China Ogah Jadi Pengguna Pertama Senjata Nuklir saat Perang Pecah
loading...
A
A
A
BEIJING - China telah menegaskan kebijakan nuklirnya yang tidak akan menjadi pengguna pertama senjata nuklir ketika perangpecah. Prinsip no first use (NFU) itu diumumkan di tengah perlombaan senjata nuklir yang sedang memanas.
Dalam dokumen "Position Paper on China and United Nations Cooperation" yang dikeluarkan oleh kementerian luar negeri pada hari Jumat, China menyatakan memiliki sejarah dalam memprakarsai prinsip NFU. Kementerian itu mengatakan negara-negara pemilik senjata nuklir harus meninggalkan kebijakan pre-emptive deterrence [pencegahan pendahuluan].
"Ingatlah bahwa 'perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan jangan pernah diperjuangkan'," bunyi dokumen tersebut, yang dilansir South China Morning Post, Sabtu (23/10/2021).
Beijing lantas meminta semua negara kekuatan nuklir untuk mengurangi peran senjata nuklir sebagai bagian dari kebijakan keamanan nasional mereka, berhenti mengembangkan dan menyebarkan sistem rudal anti-balistik global dan menghentikan penyebaran rudal balistik jarak menengah berbasis darat di luar negeri.
Negara itu lebih lanjut meminta negara-negara kekuatan nuklir untuk mempromosikan keseimbangan dan stabilitas strategis global.
Bulan lalu, mantan duta besar China untuk urusan perlucutan senjata untuk PBB di Jenewa, Sha Zukang, mengatakan China harus meninjau kembali kebijakannya untuk tidak menjadi yang pertama menggunakan senjata nuklir dalam konflik.
China mengadopsi kebijakan NFU pada tahun 1964 ketika pertama kali memperoleh kemampuan nuklir. Tetapi Sha menyarankan bahwa Beijing sekarang harus "menyempurnakan" kebijakan itu untuk melawan kehadiran militer AS yang telah tumbuh di kawasan Indo-Pasifik sejak Amerika mulai menganggap China sebagai saingan utama, atau bahkan musuh.
Selain membuat pernyataan tentang NFU, dokumen dari Kementerian Luar Negeri China juga menekankan bahwa negara-negara dengan persenjataan nuklir terbesar memiliki tanggung jawab khusus dan utama dalam perlucutan senjata nuklir.
China sendiri tidak membuat pernyataan tentang menolak seruan untuk bergabung dengan yang disebut negosiasi kontrol senjata trilateral dengan Amerika Serikat dan Rusia.
Sebaliknya, China meminta negara-negara dengan persenjataan nuklir terbesar—AS dan Rusia—untuk lebih jauh mengurangi persenjataan nuklir mereka dengan cara yang dapat diverifikasi, tidak dapat diubah, dan mengikat secara hukum untuk menciptakan kondisi bagi perlucutan senjata nuklir yang lengkap dan menyeluruh.
Dalam dokumen "Position Paper on China and United Nations Cooperation" yang dikeluarkan oleh kementerian luar negeri pada hari Jumat, China menyatakan memiliki sejarah dalam memprakarsai prinsip NFU. Kementerian itu mengatakan negara-negara pemilik senjata nuklir harus meninggalkan kebijakan pre-emptive deterrence [pencegahan pendahuluan].
"Ingatlah bahwa 'perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan jangan pernah diperjuangkan'," bunyi dokumen tersebut, yang dilansir South China Morning Post, Sabtu (23/10/2021).
Beijing lantas meminta semua negara kekuatan nuklir untuk mengurangi peran senjata nuklir sebagai bagian dari kebijakan keamanan nasional mereka, berhenti mengembangkan dan menyebarkan sistem rudal anti-balistik global dan menghentikan penyebaran rudal balistik jarak menengah berbasis darat di luar negeri.
Negara itu lebih lanjut meminta negara-negara kekuatan nuklir untuk mempromosikan keseimbangan dan stabilitas strategis global.
Bulan lalu, mantan duta besar China untuk urusan perlucutan senjata untuk PBB di Jenewa, Sha Zukang, mengatakan China harus meninjau kembali kebijakannya untuk tidak menjadi yang pertama menggunakan senjata nuklir dalam konflik.
China mengadopsi kebijakan NFU pada tahun 1964 ketika pertama kali memperoleh kemampuan nuklir. Tetapi Sha menyarankan bahwa Beijing sekarang harus "menyempurnakan" kebijakan itu untuk melawan kehadiran militer AS yang telah tumbuh di kawasan Indo-Pasifik sejak Amerika mulai menganggap China sebagai saingan utama, atau bahkan musuh.
Selain membuat pernyataan tentang NFU, dokumen dari Kementerian Luar Negeri China juga menekankan bahwa negara-negara dengan persenjataan nuklir terbesar memiliki tanggung jawab khusus dan utama dalam perlucutan senjata nuklir.
China sendiri tidak membuat pernyataan tentang menolak seruan untuk bergabung dengan yang disebut negosiasi kontrol senjata trilateral dengan Amerika Serikat dan Rusia.
Sebaliknya, China meminta negara-negara dengan persenjataan nuklir terbesar—AS dan Rusia—untuk lebih jauh mengurangi persenjataan nuklir mereka dengan cara yang dapat diverifikasi, tidak dapat diubah, dan mengikat secara hukum untuk menciptakan kondisi bagi perlucutan senjata nuklir yang lengkap dan menyeluruh.
(min)