Rusia dan Turki Ribut, NATO Isyaratkan Tolak Bela Ankara
A
A
A
BERLIN - Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengisyaratkan, aliansi tidak akan mendukung Turki yang terlibat konflik dengan Rusia di Suriah.
NATO hanya akan menjalankan pasal 5 perjanjian aliansi, di mana NATO bersedia turun tangan jika anggotanya diserang oleh negara lain. Namun, dalam kasus konflik Turki dan Rusia pihak Ankara yang dianggap memprovokasi.
Pada November 2015 lalu, Turki menembak jatuh sebuah pesawat jet pengebom Rusia yang terbang melalui wilayah udara Suriah. Banyak pihak takut bahwa insiden itu memicu perang hebat antara Moskow dan Ankara. Hubungan kedua negara sampai saat ini tetap “dingin”.
Turki juga mengerahkan pasukan daratnya di dekat perbatasan Suriah. Bahkan, rezim Pemerintah Presiden Bashar Al-Assad, sudah menuduh Turki meluncurkan serangan yang dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan Suriah. Tindakan Turki itu juga dikecam Rusia yang merupakan sekutu Suriah.
”Angkatan bersenjata dari dua negara (Turki dan Suriah), keduanya aktif dalam pertempuran sengit di perbatasan Turki-Suriah dalam beberapa kasus, hanya beberapa kilometer dari satu sama lain,”kata seorang pejabat NATO kepada Der Spiegel.
Para pemimpin Eropa sudah menegaskan bahwa mereka tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam perang yang akan dibuat oleh Turki.
”NATO tidak bisa membiarkan dirinya ditarik ke eskalasi militer dengan Rusia sebagai akibat dari ketegangan baru antara Rusia dan Turki,” kata Menteri Luar Negeri Luksemburg; Jean Asselborn kepada Der Spiegel.
“Pasal 5, menekankan bahwa jaminan hanya berlaku ketika negara anggota jelas diserang,” lanjut Asselborn.
Seorang diplomat Jerman yang berbicara dalam kondisi anonim, juga setuju bahwa NATO tidak perlu terlibat dalam konflik Turki dan Rusia. ”Kami tidak akan membayar harga untuk perang yang dimulai oleh orang Turki,” kata diplomat Berlin itu.
Sekjen NATO, Jens Stolterberg pernah memperingatkan Turki untuk menghindari insiden dengan Rusia. Peringatan itu disampaikan sesaat setelah Turki menembak jatuh pesawat jet pengebom Rusia yang menjalankan misi tempur di Suriah.
”Kita harus menghindari situasi itu, insiden, kecelakaan lepas kendali,” kata Stoltenberg kala itu. ”Saya pikir saya sudah menyatakan dengan sangat jelas bahwa kami menyerukan tenang dan de-eskalasi. Ini adalah situasi yang serius,” ujarnya.
Pada hari Jumat kemarin, Presiden Prancis, Francois Hollande, juga menekankan perlunya untuk mencegah konflik antara Moskow dan Ankara. ”Ada risiko perang antara Turki dan Rusia," katanya dalam sebuah wawancara dengan radio Prancis, Inter.
Rusia sendiri mulai jengkel dengan tindakan militer Turki di perbatasan Suriah-Turki. Rusia telah menyerukan digelar pertemuan Dewan Keamanan PBB untuk mengatasi keprihatinan atas meningkatnya ketegangan di perbatasan itu.
”Situasi ini menjadi lebih tegang karena meningkatnya ketegangan di perbatasan Suriah-Turki dan Turki menyatakan rencananya untuk mengirim pasukan ke Suriah utara,” bunyi pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Rusia, seperti dikutip Sputniknews, Sabtu (20/2/2016).
NATO hanya akan menjalankan pasal 5 perjanjian aliansi, di mana NATO bersedia turun tangan jika anggotanya diserang oleh negara lain. Namun, dalam kasus konflik Turki dan Rusia pihak Ankara yang dianggap memprovokasi.
Pada November 2015 lalu, Turki menembak jatuh sebuah pesawat jet pengebom Rusia yang terbang melalui wilayah udara Suriah. Banyak pihak takut bahwa insiden itu memicu perang hebat antara Moskow dan Ankara. Hubungan kedua negara sampai saat ini tetap “dingin”.
Turki juga mengerahkan pasukan daratnya di dekat perbatasan Suriah. Bahkan, rezim Pemerintah Presiden Bashar Al-Assad, sudah menuduh Turki meluncurkan serangan yang dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan Suriah. Tindakan Turki itu juga dikecam Rusia yang merupakan sekutu Suriah.
”Angkatan bersenjata dari dua negara (Turki dan Suriah), keduanya aktif dalam pertempuran sengit di perbatasan Turki-Suriah dalam beberapa kasus, hanya beberapa kilometer dari satu sama lain,”kata seorang pejabat NATO kepada Der Spiegel.
Para pemimpin Eropa sudah menegaskan bahwa mereka tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam perang yang akan dibuat oleh Turki.
”NATO tidak bisa membiarkan dirinya ditarik ke eskalasi militer dengan Rusia sebagai akibat dari ketegangan baru antara Rusia dan Turki,” kata Menteri Luar Negeri Luksemburg; Jean Asselborn kepada Der Spiegel.
“Pasal 5, menekankan bahwa jaminan hanya berlaku ketika negara anggota jelas diserang,” lanjut Asselborn.
Seorang diplomat Jerman yang berbicara dalam kondisi anonim, juga setuju bahwa NATO tidak perlu terlibat dalam konflik Turki dan Rusia. ”Kami tidak akan membayar harga untuk perang yang dimulai oleh orang Turki,” kata diplomat Berlin itu.
Sekjen NATO, Jens Stolterberg pernah memperingatkan Turki untuk menghindari insiden dengan Rusia. Peringatan itu disampaikan sesaat setelah Turki menembak jatuh pesawat jet pengebom Rusia yang menjalankan misi tempur di Suriah.
”Kita harus menghindari situasi itu, insiden, kecelakaan lepas kendali,” kata Stoltenberg kala itu. ”Saya pikir saya sudah menyatakan dengan sangat jelas bahwa kami menyerukan tenang dan de-eskalasi. Ini adalah situasi yang serius,” ujarnya.
Pada hari Jumat kemarin, Presiden Prancis, Francois Hollande, juga menekankan perlunya untuk mencegah konflik antara Moskow dan Ankara. ”Ada risiko perang antara Turki dan Rusia," katanya dalam sebuah wawancara dengan radio Prancis, Inter.
Rusia sendiri mulai jengkel dengan tindakan militer Turki di perbatasan Suriah-Turki. Rusia telah menyerukan digelar pertemuan Dewan Keamanan PBB untuk mengatasi keprihatinan atas meningkatnya ketegangan di perbatasan itu.
”Situasi ini menjadi lebih tegang karena meningkatnya ketegangan di perbatasan Suriah-Turki dan Turki menyatakan rencananya untuk mengirim pasukan ke Suriah utara,” bunyi pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Rusia, seperti dikutip Sputniknews, Sabtu (20/2/2016).
(mas)