Taiwan Siapkan Skenario Terburuk Hadapi China
loading...
A
A
A
TAIPEI - Invasi Rusia ke Ukraina menjadi pelajaran berharga bagi Taiwan yang terancam oleh potensi serangan dari China.
Taipei terus mempersiapkan diri dengan melipatgandakan anggaran pertahanan militer dan memperkuat dukungan asing, khususnya dari Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Taiwan Joseph Wu mengakui agresi militer Rusia di Ukraina menjadi pelajaran penting bagi negaranya, terutama dalam meningkatkan pertahanan diri.
Dia tidak menampik ancaman China terhadap Taiwan merupakan ancaman nyata yang memerlukan strategi khusus. Taiwan telah mempersiapkan kemungkinan terburuk termasuk jika China benar-benar menyerang.
Hanya saja, Wu percaya posisi Taiwan berbeda dengan Ukraina. Selain mendapat dukungan penuh dari AS dan sekutunya, Taiwan memiliki daya tawar tinggi dalam percaturan politik internasional.
Di samping itu, peran Taiwan sangat besar dalam menghidupkan denyut nadi ekonomi masyarakat dunia.
Suasana jalanan di Kota Taipei normal dan kondusif. Masyarakat Taiwan beraktivitas seperti biasa. Mereka sudah terbiasa hidup dalam ancaman invasi China selama tujuh dekade. Foto/koran sindo/dwi sasongko
Peran ekonomi Taiwan tersebut juga diperhitungkan China. Sampai saat ini, Taiwan telah menjadi salah satu pemimpin pasar semikonduktor di dunia.
Menurut Wu, Taiwan menguasai sekitar 65% pasokan semikonduktor dunia yang diperlukan untuk mendukung keberlangsungan banyak produk industri.
Perlu diketahui, semikonduktor merupakan komponen utama yang menjadi kunci perangkat keras komputer dan gadget yang digunakan di berbagai bidang, baik ponsel pintar ataupun militer.
Tanpa semikonduktor, produk tersebut tidak akan berfungsi. Saat ini, banyak negara berlomba menyaingi Taiwan.
Atas alasan itu, Taiwan optimistis China tidak akan gegabah. “Jika Xi Jinping (Presiden China) menyerang (Taiwan), hal itu akan menjadi bencana bagi dunia,’’ ungkap Wu kepada wartawan dalam program Ministry of Foreign Affairs Republic of China (Taiwan), Tentative Program for International Press Group on Taiwan’s Political and Economic Development III di Taipei pada 13-19 November 2022.
Program ini diikuti sedikitnya 32 wartawan dari 24 negara di seluruh dunia, termasuk KORAN SINDO.
Senada dengan Wu, Wakil Menteri Ekonomi (Wamenko) Taiwan Chern-Chyi Chen mengungkapkan China akan berpikir tujuh kali sebelum melakukan invasi militer.
Pasalnya, jika Taiwan hancur, banyak industri di berbagai negara juga akan hancur, termasuk di China. Hal itu akan menjadi pengorbanan besar.
"Jadi, kalau Taiwan diserang, seluruh industri semikonduktor akan hancur. Hal itu otomatis akan mengganggu jalannya industri di banyak negara di dunia,” jelas Chen.
Saat ini, produk semikonduktor Taiwan benar-benar telah memegang kendali perkembangan penting dalam teknologi aplikasi masa depan.
Chen menambahkan dominasi di bidang semikonduktor membantu Taipei terhindar dari agresi militer China.
"China adalah mitra dagang utama kami. Sekitar 40% ekspor kami ditujukan menuju China, 90% di antaranya semikonduktor untuk mendukung industri lokal. Jadi ada saling ketergantungan,’’ jelasnya.
Selat Taiwan Bersitegang
Sejak Rusia melakukan invasi menuju Ukraina pada Februari, situasi di Semenanjung Taiwan sempat memanas.
Presiden China Xi Jinping berulang kali menegaskan Taiwan sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Beijing dan mendesak pemerintah Taipei untuk tunduk dan taat terhadap kebijakan satu China.
Xi mengatakan pemerintah China juga tidak segan menggunakan kekuatan militer untuk menundukkan Taiwan jika memang diperlukan.
Saat itu, banyak para ahli hubungan internasional yang khawatir Xi akan mengikuti langkah Presiden Rusia Vladimir Putin dalam meredam demokrasi di Taiwan.
