Eks Bos Intelijen Militer: Israel Harus Berpikir 2 Kali Sebelum Serang Iran

Jum'at, 26 November 2021 - 20:45 WIB
loading...
Eks Bos Intelijen Militer: Israel Harus Berpikir 2 Kali Sebelum Serang Iran
Eks bos intelijen militer Israel memperingatkan pemerintahnya harus berpikir dua kali sebelum serang Iran. Foto/Ilustrasi
A A A
TEL AVIV - Israel harus menahan diri untuk menyerang fasilitas nuklir Iran kecuali jika memiliki kapasitas untuk menghancurkan mereka sepenuhnya. Peringatan itu dikeluarkan oleh mantan kepala Intelijen Militer Israel Tamir Pardo.

Berbicara di sebuah panel pada konferensi Institut Kebijakan dan Strategi Universitas Reichman di Herzliya, Pardo memperingatkan bahwa serangan militer terhadap program nuklir Iran akan jauh lebih rumit daripada serangan sukses Angkatan Udara Israel terhadap reaktor Irak dan Suriah.

"Jika tidak mungkin menutup bisnis ini seperti yang kita lakukan dalam Operasi Opera (menentang program nuklir Irak pada 1981), maka sebaiknya kita berpikir dua kali," katanya seperti dikutip dari Middle East Monitor, Jumat (26/11/2021).



Berbicara di panel yang sama, mantan kepala Mossad Amos Yadlin mengatakan selama dekade terakhir, kebijakan Tel Aviv pada program nuklir Iran diputuskan secara pribadi oleh mantan perdana menteri Benjamin Netanyahu tanpa konsultasi.

"Masalah Iran diprivatisasi untuk satu orang," kata Yadlin, menambahkan bahwa kesepakatan nuklir 2015 antara Iran dan enam negara lain, termasuk Amerika Serikat (AS), membuat Iran tidak membuat kemajuan berarti dalam program nuklirnya.

“Kesalahannya bukan pada 2015, tetapi pada 2018 ketika mereka (Amerika Serikat) meninggalkan kesepakatan di tahun-tahun yang baik,” tambahnya.

Negosiasi untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir 2015 akan dimulai kembali pekan depan. Dalam perjanjian nuklir 2015, Iran setuju mengekang program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi internasional. Perundingan akan dilanjutkan di Wina pada Senin depan, setelah jeda lima bulan.



Israel sudah lama menentang kesepakatan nuklir Iran, tetapi pemerintahan Perdana Menteri Naftali Bennett yang berkuasa sejak Juni, mengatakan pihaknya dapat membuka kesepakatan baru dengan pembatasan yang lebih ketat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1192 seconds (0.1#10.140)