Mengapa Arab Saudi Disebut Negara Otoriter?
loading...
A
A
A
RIYADH - Arab Saudi hingga saat ini dikenal sebagai negara yang menganut sistem otoriter dalam menjalankan pemerintahannya.
Otoriter merupakan sistem pemerintahan yang membatasi pergerakan dari setiap warga negaranya.
Sistem tersebut tentu sangat berbeda dengan negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Negara yang menganut sistem demokrasi tentu selalu mengedepankan kepentingan rakyatnya, sehingga tidak ada batasan apapun dari pemerintah.
Arab Saudi menjadi negara otoriter karena ada banyak hal yang telah melatar belakanginya, terutama mengenai kondisi negara dan bentuknya.
Berikut alasan mengapa Arab Saudi disebut sebagai negara otoriter.
1. Bentuk Pemerintahan dan Strukturnya
Dikutip dari situs Saudi Embassy, bentuk pemerintahan Arab Saudi adalah monarki atau berbentuk kerajaan yang berlandaskan agama Islam.
Dengan bentuk pemerintahan tersebut, maka penekanan kekuasaan hanya terpaku pada satu komando yakni seorang Raja, termasuk dalam elemen kemiliterannya.
Namun seorang Raja tentu tidak sendirian dalam menjalankan pemerintahannya, ada Putra Mahkota dan Dewan Menteri yang membantunya.
Putra Mahkota berada di urutan kedua setelah Raja dan Kementerian di urutan ketiga yang terbagi menjadi 22 bidang dalam pemerintahannya.
Dengan struktur pemerintahan tersebut, Raja dan para menterinya menguasai beberapa wilayah di Timur Tengah seperti Jeddah, Mekkah, Madinah, Hofuf, Taif, Dammam, Buraidah, Al-Khobar, Tabuk, Jubail, Dhahran dan kekuasaannya terpusat di kota Riyadh.
2. Pembatasan Hak Masyarakat Sipil
Berangkat dari sistem pemerintahan yang berlandasan agama Islam ada banyak aturan yang membatasi agama untuk nonmuslim di sana.
Pembatasan itu mulai dari mengimpor barang dan bea cukai, alkohol, aturan berperilaku, aturan berbusana, sistem hukum dan proses hukum serta larangan praktik keagamaan selain muslim.
3. Kepala Pemerintahan yang Dipilih Sendiri Secara Turun-Temurun
Kepala pemerintahan dari sistem kerajaan tentu berbeda dengan sistem demokrasi. Pada sistem demokrasi pemilihan kepala pemerintahan dilakukan dengan mengedepankan suara rakyat yakni dengan pemilihan umum.
Adapun sistem kerajaan hanya melanjutkan keturunan keluarganya yakni seperti mengangkat Putra Mahkota menjadi pemimpin baru.
4. Waktu Jabatan Pemimpin Tidak ditentukan
Masa jabatan kepala pemerintahan Saudi tentu tidak ditentukan karena menganut sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, masa jabatan seorang Raja tidak ada batasnya atau bisa dikatakan seumur hidup.
Sebagai contoh Raja Fahd bin Abdul Aziz yang menjabat pada Juni 1982 dan menjalankan kepemimpinannya hingga akhir hidupnya yakni pada tahun 1995 karena terserang stroke.
Meskipun menggunakan sistem pemerintahan secara otoriter, banyak masyarakat yang merasa disejahterakan oleh pemerintahan Saudi.
Hal ini diketahui dari hasil survei yang dilakukan oleh tim dengan lembaga pendidikan di wilayah Timur Tengah.
Survei tersebut dilakukan The Arab Barometer melalui kemitraan Universitas Princeton Amerika Serikat (AS), dan beberapa perguruan tinggi serta lembaga survei di Timur Tengah dan juga Afrika Utara. Survei tersebut berlangsung dari akhir 2021 hingga musim semi (Juni) 2022.
Dikutip dari situs Politics Princeton, penelitiannya telah melibatkan sekitar 23 ribu responden Arab Saudi, Yordania, Maroko, Lebanon, Mesir, Tunisia, Mauritania Sudan, Irak, Libya, dan wilayah Palestina.