Situasi di kawasan semakin memanas setelah AS mengizinkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Nancy Pelosi melakukan kunjungan politik ke Taiwan pada pertengahan Agustus lalu.
Kedatangan Pelosi memantik amarah China yang menyuarakan protes dengan menggelar latihan militer secara intensif.
Dengan berseliwerannya pesawat tempur dan berbarisnya kapal perang China di Selat Taiwan, Pemerintah Taiwan mengusulkan kenaikan anggaran pertahanan sebanyak 13,9% menjadi USD19 miliar (sekitar Rp282 triliun) pada tahun 2023. Dana itu salah satunya akan dipakai untuk membeli jet tempur.
Sekalipun China bersikukuh, Taiwan bersikeras dengan kemerdekaannya yang diraih sejak 1949. Taipei melihat dirinya sebagai negara yang terbebas dari China dengan Konstitusi sendiri dan dapat memilih presiden secara demokratis. Bahkan, Taiwan membangun hubungan diplomatik dengan 14 negara di dunia.
Namun, China menolak melepaskan Taiwan selama tujuh dekade terakhir dan meminta negara di dunia hanya mengakui Beijing.
Hal itu diikuti hampir semua negara, termasuk AS. Hanya saja, AS tetap berkomitmen melindungi demokrasi yang dijunjung Taiwan agar tidak diganggu China melalui cara apapun.
Situasi di Selat Taiwan mulai mereda setelah Presiden AS Joe Biden dan Xi melakukan pertemuan bilateral di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Twenty (G20) di Bali, Indonesia, pada 14 November. Biden menegaskan pihaknya tidak melihat China akan melakukan invasi militer menuju Taiwan.
Sesuai pantauan KORAN SINDO selama satu pekan, kondisi di Taipei aman dan kondusif. Masyarakat sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran akan adanya serangan dari China.
Aktivitas berjalan normal. Menara 101 Taipei, salah satu gedung tertinggi di dunia, juga ramai dikunjungi turis lokal dan global.
Banyak pengunjung yang berlalu lalang di pinggir jalan perkotaan tanpa diliputi rasa takut atau cemas.
Personil tentara juga tidak terlihat sejelas seperti di kota-kota Timur Tengah yang secara kasat mata membawa pesenjataan lengkap di lokasi strategis. Ancaman serangan ini terkesan hanya sebagai ‘’gimmick’’.
Persiapan Perang Asimetris
Wu mengatakan saat ini Taiwan sedang menyiapkan strategi perang asimetris dengan China. Taipei terus meningkatkan kapabilitas dan kekuatan pertahanan melalui peningkatan anggaran militer, modernisasi alutsista, hingga jumlah tentara. “Kami sedang mempersiapkan pertahanan negara,” kata Wu.
Di atas kertas, kekuatan militer antara Taiwan dan China juga timpang. Berdasarkan data The Military Balance 2021 dari lembaga penelitian internasional Inggris IISS, total tentara China yang masih aktif untuk berperang diperkirakan mencapai 2.035.000 orang, sementara Taiwan hanya sebanyak 163.000 orang.
Rinciannya untuk China terdiri atas 965.000 tentara Angkatan Darat (AD), 260.000 Angkatan Laut (AL), 395.000 Angkatan Udara (AU), 120.000 Angkatan rudal strategis, 145.000 Angkatan dukungan strategis, dan 150.000 Angkatan lain, sedangkan Taiwan punya 88.000 tentara AD, 40.000 AL, dan 35.000 AU.
Wu menyadari ketimpangan kekuatan militer ini. Namun, dia mengatakan pertahanan negara adalah kewajiban seluruh rakyat.
“Tidak ada yang dapat membantu Taiwan selain Taiwan itu sendiri. Kami memiliki pasukan cadangan yang sudah diatur sedemikian rupa untuk mengatasi tantangan ini,” jelas Wu.
Tsung-Han Wu, Asisten Peneliti di Divisi Keamanan dan Simulasi Siber dari Institute for National Defence and Research juga mengungkapkan Taiwan tidak dapat hanya mengandalkan AS.
Taipei perlu memperbanyak dukungan dari negara sahabat seperti Jepang, Korea Selatan (Korsel), Filipina, Vietnam dan banyak negara lainnya.
"Kami berada dalam situasi diplomatik yang sangat sulit di mana kami membutuhkan banyak dukungan. Saya berharap AS dapat memperluas jaringan dukungan dengan negara-negara lain, bukan hanya dalam hubungan diplomatik semata, tetapi juga dalam bidang pertahanan,” ungkap Tsung-Han Wu.
