Kisah Gadis Iran Jadi Algojo untuk Ibu Kandungnya yang Dihukum Gantung

Rabu, 31 Agustus 2022 - 04:38 WIB
loading...
Kisah Gadis Iran Jadi Algojo untuk Ibu Kandungnya yang Dihukum Gantung
Seorang wanita di Iran berdoa sebelum dieksekusi gantung. Di negara ini ada gadis yang jadi algojo untuk ibu kandungnya yang dihukum gantung. Foto/Iran HRM/via The Mirror
A A A
TEHERAN - Seorang gadis Iran menjadi algojo yang mengeksekusi ibu kandungnya. Gadis itu menendang kursi tempat ibunya berdiri dengan tali gantung menjerat lehernya.

Ibu bernama Maryam Karimi itu dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Iran karena membunuh suaminya—seorang pria yang melecehkannya selama bertahun-tahun dan menolak untuk menceraikannya.

Ayahnya yang sekaligus satu-satunya kerabat; Ebrahim, melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini dengan damai tetapi tidak dapat meyakinkan menantunya yang keras kepala, jadi dia membantu anaknya yang dianiaya dalam pembunuhan itu.

Setelah penangkapan mereka, putri kecil Maryam yang berusia enam tahun pergi untuk tinggal bersama kakek-nenek dari pihak ayahnya, yang mengatakan kepadanya bahwa dia yatim piatu setelah kedua orang tuanya meninggal 13 tahun sebelumnya.



Hanya beberapa minggu sebelum tanggal eksekusi Maryam dan Ebrahim, putri kecil yang telah tumbuh jadi gadis 19 tahun itu diberitahu bagaimana ayahnya menemui ajal.

Pada 22 Februari tahun lalu, Maryam dan Ebrahim dipindahkan ke hukuman mati, tetapi eksekusi gantung ditunda karena alasan yang tidak diketahui.

Di bawah hukum Islam yang ketat di Iran, keluarga korban pembunuhan—dan bukan negara—yang memutuskan eksekusi untuk si pembunuh.

Keluarga ditanya apakah mereka ingin membalas dendam dalam bentuk "qisas", atau jika mereka ingin menyelamatkan si pembunuh dengan menerima sejumlah "uang darah" sebagai gantinya. Pengampunan juga merupakan pilihan, yang ternyata sangat populer.

Dalam kasus Maryam, satu-satunya orang yang bisa membuat keputusan adalah putri kandungnya.

Beberapa minggu kemudian, gadis remaja itu dibawa ke Penjara Pusat Rasht untuk menendang kursi dari bawah kaki ibunya, menyebabkan sang ibu jatuh saat dia digantung dari kasau.

Ebrahim diberi penangguhan hukuman sementara, tetapi penjaga penjara memastikan untuk mengawalnya di depan panggung di mana tubuh putrinya masih berayun di tiang gantungan.

Pada bulan Juni tahun ini, Ebrahim dibunuh di penjara yang sama dengan putrinya.

Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) Iran Mahmood Amiry-Moghaddam berbagi cerita mengerikan itu dengan The Mirror, menambahkan bahwa sistem peradilan "mengubah" korban menjadi algojo.

"Sangat penting untuk menggambarkan apa yang menyebabkan qisas di luar eksekusi yang sebenarnya," katanya.

"Undang-Undang Pidana Iran, tidak hanya memiliki hukuman yang tidak manusiawi, tetapi juga mempromosikan kekerasan di masyarakat," ujarnya.

"Dalam kasus pembunuhan di mana mereka berbicara tentang qisas, apa yang sebenarnya mereka lakukan adalah mereka meletakkan tanggung jawab eksekusi di pundak keluarga korban pembunuhan," paparnya.

“Jadi dari korban, mereka diubah menjadi algojo."

"Tapi kemudian menjadi lebih brutal ketika kita memiliki pembunuhan ini di dalam keluarga," imbuh dia.

Mahmood menjelaskan bagaimana rezim menunggu sampai anak kecil itu berusia 18 tahun sebelum memintanya untuk melakukan tugas yang "mustahil".

"Mereka menempatkan anak itu dalam situasi yang mustahil, di mana mereka mengatakan 'ibumu telah membunuh ayahmu', dan Andalah yang akan menentukan nasibnya," papar Mahmood, yang dilansir Rabu (31/8/2022).

Menurut Mahmood, para pemimpin yang juga ulama Iran memuji "hak" keluarga untuk pembalasan sebagai "tindakan suci", menambahkan bahwa kebebasan sipil lainnya seperti kebebasan berekspresi secara rutin diabaikan atau ditekan.

Hakim dan jaksa menekan keluarga untuk memilih darah daripada pilihan lain, dengan mengatakan bahwa itu adalah hak dan kewajiban mereka untuk kerabat mereka yang terbunuh.

"Mereka dibuat merasa bersalah jika mereka tidak meminta pembalasan. Itu dilakukan dengan menggunakan tekanan psikologis, jadi dengan cara yang sangat halus," kata Mahmood.

Namun terlepas dari tekanan halus ini, mayoritas orang Iran sehari-hari memilih untuk menyelamatkan nyawa orang-orang yang telah membunuh sosok yang mereka cintai.

"Jumlah orang yang memilih, uang darah atau pengampunan jauh lebih tinggi daripada mereka yang meminta gantung," sambung Mahmood.

"Tahun lalu, ada lebih dari 700 kasus di mana penggugat memberikan pengampunannya, atau menolak hukuman itu dan meminta uang darah," katanya.

"Jumlah kasus eksekusi sebenarnya di bawah 200 saya kira."

"Meskipun 40 tahun mempromosikan kekerasan melalui hukuman mati, ada peningkatan jumlah orang yang mengatakan tidak kepada mereka--bahkan ketika itu melibatkan anggota keluarga mereka," papar Mahmood.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1894 seconds (0.1#10.140)