Presiden Nikaragua Sebut Gereja Katolik Diktator
loading...
A
A
A
MANAGUA - Presiden Nikaragua Daniel Ortega menyebut Gereja Katolik sebagai "kediktatoran yang sempurna" karena tidak mengizinkan anggotanya untuk memilih Paus.
"Di gereja, semuanya dipaksakan. Ini adalah kediktatoran yang sempurna. Ini tirani yang sempurna,” kata Ortega dalam pidato yang disiarkan televisi pada hari Rabu waktu setempat untuk menandai ulang tahun ke-43 pembentukan polisi Nikaragua.
“Jika mereka ingin demokratis, biarkan mereka mulai dengan umat Katolik memilih Paus, Kardinal, Uskup,” imbuhnya seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (29/9/2022).
Gereja di Nikaragua berada di bawah tekanan pemerintah yang meningkat sejak pemimpin berusia 76 tahun itu menuduhnya mendukung protes terhadap pemerintahnya pada 2018. Tindakan keras terhadap para demonstran menewaskan ratusan orang.
Ortega menyatakan protes itu adalah bagian dari plot oposisi yang didukung Amerika Serikat (AS) untuk menggulingkannya dan menuduh para uskup terlibat.
Ortega menyebut uskup dan pastor sebagai "pembunuh" dan "komplotan kudeta" dalam pidatonya, menuduh mereka bekerja atas nama "imperialisme Amerika".
“Saya akan mengatakan kepada Paus, dengan hormat, kepada otoritas Katolik, saya Katolik. Sebagai seorang Kristen, saya tidak merasa terwakili,” ujarnya, merujuk pada “sejarah mengerikan” gereja tersebut.
Ortega mengkritik subjek mulai dari Inkuisisi di Spanyol dan Amerika Selatan hingga pelecehan terhadap anak-anak Pribumi di Kanada.
Ketegangan lama antara Gereja Katolik dan Nikaragua tumbuh pada bulan Maret ketika Managua mengusir duta besar Vatikan untuk negara itu.
Pada bulan Agustus, seorang Uskup yang kritis terhadap pemerintah, Rolando Alvarez, dimasukkan ke dalam tahanan rumah karena apa yang disebut polisi sebagai kegiatan mengganggu stabilitas dan provokatif, yang menarik perhatian dari pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus.
Sedikitnya empat pastor dan dua seminaris juga ditangkap, tetapi polisi tidak merinci dakwaannya.
Paus Fransiskus awal bulan ini menekankan pentingnya “tidak pernah menghentikan dialog” dengan Nikaragua.
“Ada dialog. Kami sedang berbicara dengan pemerintah,” kata Paus.
“Itu tidak berarti bahwa kami menyetujui semua yang dilakukan pemerintah, atau bahwa kami tidak menyetujuinya,” ia menambahkan.
Juga pada hari Rabu, Ortega mengkritik Asisten Menteri Luar Negeri AS Brian Nichols dan pemerintah Chili, di mana Presiden Gabriel Boric baru-baru ini mengkritik presiden Nikaragua karena pelanggaran hak asasi manusia.
Uni Eropa dan AS telah menjatuhkan sanksi terhadap pejabat Nikaragua selama empat tahun terakhir, dengan alasan pelanggaran hak asasi manusia.
Ortega memerintah Nikaragua 1979-1990 setelah penggulingan pemimpin yang didukung AS Anastasio Somoza. Ia kembali berkuasa pada 2007.
Secara terpisah pada hari Rabu, sumber diplomatik mengatakan Menteri Luar Negeri Nikaragua Denis Moncada telah memberi tahu duta besar Uni Eropa untuk Managua, Bettina Muscheidt, tentang pengusirannya, kantor berita Reuters melaporkan.
Muscheidt dipanggil ke kementerian luar negeri di mana dia dinyatakan sebagai "persona non grata" dan disuruh meninggalkan negara itu. Dia tidak lagi diterima di Nikaragua, menurut salah satu sumber diplomatik, yang meminta anonimitas untuk membahas keputusan tersebut.