Taipei terus mempersiapkan diri dengan melipatgandakan anggaran pertahanan militer dan memperkuat dukungan asing, khususnya dari Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Taiwan Joseph Wu mengakui agresi militer Rusia di Ukraina menjadi pelajaran penting bagi negaranya, terutama dalam meningkatkan pertahanan diri.
Dia tidak menampik ancaman China terhadap Taiwan merupakan ancaman nyata yang memerlukan strategi khusus. Taiwan telah mempersiapkan kemungkinan terburuk termasuk jika China benar-benar menyerang.
Hanya saja, Wu percaya posisi Taiwan berbeda dengan Ukraina. Selain mendapat dukungan penuh dari AS dan sekutunya, Taiwan memiliki daya tawar tinggi dalam percaturan politik internasional.
Di samping itu, peran Taiwan sangat besar dalam menghidupkan denyut nadi ekonomi masyarakat dunia.
Suasana jalanan di Kota Taipei normal dan kondusif. Masyarakat Taiwan beraktivitas seperti biasa. Mereka sudah terbiasa hidup dalam ancaman invasi China selama tujuh dekade. Foto/koran sindo/dwi sasongko
Peran ekonomi Taiwan tersebut juga diperhitungkan China. Sampai saat ini, Taiwan telah menjadi salah satu pemimpin pasar semikonduktor di dunia.
Menurut Wu, Taiwan menguasai sekitar 65% pasokan semikonduktor dunia yang diperlukan untuk mendukung keberlangsungan banyak produk industri.
Perlu diketahui, semikonduktor merupakan komponen utama yang menjadi kunci perangkat keras komputer dan gadget yang digunakan di berbagai bidang, baik ponsel pintar ataupun militer.
Tanpa semikonduktor, produk tersebut tidak akan berfungsi. Saat ini, banyak negara berlomba menyaingi Taiwan.
Atas alasan itu, Taiwan optimistis China tidak akan gegabah. “Jika Xi Jinping (Presiden China) menyerang (Taiwan), hal itu akan menjadi bencana bagi dunia,’’ ungkap Wu kepada wartawan dalam program Ministry of Foreign Affairs Republic of China (Taiwan), Tentative Program for International Press Group on Taiwan’s Political and Economic Development III di Taipei pada 13-19 November 2022.
Program ini diikuti sedikitnya 32 wartawan dari 24 negara di seluruh dunia, termasuk KORAN SINDO.
Senada dengan Wu, Wakil Menteri Ekonomi (Wamenko) Taiwan Chern-Chyi Chen mengungkapkan China akan berpikir tujuh kali sebelum melakukan invasi militer.
Pasalnya, jika Taiwan hancur, banyak industri di berbagai negara juga akan hancur, termasuk di China. Hal itu akan menjadi pengorbanan besar.
"Jadi, kalau Taiwan diserang, seluruh industri semikonduktor akan hancur. Hal itu otomatis akan mengganggu jalannya industri di banyak negara di dunia,” jelas Chen.
Saat ini, produk semikonduktor Taiwan benar-benar telah memegang kendali perkembangan penting dalam teknologi aplikasi masa depan.
Chen menambahkan dominasi di bidang semikonduktor membantu Taipei terhindar dari agresi militer China.
"China adalah mitra dagang utama kami. Sekitar 40% ekspor kami ditujukan menuju China, 90% di antaranya semikonduktor untuk mendukung industri lokal. Jadi ada saling ketergantungan,’’ jelasnya.
Selat Taiwan Bersitegang
Sejak Rusia melakukan invasi menuju Ukraina pada Februari, situasi di Semenanjung Taiwan sempat memanas.
Presiden China Xi Jinping berulang kali menegaskan Taiwan sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Beijing dan mendesak pemerintah Taipei untuk tunduk dan taat terhadap kebijakan satu China.
Xi mengatakan pemerintah China juga tidak segan menggunakan kekuatan militer untuk menundukkan Taiwan jika memang diperlukan.
Saat itu, banyak para ahli hubungan internasional yang khawatir Xi akan mengikuti langkah Presiden Rusia Vladimir Putin dalam meredam demokrasi di Taiwan.
Situasi di kawasan semakin memanas setelah AS mengizinkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Nancy Pelosi melakukan kunjungan politik ke Taiwan pada pertengahan Agustus lalu.
