Protes Perkosaan di Kampus Afsel, Para Mahasiswi Demo Topless
A
A
A
GRAHAMSTOWN - Para mahasiswi di Universitas Rhodes, di Grahamstown, Afrika Selatan (Afsel) demo telanjang dada atau topless untuk memprotes tindakan pemerkosaan di kampus yang mereka sebut telah “membudaya”.
Demo yang dimulai sejak hari Senin di kampus itu terjadi setelah pihak kampus mengabaikan keluhan mereka terkait tindakan pemerkosaan di universitas.
Polisi turun tangan untuk membubarkan demonstran dengan menggunakan semprotan merica dan pistol listrik.
Demo itu juga dipicu bocornya daftar para terduga pemerkosa di media sosial pada hari Minggu. Mereka sebenarnya sudah melaporkan tindakan pemerkosaan di kampus kepada pihak universitas dan polisi.
Namun, para mahasiswi menjadi marah setelah pihak universitas tidak merespons laporan mereka. Demonstran menuntut pihak universitas mengambil tindakan untuk mengakhiri budaya pemerkosaan di kampus.
Mereka juga menuntut universitas mengeluarkan 11 terduga pemerkosa di kampus dan mengubah kebijakannya tentang bagaimana seharusnya korban pemerkosaan diperlakukan.
Pada Selasa sore, para mahasiswi kembali demo dengan menari topless. Beberapa dari mereka menuliskan tulisan berbunyi;”ini milikku” di bagian dada mereka.
Demo terus berlanjut pada hari Rabu, di mana lebih dari 200 mahasiswa dan mahasiswi diserang dengan peluru karet, semprotan merica dan granat setrum oleh polisi yang mencoba untuk membubarkan massa.
Polisi mengabaikan permintaan pihak rektorat untuk berhenti menyerang para mahasiswa dan mahasiswi.
Polisi Eastern Cape telah menangkap lima demonstran selama protes. Mereka kemudian dibebaskan tanpa jaminan.
Menurut Naledi Mashishi dari Dewan Perwakilan Mahasiswa, lima mahasiswa telah ditangkap dan satu masuk rumah sakit setelah polisi menembakkan granat kejut dan peluru karet terhadap mereka.
Menurutnya, mahasiswa dan mahasiswi menolak berhenti demo.”Jika mereka yakin tidak ada pengunjuk rasa yang akan menghadapi tindakan keras atau dihukum karena berpartisipasi dalam protes,” katanya, seperti dikutip dari Times Live, Jumat (22/4/2016).
Para dosen juga ikut telah bergabung dalam demonstrasi. “Kami memutuskan untuk bergabung dengan aksi mogok mahasiswa karena kebrutalan polisi,” kata pihak Serikat Pekerja Pendidikan Nasional dan Kesehatan.
”Kami tidak bisa menonton anak-anak kita yang diperlakukan dengan cara seperti kemarin, jadi kami mengambil keputusan, bahwa itu sudah terlalu banyak.”
Demo yang dimulai sejak hari Senin di kampus itu terjadi setelah pihak kampus mengabaikan keluhan mereka terkait tindakan pemerkosaan di universitas.
Polisi turun tangan untuk membubarkan demonstran dengan menggunakan semprotan merica dan pistol listrik.
Demo itu juga dipicu bocornya daftar para terduga pemerkosa di media sosial pada hari Minggu. Mereka sebenarnya sudah melaporkan tindakan pemerkosaan di kampus kepada pihak universitas dan polisi.
Namun, para mahasiswi menjadi marah setelah pihak universitas tidak merespons laporan mereka. Demonstran menuntut pihak universitas mengambil tindakan untuk mengakhiri budaya pemerkosaan di kampus.
Mereka juga menuntut universitas mengeluarkan 11 terduga pemerkosa di kampus dan mengubah kebijakannya tentang bagaimana seharusnya korban pemerkosaan diperlakukan.
Pada Selasa sore, para mahasiswi kembali demo dengan menari topless. Beberapa dari mereka menuliskan tulisan berbunyi;”ini milikku” di bagian dada mereka.
Demo terus berlanjut pada hari Rabu, di mana lebih dari 200 mahasiswa dan mahasiswi diserang dengan peluru karet, semprotan merica dan granat setrum oleh polisi yang mencoba untuk membubarkan massa.
Polisi mengabaikan permintaan pihak rektorat untuk berhenti menyerang para mahasiswa dan mahasiswi.
Polisi Eastern Cape telah menangkap lima demonstran selama protes. Mereka kemudian dibebaskan tanpa jaminan.
Menurut Naledi Mashishi dari Dewan Perwakilan Mahasiswa, lima mahasiswa telah ditangkap dan satu masuk rumah sakit setelah polisi menembakkan granat kejut dan peluru karet terhadap mereka.
Menurutnya, mahasiswa dan mahasiswi menolak berhenti demo.”Jika mereka yakin tidak ada pengunjuk rasa yang akan menghadapi tindakan keras atau dihukum karena berpartisipasi dalam protes,” katanya, seperti dikutip dari Times Live, Jumat (22/4/2016).
Para dosen juga ikut telah bergabung dalam demonstrasi. “Kami memutuskan untuk bergabung dengan aksi mogok mahasiswa karena kebrutalan polisi,” kata pihak Serikat Pekerja Pendidikan Nasional dan Kesehatan.
”Kami tidak bisa menonton anak-anak kita yang diperlakukan dengan cara seperti kemarin, jadi kami mengambil keputusan, bahwa itu sudah terlalu banyak.”
(mas)