sana dan mengatakan kita ingin Suriah bersatu, sekuler, menghormati hak-hak semua orang, di mana rakyat Suriah dapat memilih kepemimpinan mereka. Tapi kami membuktikan bahwa tidak ada kemampuan dari kita untuk bisa ke meja (perundingan) dan memiliki pembicaraan serta mewujudkannya."
Kerry menyalahkan Rusia yang terlalu membela rezim Suriah karena terus mengabaikan perjanjian gencatan senjata yang dicapai di Jenewa dua minggu yang lalu.
”Bagaimana orang bisa duduk di meja dengan rezim yang mengebom rumah sakit dan meneteskan gas klorin lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan bertindak dengan impunitas?,” kesal John Kerry.
”Apakah kita seharusnya duduk di sana dan melakukan pembicaraan bahagia di Jenewa ketika Anda mendaftar untuk gencatan senjata dan Anda tidak mematuhi itu? Apa jenis kredibilitas yang Anda miliki?,” tanya Kerry lagi.
”Ini bukan lelucon!,” seru Kerry, mendesak semua untuk menghentikan permainan kata.
AS sendiri juga tidak luput kecaman keras setelah jet-jet tempur koalisi yang dia pimpin menewaskan lebih dari 60 tentra Suriah dalam serangan yang dianggap Pentagon sebagai “kecelakaan”.
Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull, kepada Sky News, mengatakan memanasnya ketegangan antara Rusia dan AS telah menyebabkan ambang "perang dingin".
Dia mengakui PBB telah gagal dalam tanggung jawabnya untuk melindungi Suriah. ”Kita harus menilai tindakan politik dengan hasil mereka,” ujar Turnbull. ”Semua resolusi, semua upaya, telah gagal menghasilkan penyelesaian yang kita butuhkan di Suriah.”
”Skala tragedi di Suriah begitu besar, konsekuensi begitu jauh dan dampak pada jutaan orang begitu tragis bahwa resolusi harus dicapai,” imbuh PM Australia ini.
Meski tidak menunjuk langsung Rusia, Kerry meluapkan emosinya pada Lavrov atas pengboman terhadap konvoi bantuan di Suriah saat gencatan senjata berlangsung. Militer Rusia sendiri telah merilis video, bahwa serangan itu diduga dilakukan drone predator milik koalisi internasional yang dipimpin AS.
Kerry blak-blakan meragukan komitmen Rusia dan rezim Suriah untuk menjalankan kewajiban gencatan senjata di Suriah.
Sebelum Kerry emosi, Lavrov terlebih dahulu berbicara di hadapan 15 anggota Dewan Keamanan PBB, bahwa semua pihak harus menahan diri. ”Salah satu kebutuhan untuk menahan diri dari naluri emosional, dari bergegas menuju mikrofon dan segera mengomentari sesuatu hal. Penyelidikan harus dilakukan (atas serangan konvoi bantuan),” ujar Lavrov, pada Rabu waktu New York, yang dikutip Reuters, Kamis (22/9/2016).
Ucapan Menlu Rusia ini disambut sinis John Kerry. Menurut Kerry, mendengarkan Lavrov membuatnya merasa seperti tinggal di sebuah “dunia paralel”. Kerry merasa janji-janji Rusia dan rezim Suriah untuk mematuhi gencatan senjata telah rusak dan didasari kebohongan.
”Seharusnya kita semua ingin tujuan yang sama,” kata Kerry dengan nada tinggi. ”Saya pernah mendengar itu lagi dan lagi. Semua orang duduk di sana dan mengatakan kita ingin Suriah bersatu, sekuler, menghormati hak-hak semua orang, di mana rakyat Suriah dapat memilih kepemimpinan mereka. Tapi kami membuktikan bahwa tidak ada kemampuan dari kita untuk bisa ke meja (perundingan) dan memiliki pembicaraan serta mewujudkannya."
Kerry menyalahkan Rusia yang terlalu membela rezim Suriah karena terus mengabaikan perjanjian gencatan senjata yang dicapai di Jenewa dua minggu yang lalu.
”Bagaimana orang bisa duduk di meja dengan rezim yang mengebom rumah sakit dan meneteskan gas klorin lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan bertindak dengan impunitas?,” kesal John Kerry.
”Apakah kita seharusnya duduk di sana dan melakukan pembicaraan bahagia di Jenewa ketika Anda mendaftar untuk gencatan senjata dan Anda tidak mematuhi itu? Apa jenis kredibilitas yang Anda miliki?,” tanya Kerry lagi.
”Ini bukan lelucon!,” seru Kerry, mendesak semua untuk menghentikan permainan kata.
AS sendiri juga tidak luput kecaman keras setelah jet-jet tempur koalisi yang dia pimpin menewaskan lebih dari 60 tentra Suriah dalam serangan yang dianggap Pentagon sebagai “kecelakaan”.
Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull, kepada Sky News, mengatakan memanasnya ketegangan antara Rusia dan AS telah menyebabkan ambang "perang dingin".
Dia mengakui PBB telah gagal dalam tanggung jawabnya untuk melindungi Suriah. ”Kita harus menilai tindakan politik dengan hasil mereka,” ujar Turnbull. ”Semua resolusi, semua upaya, telah gagal menghasilkan penyelesaian yang kita butuhkan di Suriah.”
”Skala tragedi di Suriah begitu besar, konsekuensi begitu jauh dan dampak pada jutaan orang begitu tragis bahwa resolusi harus dicapai,” imbuh PM Australia ini.
(mas)