Kedatangan Pelosi memantik amarah China yang menyuarakan protes dengan menggelar latihan militer secara intensif.
Dengan berseliwerannya pesawat tempur dan berbarisnya kapal perang China di Selat Taiwan, Pemerintah Taiwan mengusulkan kenaikan anggaran pertahanan sebanyak 13,9% menjadi USD19 miliar (sekitar Rp282 triliun) pada tahun 2023. Dana itu salah satunya akan dipakai untuk membeli jet tempur.
Sekalipun China bersikukuh, Taiwan bersikeras dengan kemerdekaannya yang diraih sejak 1949. Taipei melihat dirinya sebagai negara yang terbebas dari China dengan Konstitusi sendiri dan dapat memilih presiden secara demokratis. Bahkan, Taiwan membangun hubungan diplomatik dengan 14 negara di dunia.
Namun, China menolak melepaskan Taiwan selama tujuh dekade terakhir dan meminta negara di dunia hanya mengakui Beijing.
Hal itu diikuti hampir semua negara, termasuk AS. Hanya saja, AS tetap berkomitmen melindungi demokrasi yang dijunjung Taiwan agar tidak diganggu China melalui cara apapun.
Situasi di Selat Taiwan mulai mereda setelah Presiden AS Joe Biden dan Xi melakukan pertemuan bilateral di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Twenty (G20) di Bali, Indonesia, pada 14 November. Biden menegaskan pihaknya tidak melihat China akan melakukan invasi militer menuju Taiwan.
Sesuai pantauan KORAN SINDO selama satu pekan, kondisi di Taipei aman dan kondusif. Masyarakat sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran akan adanya serangan dari China.
Aktivitas berjalan normal. Menara 101 Taipei, salah satu gedung tertinggi di dunia, juga ramai dikunjungi turis lokal dan global.
Banyak pengunjung yang berlalu lalang di pinggir jalan perkotaan tanpa diliputi rasa takut atau cemas.
Personil tentara juga tidak terlihat sejelas seperti di kota-kota Timur Tengah yang secara kasat mata membawa pesenjataan lengkap di lokasi strategis. Ancaman serangan ini terkesan hanya sebagai ‘’gimmick’’.
Persiapan Perang Asimetris
Wu mengatakan saat ini Taiwan sedang menyiapkan strategi perang asimetris dengan China. Taipei terus meningkatkan kapabilitas dan kekuatan pertahanan melalui peningkatan anggaran militer, modernisasi alutsista, hingga jumlah tentara. “Kami sedang mempersiapkan pertahanan negara,” kata Wu.
Di atas kertas, kekuatan militer antara Taiwan dan China juga timpang. Berdasarkan data The Military Balance 2021 dari lembaga penelitian internasional Inggris IISS, total tentara China yang masih aktif untuk berperang diperkirakan mencapai 2.035.000 orang, sementara Taiwan hanya sebanyak 163.000 orang.
Rinciannya untuk China terdiri atas 965.000 tentara Angkatan Darat (AD), 260.000 Angkatan Laut (AL), 395.000 Angkatan Udara (AU), 120.000 Angkatan rudal strategis, 145.000 Angkatan dukungan strategis, dan 150.000 Angkatan lain, sedangkan Taiwan punya 88.000 tentara AD, 40.000 AL, dan 35.000 AU.
Wu menyadari ketimpangan kekuatan militer ini. Namun, dia mengatakan pertahanan negara adalah kewajiban seluruh rakyat.
“Tidak ada yang dapat membantu Taiwan selain Taiwan itu sendiri. Kami memiliki pasukan cadangan yang sudah diatur sedemikian rupa untuk mengatasi tantangan ini,” jelas Wu.
Tsung-Han Wu, Asisten Peneliti di Divisi Keamanan dan Simulasi Siber dari Institute for National Defence and Research juga mengungkapkan Taiwan tidak dapat hanya mengandalkan AS.
Taipei perlu memperbanyak dukungan dari negara sahabat seperti Jepang, Korea Selatan (Korsel), Filipina, Vietnam dan banyak negara lainnya.
"Kami berada dalam situasi diplomatik yang sangat sulit di mana kami membutuhkan banyak dukungan. Saya berharap AS dapat memperluas jaringan dukungan dengan negara-negara lain, bukan hanya dalam hubungan diplomatik semata, tetapi juga dalam bidang pertahanan,” ungkap Tsung-Han Wu.
(sya)