"Di gereja, semuanya dipaksakan. Ini adalah kediktatoran yang sempurna. Ini tirani yang sempurna,” kata Ortega dalam pidato yang disiarkan televisi pada hari Rabu waktu setempat untuk menandai ulang tahun ke-43 pembentukan polisi Nikaragua.
“Jika mereka ingin demokratis, biarkan mereka mulai dengan umat Katolik memilih Paus, Kardinal, Uskup,” imbuhnya seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (29/9/2022).
Gereja di Nikaragua berada di bawah tekanan pemerintah yang meningkat sejak pemimpin berusia 76 tahun itu menuduhnya mendukung protes terhadap pemerintahnya pada 2018. Tindakan keras terhadap para demonstran menewaskan ratusan orang.
Ortega menyatakan protes itu adalah bagian dari plot oposisi yang didukung Amerika Serikat (AS) untuk menggulingkannya dan menuduh para uskup terlibat.
Ortega menyebut uskup dan pastor sebagai "pembunuh" dan "komplotan kudeta" dalam pidatonya, menuduh mereka bekerja atas nama "imperialisme Amerika".
“Saya akan mengatakan kepada Paus, dengan hormat, kepada otoritas Katolik, saya Katolik. Sebagai seorang Kristen, saya tidak merasa terwakili,” ujarnya, merujuk pada “sejarah mengerikan” gereja tersebut.
Ortega mengkritik subjek mulai dari Inkuisisi di Spanyol dan Amerika Selatan hingga pelecehan terhadap anak-anak Pribumi di Kanada.
Ketegangan lama antara Gereja Katolik dan Nikaragua tumbuh pada bulan Maret ketika Managua mengusir duta besar Vatikan untuk negara itu.
Pada bulan Agustus, seorang Uskup yang kritis terhadap pemerintah, Rolando Alvarez, dimasukkan ke dalam tahanan rumah karena apa yang disebut polisi sebagai kegiatan mengganggu stabilitas dan provokatif, yang menarik perhatian dari pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus.
Sedikitnya empat pastor dan dua seminaris juga ditangkap, tetapi polisi tidak merinci dakwaannya.
Paus Fransiskus awal bulan ini menekankan pentingnya “tidak pernah menghentikan dialog” dengan Nikaragua.
“Ada dialog. Kami sedang berbicara dengan pemerintah,” kata Paus.
“Itu tidak berarti bahwa kami menyetujui semua yang dilakukan pemerintah, atau bahwa kami tidak menyetujuinya,” ia menambahkan.
Juga pada hari Rabu, Ortega mengkritik Asisten Menteri Luar Negeri AS Brian Nichols dan pemerintah Chili, di mana Presiden Gabriel Boric baru-baru ini mengkritik presiden Nikaragua karena pelanggaran hak asasi manusia.
Uni Eropa dan AS telah menjatuhkan sanksi terhadap pejabat Nikaragua selama empat tahun terakhir, dengan alasan pelanggaran hak asasi manusia.
Ortega memerintah Nikaragua 1979-1990 setelah penggulingan pemimpin yang didukung AS Anastasio Somoza. Ia kembali berkuasa pada 2007.
Secara terpisah pada hari Rabu, sumber diplomatik mengatakan Menteri Luar Negeri Nikaragua Denis Moncada telah memberi tahu duta besar Uni Eropa untuk Managua, Bettina Muscheidt, tentang pengusirannya, kantor berita Reuters melaporkan.
Muscheidt dipanggil ke kementerian luar negeri di mana dia dinyatakan sebagai "persona non grata" dan disuruh meninggalkan negara itu. Dia tidak lagi diterima di Nikaragua, menurut salah satu sumber diplomatik, yang meminta anonimitas untuk membahas keputusan tersebut.
(ian)