Menurut sebagian besar responden, kesejahteraan lebih buruk terjadi di negara dengan sistem demokrasi.
Otoriter merupakan sistem pemerintahan yang membatasi pergerakan dari setiap warga negaranya.
Sistem tersebut tentu sangat berbeda dengan negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Negara yang menganut sistem demokrasi tentu selalu mengedepankan kepentingan rakyatnya, sehingga tidak ada batasan apapun dari pemerintah.
Arab Saudi menjadi negara otoriter karena ada banyak hal yang telah melatar belakanginya, terutama mengenai kondisi negara dan bentuknya.
Berikut alasan mengapa Arab Saudi disebut sebagai negara otoriter.
1. Bentuk Pemerintahan dan Strukturnya
Dikutip dari situs Saudi Embassy, bentuk pemerintahan Arab Saudi adalah monarki atau berbentuk kerajaan yang berlandaskan agama Islam.
Dengan bentuk pemerintahan tersebut, maka penekanan kekuasaan hanya terpaku pada satu komando yakni seorang Raja, termasuk dalam elemen kemiliterannya.
Namun seorang Raja tentu tidak sendirian dalam menjalankan pemerintahannya, ada Putra Mahkota dan Dewan Menteri yang membantunya.
Putra Mahkota berada di urutan kedua setelah Raja dan Kementerian di urutan ketiga yang terbagi menjadi 22 bidang dalam pemerintahannya.
Dengan struktur pemerintahan tersebut, Raja dan para menterinya menguasai beberapa wilayah di Timur Tengah seperti Jeddah, Mekkah, Madinah, Hofuf, Taif, Dammam, Buraidah, Al-Khobar, Tabuk, Jubail, Dhahran dan kekuasaannya terpusat di kota Riyadh.
2. Pembatasan Hak Masyarakat Sipil
Berangkat dari sistem pemerintahan yang berlandasan agama Islam ada banyak aturan yang membatasi agama untuk nonmuslim di sana.
Pembatasan itu mulai dari mengimpor barang dan bea cukai, alkohol, aturan berperilaku, aturan berbusana, sistem hukum dan proses hukum serta larangan praktik keagamaan selain muslim.
3. Kepala Pemerintahan yang Dipilih Sendiri Secara Turun-Temurun
Kepala pemerintahan dari sistem kerajaan tentu berbeda dengan sistem demokrasi. Pada sistem demokrasi pemilihan kepala pemerintahan dilakukan dengan mengedepankan suara rakyat yakni dengan pemilihan umum.
Adapun sistem kerajaan hanya melanjutkan keturunan keluarganya yakni seperti mengangkat Putra Mahkota menjadi pemimpin baru.
4. Waktu Jabatan Pemimpin Tidak ditentukan
Masa jabatan kepala pemerintahan Saudi tentu tidak ditentukan karena menganut sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, masa jabatan seorang Raja tidak ada batasnya atau bisa dikatakan seumur hidup.
Sebagai contoh Raja Fahd bin Abdul Aziz yang menjabat pada Juni 1982 dan menjalankan kepemimpinannya hingga akhir hidupnya yakni pada tahun 1995 karena terserang stroke.
Meskipun menggunakan sistem pemerintahan secara otoriter, banyak masyarakat yang merasa disejahterakan oleh pemerintahan Saudi.
Hal ini diketahui dari hasil survei yang dilakukan oleh tim dengan lembaga pendidikan di wilayah Timur Tengah.
Survei tersebut dilakukan The Arab Barometer melalui kemitraan Universitas Princeton Amerika Serikat (AS), dan beberapa perguruan tinggi serta lembaga survei di Timur Tengah dan juga Afrika Utara. Survei tersebut berlangsung dari akhir 2021 hingga musim semi (Juni) 2022.
Dikutip dari situs Politics Princeton, penelitiannya telah melibatkan sekitar 23 ribu responden Arab Saudi, Yordania, Maroko, Lebanon, Mesir, Tunisia, Mauritania Sudan, Irak, Libya, dan wilayah Palestina.
Menurut sebagian besar responden, kesejahteraan lebih buruk terjadi di negara dengan sistem demokrasi.
(sya)