Mengaku Nabi setelah Rasulullah Muhammad SAW, Wanita Ini Dihukum Mati
loading...
A
A
A
LAHORE - Seorang wanita di Pakistan dihukum mati oleh pengadilan setempat atas tuduhan penistaan agama Islam. Terdakwa telah mengaku sebagai seorang nabi setelah Rasulullah Muhammad SAW .
Terdakwa bernama Salma Tanveer. Wanita yang menjabat sebagai kepala sekolah itu dijatuhi vonis mati oleh pengadilan di kota Lahore pada Senin (27/9/2021).
Selain itu, terdakwa juga dihukum membayar denda PKR50.000.
Tanveer dituduh mendistribusikan fotokopi tulisan-tulisannya, di mana dia menyangkal finalitas kenabian.
Umat Islam percaya Rasulullah Muhammad SAW adalah nabi terakhir yang diutus oleh Allah dan tidak akan ada lagi setelah dia.
Polisi Lahore mengajukan kasus penistaan agama terhadap Tanveer berdasarkan pengaduan seorang ulama setempat pada tahun 2013.
Dalam dokumen vonis pengadilan setebal 22 halaman, yang dikutip The Independent, Rabu (29/9/2021), hakim Mansoor Ahmad Qureshi mengatakan: “Terbukti tanpa keraguan bahwa terdakwa Salma Tanveer menulis dan mendistribusikan tulisan-tulisan yang menghina Nabi Suci Muhammad dan dia gagal membuktikan bahwa kasusnya termasuk dalam pengecualian dari Pasal 84 Undang-Undang Pidana Pakistan (PPC)."
Berdasarkan Pasal 84, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang sakit jiwa tidak dianggap sebagai pelanggaran.
Selama persidangan, pengacara Tanveer, Muhammad Ramzan, berpendapat bahwa kliennya "tidak waras" pada saat kejadian dan mendesak pengadilan untuk mempertimbangkannya.
Namun, jaksa mengajukan laporan oleh dewan medis Institut Kesehatan Mental Punjab yang mengatakan terdakwa layak untuk diadili karena dia tidak mengalami gangguan mental.
Undang-undang penistaan agama era kolonial Pakistan diubah oleh mantan presiden Zia ul-Haq pada 1980-an untuk meningkatkan beratnya hukuman.
Islamabad telah dituduh menggunakan hukum kerasnya untuk mengadili kaum minoritas agama seperti Muslim Syiah dan sekta Ahmadiyah.
Setidaknya 1.472 orang telah didakwa di bawah hukum keras di Pakistan sejak 1987.
Menurut Komisi Amerika Serikat (AS) untuk Kebebasan Beragama Internasional, ada sekitar 80 terpidana mati atau menjalani hukuman seumur hidup karena penistaan agama.
Pada bulan Agustus, seorang anak laki-laki Hindu berusia 8 tahun menjadi orang termuda yang pernah didakwa dengan penistaan agama di negara itu. Bocah itu dituduh buang air kecil di perpustakaan sekolah agama Islam atau madrasah.
Keluarga anak laki-laki dan orang lain dari komunitas minoritas di distrik Rahim Yar Khan terpaksa melarikan diri setelah kerumunan mayoritas Muslim menyerang sebuah kuil Hindu setelah pembebasan anak itu dengan jaminan.
Pakistan telah melaporkan jumlah tertinggi insiden kekerasan massa sebagai akibat dari tindakan penistaan agama.
Terdakwa bernama Salma Tanveer. Wanita yang menjabat sebagai kepala sekolah itu dijatuhi vonis mati oleh pengadilan di kota Lahore pada Senin (27/9/2021).
Selain itu, terdakwa juga dihukum membayar denda PKR50.000.
Tanveer dituduh mendistribusikan fotokopi tulisan-tulisannya, di mana dia menyangkal finalitas kenabian.
Umat Islam percaya Rasulullah Muhammad SAW adalah nabi terakhir yang diutus oleh Allah dan tidak akan ada lagi setelah dia.
Polisi Lahore mengajukan kasus penistaan agama terhadap Tanveer berdasarkan pengaduan seorang ulama setempat pada tahun 2013.
Dalam dokumen vonis pengadilan setebal 22 halaman, yang dikutip The Independent, Rabu (29/9/2021), hakim Mansoor Ahmad Qureshi mengatakan: “Terbukti tanpa keraguan bahwa terdakwa Salma Tanveer menulis dan mendistribusikan tulisan-tulisan yang menghina Nabi Suci Muhammad dan dia gagal membuktikan bahwa kasusnya termasuk dalam pengecualian dari Pasal 84 Undang-Undang Pidana Pakistan (PPC)."
Berdasarkan Pasal 84, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang sakit jiwa tidak dianggap sebagai pelanggaran.
Selama persidangan, pengacara Tanveer, Muhammad Ramzan, berpendapat bahwa kliennya "tidak waras" pada saat kejadian dan mendesak pengadilan untuk mempertimbangkannya.
Namun, jaksa mengajukan laporan oleh dewan medis Institut Kesehatan Mental Punjab yang mengatakan terdakwa layak untuk diadili karena dia tidak mengalami gangguan mental.
Undang-undang penistaan agama era kolonial Pakistan diubah oleh mantan presiden Zia ul-Haq pada 1980-an untuk meningkatkan beratnya hukuman.
Islamabad telah dituduh menggunakan hukum kerasnya untuk mengadili kaum minoritas agama seperti Muslim Syiah dan sekta Ahmadiyah.
Setidaknya 1.472 orang telah didakwa di bawah hukum keras di Pakistan sejak 1987.
Menurut Komisi Amerika Serikat (AS) untuk Kebebasan Beragama Internasional, ada sekitar 80 terpidana mati atau menjalani hukuman seumur hidup karena penistaan agama.
Pada bulan Agustus, seorang anak laki-laki Hindu berusia 8 tahun menjadi orang termuda yang pernah didakwa dengan penistaan agama di negara itu. Bocah itu dituduh buang air kecil di perpustakaan sekolah agama Islam atau madrasah.
Keluarga anak laki-laki dan orang lain dari komunitas minoritas di distrik Rahim Yar Khan terpaksa melarikan diri setelah kerumunan mayoritas Muslim menyerang sebuah kuil Hindu setelah pembebasan anak itu dengan jaminan.
Pakistan telah melaporkan jumlah tertinggi insiden kekerasan massa sebagai akibat dari tindakan penistaan agama.
(min)