Krisis Parah, Sri Lanka Nyatakan Default Alias Gagal Bayar Utang
loading...
A
A
A
COLOMBO - Dilanda krisis ekonomi yang semakin parah, Sri Lanka menyatakan default atau gagal membayar utang luar negerinya. Menurut pemerintah setempat, pembayaran utang luar negeri dihentikan karena cadangan dolar yang semakin menipis diperlukan untuk membeli makanan dan bahan bakar.
“Kami telah sampai pada situasi di mana kemampuan untuk membayar utang kami sangat rendah. Itu sebabnya kami memutuskan untuk melakukan preemptive default,” kata gubernur bank sentral yang baru diangkat, Nandalal Weerasinghe, dalam pengumumannya pada Selasa (12/4/2022), seperti dikutip Russia Today.
Pembayaran utang luar negeri negara Asia Selatan itu akan ditangguhkan sementara, sambil menunggu dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Sri Lanka harus melakukan pembayaran utang luar negeri sebesar USD4 miliar tahun ini, termasuk USD1 miliar pada bulan Juli, tetapi cadangan devisanya hanya sekitar USD1,93 miliar pada bulan Maret.
"Kita perlu fokus pada impor penting dan tidak perlu khawatir tentang pembayaran utang luar negeri,” kata Weerasinghe, menjelaskan apa yang ingin dilakukan negara itu dengan sisa dolarnya.
Kementerian Keuangan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Sri Lanka telah menemukan dirinya dalam situasi yang mengerikan karena dampak pandemi COVID-19 dan dampak dari perang Rusia di Ukraina.
Menurut kementerian tersebut, kreditur negara kepulauan itu, termasuk pemerintah asing, bebas untuk memanfaatkan pembayaran bunga apa pun yang harus mereka bayar atau memilih pengembalian dalam rupee Sri Lanka.
Sri Lanka telah menyaksikan gelombang protes dengan kekerasan sejak pertengahan Maret ketika ribuan orang turun ke jalan untuk mengekspresikan kemarahan tentang kekurangan makanan dan bahan bakar di tengah rekor inflasi.
Kirisis ekonomi yang parah semakin diperburuk oleh krisis politik. Seminggu yang lalu, pemerintah negara itu telah mengundurkan diri, di mana Presiden Gotabaya Rajapaksa dan kakak laki-lakinya Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, yang bertahan dengan jabatan mereka dan berjuang untuk membentuk kabinet baru.
“Kami telah sampai pada situasi di mana kemampuan untuk membayar utang kami sangat rendah. Itu sebabnya kami memutuskan untuk melakukan preemptive default,” kata gubernur bank sentral yang baru diangkat, Nandalal Weerasinghe, dalam pengumumannya pada Selasa (12/4/2022), seperti dikutip Russia Today.
Pembayaran utang luar negeri negara Asia Selatan itu akan ditangguhkan sementara, sambil menunggu dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Sri Lanka harus melakukan pembayaran utang luar negeri sebesar USD4 miliar tahun ini, termasuk USD1 miliar pada bulan Juli, tetapi cadangan devisanya hanya sekitar USD1,93 miliar pada bulan Maret.
"Kita perlu fokus pada impor penting dan tidak perlu khawatir tentang pembayaran utang luar negeri,” kata Weerasinghe, menjelaskan apa yang ingin dilakukan negara itu dengan sisa dolarnya.
Kementerian Keuangan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Sri Lanka telah menemukan dirinya dalam situasi yang mengerikan karena dampak pandemi COVID-19 dan dampak dari perang Rusia di Ukraina.
Menurut kementerian tersebut, kreditur negara kepulauan itu, termasuk pemerintah asing, bebas untuk memanfaatkan pembayaran bunga apa pun yang harus mereka bayar atau memilih pengembalian dalam rupee Sri Lanka.
Sri Lanka telah menyaksikan gelombang protes dengan kekerasan sejak pertengahan Maret ketika ribuan orang turun ke jalan untuk mengekspresikan kemarahan tentang kekurangan makanan dan bahan bakar di tengah rekor inflasi.
Kirisis ekonomi yang parah semakin diperburuk oleh krisis politik. Seminggu yang lalu, pemerintah negara itu telah mengundurkan diri, di mana Presiden Gotabaya Rajapaksa dan kakak laki-lakinya Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, yang bertahan dengan jabatan mereka dan berjuang untuk membentuk kabinet baru.
(min)