Drone AS Tak akan Bertahan Lama di Ukraina, Kiev Kini Inginkan F-16
loading...
A
A
A
KIEV - Ketika Washington dilaporkan menghentikan penjualan drone tempur Gray Eagle ke Ukraina, pejabat militer di Kiev kini meminta jet tempur seperti F-15 dan F-16 sebagai gantinya.
Menurut pejabat Ukraina, jet tempur itu memiliki peluang lebih baik melawan pertahanan udara Rusia.
“Ukraina bukan Afghanistan dan pesawat tak berawak berharga mahal akan ditembak jatuh,” ujar seorang pilot kepada Foreign Policy pekan ini.
Pensiunan perwira dan pakar Amerika Serikat (AS) seperti Max Boot yang kelahiran Moskow, dengan lantang menganjurkan pengiriman Gray Eagles ke Ukraina.
Menurut Boot, drone canggih itu sebagai "pengubah permainan" potensial dalam konflik.
Namun, Gedung Putih telah menunda rencana mengirim empat drone semacam itu ke Kiev, menurut laporan Reuters pekan lalu. AS khawatir drone itu bisa jatuh ke tangan Rusia.
Sementara para jenderal Ukraina ingin mendapatkan drone, pilot lebih memilih pembom tempur AS, menurut Foreign Policy.
"Kami tidak menganjurkan Grey Eagles," ungkap seorang pilot yang dipanggil “Moonfish” kepada outlet tersebut.
Dia menambahkan, “Sangat berbahaya menggunakan drone mahal seperti itu dalam kasus kami, karena pertahanan udara musuh. Bukan Afghanistan di sini.”
MQ-1C Grey Eagle adalah yang terbaru dalam garis keturunan General Atomics dari pesawat tak berawak yang digunakan selama “perang melawan teror” AS, mulai dari Afghanistan dan Irak hingga Somalia dan Yaman.
Drone itu dipersenjatai rudal Hellfire, yang memiliki jangkauan sekitar delapan kilometer, lebih pendek jangkauannya dari drone bunuh diri Switchblade atau Phoenix Ghost yang telah dikirim AS ke Ukraina.
“Ini bisa berguna di garis depan,” ujar pilot pesawat tempur lainnya, yang dipanggil sebagai “Jus”.
Namun, tambahnya, Grey Eagles mungkin tidak akan bertahan lebih dari satu atau dua misi. Setiap drone berharga USD10 juta.
Ukraina telah membuat kesepakatan besar dengan memiliki drone serang Bayraktar TB2 Turki di gudang senjatanya.
TB2 berharga sekitar USD2 juta atau lebih. Moonfish mengklaim TB2 "sangat berguna dan penting" pada hari-hari awal konflik, tetapi "hampir tidak berguna" sekarang karena pasukan Rusia telah meningkatkan pertahanan udara mereka.
Pilot itu mengatakan kepada Foreign Policy bahwa, “Ukraina sekarang membatasi penggunaan Bayraktar untuk operasi khusus dan misi serangan yang langka.”
Koresponden perang Rusia, menyatakan hal itu karena sebagian besar drone telah ditembak jatuh oleh pasukan Moskow.
“Kami memiliki lebih banyak pilot daripada jet sekarang,” ujar Moonfish, menyarankan dia dan rekan-rekannya harus dilatih pada jet tempur “canggih” AS seperti F-15 dan F-16, yang akan lebih bertahan melawan S-400 Rusia.
Kedua tipe ini pertama kali muncul pada tahun 1970-an. Mereka telah berulang kali ditingkatkan sejak saat itu, dan versi terbaru dianggap para ahli Barat setara dengan jet Su-35 dan MiG-35 Rusia, dan sedikit di depan pesawat tempur Su-27 dan Mig-29 Ukraina yang dioperasikan di awal konflik.
Namun, tidak ada indikasi AS memiliki cadangan, atau bahwa ada kemauan politik di Washington untuk mengirim jet tempur itu ke Ukraina.
Menurut pejabat Ukraina, jet tempur itu memiliki peluang lebih baik melawan pertahanan udara Rusia.
“Ukraina bukan Afghanistan dan pesawat tak berawak berharga mahal akan ditembak jatuh,” ujar seorang pilot kepada Foreign Policy pekan ini.
Pensiunan perwira dan pakar Amerika Serikat (AS) seperti Max Boot yang kelahiran Moskow, dengan lantang menganjurkan pengiriman Gray Eagles ke Ukraina.
Menurut Boot, drone canggih itu sebagai "pengubah permainan" potensial dalam konflik.
Namun, Gedung Putih telah menunda rencana mengirim empat drone semacam itu ke Kiev, menurut laporan Reuters pekan lalu. AS khawatir drone itu bisa jatuh ke tangan Rusia.
Sementara para jenderal Ukraina ingin mendapatkan drone, pilot lebih memilih pembom tempur AS, menurut Foreign Policy.
"Kami tidak menganjurkan Grey Eagles," ungkap seorang pilot yang dipanggil “Moonfish” kepada outlet tersebut.
Dia menambahkan, “Sangat berbahaya menggunakan drone mahal seperti itu dalam kasus kami, karena pertahanan udara musuh. Bukan Afghanistan di sini.”
MQ-1C Grey Eagle adalah yang terbaru dalam garis keturunan General Atomics dari pesawat tak berawak yang digunakan selama “perang melawan teror” AS, mulai dari Afghanistan dan Irak hingga Somalia dan Yaman.
Drone itu dipersenjatai rudal Hellfire, yang memiliki jangkauan sekitar delapan kilometer, lebih pendek jangkauannya dari drone bunuh diri Switchblade atau Phoenix Ghost yang telah dikirim AS ke Ukraina.
“Ini bisa berguna di garis depan,” ujar pilot pesawat tempur lainnya, yang dipanggil sebagai “Jus”.
Namun, tambahnya, Grey Eagles mungkin tidak akan bertahan lebih dari satu atau dua misi. Setiap drone berharga USD10 juta.
Ukraina telah membuat kesepakatan besar dengan memiliki drone serang Bayraktar TB2 Turki di gudang senjatanya.
TB2 berharga sekitar USD2 juta atau lebih. Moonfish mengklaim TB2 "sangat berguna dan penting" pada hari-hari awal konflik, tetapi "hampir tidak berguna" sekarang karena pasukan Rusia telah meningkatkan pertahanan udara mereka.
Pilot itu mengatakan kepada Foreign Policy bahwa, “Ukraina sekarang membatasi penggunaan Bayraktar untuk operasi khusus dan misi serangan yang langka.”
Koresponden perang Rusia, menyatakan hal itu karena sebagian besar drone telah ditembak jatuh oleh pasukan Moskow.
“Kami memiliki lebih banyak pilot daripada jet sekarang,” ujar Moonfish, menyarankan dia dan rekan-rekannya harus dilatih pada jet tempur “canggih” AS seperti F-15 dan F-16, yang akan lebih bertahan melawan S-400 Rusia.
Kedua tipe ini pertama kali muncul pada tahun 1970-an. Mereka telah berulang kali ditingkatkan sejak saat itu, dan versi terbaru dianggap para ahli Barat setara dengan jet Su-35 dan MiG-35 Rusia, dan sedikit di depan pesawat tempur Su-27 dan Mig-29 Ukraina yang dioperasikan di awal konflik.
Namun, tidak ada indikasi AS memiliki cadangan, atau bahwa ada kemauan politik di Washington untuk mengirim jet tempur itu ke Ukraina.
(sya)