Mesra dengan China, Kepulauan Solomon Larang Kapal Perang AS Berlabuh
loading...
A
A
A
CANBERRA - Kepulauan Solomon untuk sementara waktu melarang kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) masuk dan berlabuh di pelabuhannya. Larangan dikeluarkan beberapa bulan setelah negara itu menandatangani perjanjian keamanan dan kerja sama dengan China.
Kedutaan AS di Canberra, Australia, pada Selasa (30/8/2022) mengungkap keputusan pemerintah Kepulauan Solomon tersebut.
"Pada 29 Agustus, Amerika Serikat menerima pemberitahuan resmi dari pemerintah Kepulauan Solomon mengenai moratorium semua kunjungan Angkatan Laut, menunggu pembaruan dalam prosedur protokol," kata kedutaan.
Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare meminta para mitra negaranya memberi waktu kepada pemerintah untuk menerapkan prosedur baru guna menyetujui kunjungan pelabuhan.
Menurut pernyataan PM Sogavare, yang dikirim melalui email kepada Reuters, ketika diadopsi, aturan baru akan berlaku secara universal untuk semua kapal Angkatan Laut yang berkunjung.
Pernyataannya selanjutnya mengatakan bahwa negara itu memiliki pengalaman yang tidak menguntungkan dari kapal Angkatan Laut asing yang memasuki perairan negara itu selama tahun ini tanpa izin diplomatik yang diberikan.
Penangguhan itu terjadi setelah insiden pada 23 Agustus, ketika sebuah kapal Coast Guard AS meminta izin untuk berhenti dan mengisi bahan bakar tetapi tidak mendapat tanggapan dari pihak berwenang Kepulauan Solomon.
Pada saat itu, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby mengatakan bahwa Washington kecewa dengan keputusan Kepulauan Solomon.”
Sebagai tanggapan, Sogavare mengeklaim bahwa kapal AS telah menerima izin untuk berlabuh, tetapi ketika diberikan, kapal Amerika tersebut telah meninggalkan perairan Kepulauan Solomon, diduga menuju Papua Nugini.
Pada bulan April, Kepulauan Solomon menandatangani pakta keamanan dengan China untuk mengatasi ancaman keamanan dan memastikan lingkungan yang aman untuk investasi.
Langkah itu, bagaimanapun, tidak cocok dengan sejumlah negara Barat, di manan AS mengatakan bahwa Washington khawatir tentang kurangnya transparansi dan sifat yang tidak ditentukan dari perjanjian tersebut.
Australia, sementara itu, menyuarakan keprihatinan bahwa perjanjian itu memiliki potensi untuk merusak stabilitas di kawasan Pasifik.
Kedutaan AS di Canberra, Australia, pada Selasa (30/8/2022) mengungkap keputusan pemerintah Kepulauan Solomon tersebut.
"Pada 29 Agustus, Amerika Serikat menerima pemberitahuan resmi dari pemerintah Kepulauan Solomon mengenai moratorium semua kunjungan Angkatan Laut, menunggu pembaruan dalam prosedur protokol," kata kedutaan.
Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare meminta para mitra negaranya memberi waktu kepada pemerintah untuk menerapkan prosedur baru guna menyetujui kunjungan pelabuhan.
Menurut pernyataan PM Sogavare, yang dikirim melalui email kepada Reuters, ketika diadopsi, aturan baru akan berlaku secara universal untuk semua kapal Angkatan Laut yang berkunjung.
Pernyataannya selanjutnya mengatakan bahwa negara itu memiliki pengalaman yang tidak menguntungkan dari kapal Angkatan Laut asing yang memasuki perairan negara itu selama tahun ini tanpa izin diplomatik yang diberikan.
Penangguhan itu terjadi setelah insiden pada 23 Agustus, ketika sebuah kapal Coast Guard AS meminta izin untuk berhenti dan mengisi bahan bakar tetapi tidak mendapat tanggapan dari pihak berwenang Kepulauan Solomon.
Pada saat itu, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby mengatakan bahwa Washington kecewa dengan keputusan Kepulauan Solomon.”
Sebagai tanggapan, Sogavare mengeklaim bahwa kapal AS telah menerima izin untuk berlabuh, tetapi ketika diberikan, kapal Amerika tersebut telah meninggalkan perairan Kepulauan Solomon, diduga menuju Papua Nugini.
Pada bulan April, Kepulauan Solomon menandatangani pakta keamanan dengan China untuk mengatasi ancaman keamanan dan memastikan lingkungan yang aman untuk investasi.
Langkah itu, bagaimanapun, tidak cocok dengan sejumlah negara Barat, di manan AS mengatakan bahwa Washington khawatir tentang kurangnya transparansi dan sifat yang tidak ditentukan dari perjanjian tersebut.
Australia, sementara itu, menyuarakan keprihatinan bahwa perjanjian itu memiliki potensi untuk merusak stabilitas di kawasan Pasifik.
(min)